Oleh; Drs.H.Ali Daud Bey*)
Studi tentang manusia, karakter dan budayanya seakan tidak pernah usang oleh kehidupan manusia itu sendiri. Mungkin inilah kalimat yang paling tepat untuk menggambarkan betapa luasnya cakupan yang dapat dikembangkan dan setiap perbincangan tentang manusia, karakter dan budayanya (harus ada batasan).
Dan mungkin karena itu pula topik ini menjadi selalu aktual untuk dibicarakan apa lagi jika dibumbui dengan berbagai masalah yang rnenyangkut pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang sesuai dengan standard universal.
Sedeinikian menariknya pembicaraan tentang manusia karakter dan budayanya terutama di tengah-tengah perkembangan global dewasa ini yangseringkali dari sini muncul dan berkembang berbagai topik yang secara substansial sebetuinya tidak berujung pangkal. Tapi karena dikemas dalam bentuk yang sangat publikatif (seinisal seininar, kongres dll) maka perdebatan tersebut akhirnya dapat menyedot opini publik untuk akhirnya berkembang menjadi sebuah issue central yang menuntut perhatian berbagai kalangan.
Bahkan tidak jarang perdebatan yang sepertinya tak berujung pangkal tersebut berbuntut pertentangan horisontal antar dan inter kelompok masyarakat yang beda inisi dan visinya.
Kecenderungan semacam ini seakan menjadi mode paling up to date dan paling trendy dalarn pergaulan masyarakat bangsa kita kita akhir-akhir ini. Siapapun orangnya segera akan mendapatkan label puritan, ketinggalan zaman dan tidak ikut mode masa kini dan tidak berpihak kepada arus globalisasi jika tak mampu bicara kritis, keras, iliniah katanya serta vulgar dalam setiap penampilan, lebih-lehih kalau kelompok suku, komunitas terstruktur dan lain-
lain tak mampu menempatkan diri sebagai pihakoposisi, pejuang kebenaran yang selalu berseberangan dengan peinikiran birokrat.
Tanpa harus menutup mata terhadap stigma hitam birokrasi pemerintahan yang selama ini rnasih belum dapat sepenuhnya diperbaiki, kita harus prihatin melihat perkembangan masyarakat bangsa khususnya di komunitas Madura. Dampak pembangunan nasional di era globalisasi ini seperti terlampau cepat tanpa koridor clan batasan-batasari yang jelas dan diperparah lagi oleh kiprah individu-individu dalam kelompok-kelompok tertentu dengan kepentingan-kepentingan kelompok masing-masing di tengah-tengah masyarakat yang belum sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi pada bangsanya, berkembang semakin runyam sehingga merangsang bangsa ini untuk tumbuh menjadi komunitas-komunitas kecil yang kehilangan karakter dan budayanya, seakan tak saling mengenal, ganas, sadis, anarkis, tamak, serakah, tidak paldu (jw), lupa daratan dan sederet karakter jelek lainnya yang saat ini melekat ketat yang semula dikenal sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya.
Lalu mana saja karakter dan budaya yang hilang yang akan kita raih kembali untuk kita jadikan pegangan? Harus ada batasan sehingga kita tidak ngelantur. Step by step itulah kata yang tepat untuk mengintersipkan pembicaraan. Karena bangsa ml (Madura, red) meiniliki keanekaragarnan sosio kultural, yang harus kita kembalikan dan ternpatkan pada perspektif din sinalitas dan memang pernah jaya ketika para pejuang bangsa menggunakan Pancasila sebagai katalisatornya. pangeran, norma dan falsafah. Sebuah hasil pemberian yang sangat teruji mampu bertahan, bahkan dengan sangat cool mampu merespon berbagai perkembangan zaman tak terkecuali kecenderungan kehidupan global dewasa ini lewat katalisator ini para pendahulu kita mengingatkan kita tentang letak geografis zamrucl khatulistiwa yang kita huni sekarang ini.