Em Saidi Dahlan
(i)
Hanya tiga frase: ‘bagus-bagas, sogi-soga’, kerras-kerres’. Frase yang simplistis, mewakili karakter orang Madura: tegas, lugas, logis—dan, tidak setengah-setengah dalam mengambil keputusan. Karakter itu tertanam dalam hal apapun, termasuk dunia seni dan kerajinan. Salah satunya, seni-kerajinan batik. Maka, cara sederhana mengetahui karakter orang Madura, lihatlah motif batiknya. Motif batik Madura terlihat tegas, lugas dan berani. Warnanya pun cerah, dan tajam. Sebaliknya, untuk tahu motif batik Madura, maka ketahuilah karakter orang Madura.
Kerajinan batik bisa ditemukan dimana-mana. Hampir di seluruh Daerah di wilayah Nusantara. Batik sebagai salah satu kerajinan, dan kekayaan seni Indonesia. Memiliki motif yang beragam. UNESCO menetapkan batik Nusantara sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009—selanjutnya menjadi Hari Batik Nasional. Batik dituangkan di atas media, seperti kain, kayu, bambu, tempayan, dan sebagainya. Khusus untuk batik Madura, hanya dituangkan pada kain. Tidak pada tempayan, atau buluh-buluh bambu, sebagai seruling. Tidak juga pada papan datar, untuk hiasan dinding. Atau pada dinding-dinding kosong, yang memang tidak disediakan untuk itu. Batik Madura ada dan dikenal sejak sebelum Indonesia merdeka.
Batik Madura memiliki nilai seni dan sosial, dan sedikit nilai niaga. Dari proses, keduanya telah berbaur: seni dan sosial. Belakangan, setelah proses kedua nilai dilalui, muncul (terpikirkan) sisi niaganya. Para pembatik—yang kesemuanya perempuan Madura—memiliki ciptaannya sendiri, yang (sayangnya) tidak dipatenkan. Orang perseorangan perempuan pembatik tidak akan pernah meniru, menjiplak atau memplagiasi ciptaan orang lain. Para pembatik itu mandiri, dan berkreasi sendiri. Mereka bangga dengan kreasi sendiri. Hebatnya, mereka menganggap mencuri ide, apalagi model dan kreasi, tidak jauh beda dengan ‘mencuri’ dan hukumnya haram. Haram menurut fiqih, dan haram menurut komunikasi sosial.
Ada nilai sosial dari proses. Sejak memulai membatik, dan mencelupkan cantingnya, pembatik itu sudah melibatkan orang lain. Tukang meracik warna, dan sebelumnya, pembuat malam untuk dilukiskan pada skets-skets berwarna putih, juga orang atau pihak lain. Sebelumnya lagi, pembuat kain-kain primis, mori, sutera, rayon, atau yang lebih berkualitas dari itu, yang dibentangkan di atas balai-balai untuk kemudian dilukis, adalah pihak lain lagi. Selanjutnya, kain-kain putih berskets malam—lebih umum disebut batik setengah jadi—mengalami proses pewarnaan, orang lain pula. Banyak pihak yang terlibat, dan itu adalah deret sosial, yang berderet memenuhi lorong-lorong niaga.
Nilai niaga, adalah proses berikutnya. Pembatik memasarkannya, bisa langsung di pasar tradisional, atau pada pihak tertentu yang mengaku sebagai distributor, atau pengepul. Pembatik yang dimaksud di sini, bisa perajin yang melakukan serangkaian kerajinan batik: sejak dari mencanting malam, sampai proses pewarnaan. Bisa mungkin, hanya pada proses pewarnaan. Ada untung, setelah hitung sana-hitung sini. Tapi tidak banyak. Kepuasaan mereka bukan dari sisi untungnya, tapi setelah terjual. Itu artinya, kreasi mereka diminati orang. Konsumen oleh para pembatik dianggap telah mengapresiasi hasil karyanya. Makanya, jangan heran kalau harga batik di Madura tergolong sangat murah. Tidak sebanding dengan kerja mereka yang berhari-hari, bahkan hitungan bulan. Jadi, kerja mereka tidak dihitung sebagaimana orang kantoran, atau profesi jasa seperti tukang, sopir, dan lainnya. Kerja mereka dalam berkreasi, adalah ibadah—hanya mengharap ridlo Tuhan. Amin!
(ii)
Pasar 17 Agustus, Minggu pagi—atau di hari lain: Kamis pagi. Di sebuah pasar batik, Pamekasan—bagian tengah Pulau Madura. Menempati ratusan kios, para pedagang memasarkan batik. Lebih dari 70% pedagang—lebih pas disebut penjual—batik, menjual batik hasil kreasinya sendiri. Hampir senada dengan manajemen dagang tukang bakso: membeli dan mengolah daging, lalu memasaknya, dan mendorong gerobak menjajakan masakannya. Jika ada untung-ruginya, dinikmati sendiri. Setara dengan perempuan pembatik: memilih kain, melukis skets sendiri, menorehkan malam, mewarnai, mengeringkannya dan bertemu pembeli di Pasar Minggu. Harga, tentu sangat murah, ketika belum sampai ke tangan pengepul.
Pamekasan terbilang kota batik. Di pasar itu, penjual batik menggelar jualannya. Di kios-kios, atau juga dijajakan langsung, batik kreasi mereka dijual murah. Seringkali, harga tidak sebanding dengan lama kerja mereka. Perlu diingat, batik tulis membutuhkan waktu agak lama dalam pengerjaannya dibanding batik cap, apalagi printing. Harga itu bukan berarti diobral, atau dijual rugi. Tapi, memang seharga itu yang ‘dilayakkan’. Para pembatik, atau penjual batik, tidak pandai memainkan strategi ekonomi. Mereka tidak bisa mempraktekkan marketing modern. Juga, mereka tidak bisa bermain hukum ekonomi yang dianggap ‘kotor’. Misalnya, menimbun di kala produktivitas batik tinggi, dan melepasnya saat permintaan banyak. Demand-suplai yang ‘ternoda’, bagi pembatik tidak barokah. Dan, itu tidak akan pernah dilakukan oleh perempuan-perempuan pembatik. Apalagi, semakin hari, jumlah hasil kerajinan mereka semakin bertambah.
Di Pasar Baru itu, penjual batik mulai menjajakan jualannya sejak matahari belum terbit, sekira kurang dari pukul 06.00 WIB. Mereka berdatangan dari berbagai desa—menyebar dari berbagai kecamatan. Tapi sentra yang banyak di Desa Klampar, Kecamatan Proppo. Mereka adalah pembatik, atau perajin batik. Sedangkan pengunjung berdatangan pada jam-jam itu. Pasar pagi, benar-benar pagi. Pasar tidak buka sehari. Siang, sekira kurang dari pukul 12.00 WIB, sudah tutup. Bahkan agak singkat lagi, ketika azan dluhur berkumandang, mereka mulai sibuk menutup kiosnya. Banyak di antara mereka yang buru-buru mau shalat jemaah di masjid.