Pasar 17, masih sangat layak disebut pasar tradisional. Tak ada mesin hitung, atau pencatat distribusi barang-uang keluar-masuk—semacam teler, kecuali (hanya) kalkulator sebagai mesin pembantu transaksi. Maka, juga tidak dikenal rabart, atau potongan harga sebagai ‘hadiah’ kepada pembeli. Sebab, harga sudah pas-pasan, yang kalau dikurangi lagi dari harga dasar yang ditawarkan penjual, untungnya pun sangat mepet. Sekali lagi, untungnya tidak sebanding dengan hitungan hari kerja mereka. Selembar kain batik, yang membutuhkan waktu berbulan-bulan, hanya ditawarkan ratusan ribu, bahkan (hanya) puluhan ribu rupiah. Di pasar tradisional itu, perputaran uang begitu cepat.
(iii)
Tanjung Bumi, sebuah kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bangkalan. Berada di posisi pantai utara Madura. Nama daerah itu menjadi nama khas batik ternama berkualitas tinggi: Batik Tanjung Bumi. Batik tanjung bumi ini berkualitas eksport–dikenal, dan tentu dipasarkan sampai ke negeri manca. Bahkan, seringkali identitas eksport identik dengan: bahan dasar dari luar negeri, kualitas sesuai permintaan pasar luar negeri, dikenal dan dipasarkan ke luar negeri. Dan, para perajin pun ‘mendadak’ menjadi profesi—tidak mudah ditiru orang lain.
Di Tanjung Bumi, tidak kurang dari 658 unit usaha batik. Jumlah yang tidak sedikit. Tersebar di 3 desa sentra kerajinan batik: Desa Telaga Biru, Paseseh dan Desa Tanjung Bumi. Jumlah perajinnya tidak kurang dari 1121 orang. Jurnlah itu be1um termasuk perajin di desa pengembang yang ada di sekitamya seperti Desa Bumi Anyar, Tambak Pocok dan Desa Bandang Dajah. Jumlah perajin yang tidak sedikit, setiap tahun semakin bertambah. Dorongan Pemerintah, lebih dari 50% dari jumlah penduduk terlibat dalam kerajinan batik.
Para pembatik, semuanya perempuan. Bukan tanpa sejarah, atau alam memang menciptakan sejarahnya sendiri: mengapa pembatik semuanya perempuan. Para lelaki, atau kepala keluarga, ‘wajib’ tidak di rumah, di dalam kamar yang pengap, yang meskipun ada udara yang menyelinap masuk lewat jendela, atau celah genting, masih belum mampu mengusir rasa pengap dalam nurani—atau setidaknya hati. Mereka mencari nafkah untuk keluarga, menjadi nelayan ataupun sebagai petani yang jam kerjanya siang hari. Isteri mereka menunggu di rumah. Sebuah kesetiaan yang tidak bisa dibanding-bandingkan dengan alam kota, atau suasana modern. Rasa sunyi di rumah itu harus diisi dengan kegiatan. Dan, kegiatan itu adalah membatik. Maka, ada pembagian tugas—mula-mula tidak distruktur seperti itu, tapi hanya sebuah kebetulan—laki-laki di luar, dan perempuan di dalam rumah. Jadilah Tanjung Bumi sebagai dunia batik, dunia yang penuh kreasi, dan dunia pengisi rasa sepi dan sunyi.
Perajin yang produktif akan menghasilkan lebih dari seribu lembar batik per tahunnya. Jika perajin yang produktif kurang dari 50% dari jumlah perajin, maka produksi batik tanjung bumi per tahunnya lebih dari setengah juta lembar. Sebuah angka produksi yang tidak sedikit. Kuantitas memang cukup memadai. Tapi, tantangannya,—biasanya kualitas dengan kuantitas selalu tidak imbang—kualitas. Dan, hukum ‘gengsi-style’ akan tetap memainkan peran yang tidak kecil. Bahwa, barang berkualitas akan terus diburu oleh kolektor, dan tentunya konsumen. Jika kita merujuk pada asumsi yang berkembang selama ini: barang berharga mahal pasti berkualitas baik. Padahal umumnya harga mahal karena terimbas prinsif ekonomi: demand-suplai.
Motif batik tanjung bumi beragam–dengan corak yang khas. Tentu, tidak lepas dari karakter orang Madura. Belasan macam motif jumlahnya. Tapi yang terkenal motif sibasi, palopa, gentongan, sekarjagat. Selebihnya, motif kreasi baru, yang kadang merupakan pengembangan dari motif yang ada. Kadang pula, motif kreasi baru untuk memenuhi selera konsumen. Motif lama, ataupun kreasi baru, sebenarnya hak cipta para perempuan pembatik itu. Sayangnya, sebagaimana di tempat lain, pembatik tidak mematenkan hasil ciptaannya. Dan ini—perlu diakui—menjadi motif yang ‘liar’, yang tidak ada pemiliknya secara sah. Meskipun sebenarnya pembatik tidak akan pernah mencuri motif ciptaan orang lain.
(iv)
Gentongan—batik yang memiliki nilai mistis, dengan proses pembuatan yang tidak biasa: ritual, jampi-jampi, dan doa. Waktu melakukan ritual pun hanya malam Jumat Legi. Dibuat oleh laki-laki. Hukumnya, ‘haram’ bagi perempuan haid melakukan proses perendaman. Hanya ada di Desa Telaga Biru dan Sereseh, Kecamatan Tanjung Bumi. Diyakini, pemakai batik gentongan akan memiliki aura tersendiri—konon dipercaya menambah kharisma, kecantikan dan kelembutan, yang hanya dimiliki oleh para puteri keraton. Maka, batik gentongan adalah persembahan ‘cinta’ laki-laki kepada pujaannya.
Dan,. gentongan sebuah motif batik khas Tanjung Bumi yang qou internasional. Dalam proses pembuatannya, membutuhkan waktu lebih dari 8 bulan. Pewarnaannya, dengan teknik direndam dalam gentong—tempat air minum mirip guci yang terbuat dari tanah liat. Bernama gentongan karena direndam dalam gentong, selama 41 hari. Diberi jampi-jampi, dan ritual khusus—upacara khusus batik gentongan yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena prosesnya lama maka kualitas kain sebagai media dipilih khusus. Tentu kuat, bertahan dari rendaman. Pewarnaannya pun tidak mudah, dengan motif yang rumit. Perempuan yang lagi menstruasi ‘dilarang’ melakukan ritual itu. Bahkan juga dilarang mengerjakan perendaman batik gentongan. Maka, jangan heran, jika harga batik gentongan mencapai jutaan rupiah.