Kalamaran Tradisi Menuju Perkawinan

Ilustrasi: Tradisi kalamaran

Yulianti

 Lain ladang lain ilalang,  lain lubuk lain ikannya. Hal itu bisa menjadi ungkapan untuk setiap budaya yang ada di Indonesia. Indonesia merupakan negara yang memiliki aneka ragam budaya yang terlahir dari banyaknya pulau-pulau yang ada. Setiap daerah memiliki budaya yang berbeda-beda dalam berbagai hal. Salah satunya dalam hal lamaran. Sumenep yang terletak paling timur Pulau Madura memiliki adat-isitiadat atau tradisi lamaran yang unik. Disebut unik lantaran kadang menjadi sesuatu yang beda dibanding daerah-daerah yang lain.

Lamaran atau kerap disebut kalamaran merupakan tradisi yang harus dilalui untuk menuju sebuah perkawinan. Ada tahapan yang harus dilewati untuk melamar seorang perempuan. Setelah melewati masa lamaran dan kedua belah pihak telah sepakat menentukan waktu perayaan perkawinan. Dan pada saat memasuki hari peristiwa perkawinan. pihak laki-laki dan rombongan membawa seperangkat pamogi dan kalamaran. Pamogi adalah aneka macam kebutuhan mempelai wanita, seperti: perlengkapan rias, perlengkapan mandi, seperangkat perhiasan dan sejenisnya,  sedangkan kalamaran merupakan barang-barang seperti; kursi, difan, lemari, piring, gelas, serta perlengkapan lainnya sebagaimana kebutuhan sehari-hari.

Pamogi sebagaimana kebutuhan memperlai wanita, hampir tidak perbedaan dengan daerah-daerah lain, namun untuk tradisi kalamaran setidaknya selama ini hanya terjadi di wilayah Kabupaten Sumenep, khususnya bagi masyarakat pedesaan. Keunikan ini tidak hanya pada kalamaran, yang menarik ketika akan menuju ke kediaman mempelai wanita, sebuah rombongan mempelai pria, berbaris beriringan secara rapi lengkap dengan bawaan masing-masing berupa pamogi maupun kalamaran. Tradisi ini menurut para sesepuh telah berlangsung lama dan menjadi peristiwa tradisisi yang diturunkan dari generasi ke generasi.

Adapun urutan dalam prosesi pamogi dan kalamaran ini adalah sebagai berikut.

Pembawa Pena’an (sirih pinang) yang ditempatkan di  cemmong (tempat pinangan) yang terbuat dari bahan kuningan berwarna kuning emas. Pena’an berisi sirih, gambir, kapur, pinang, dan pappa’an (tembakau untuk nginang). Isi pena’an memiliki makna tersendiri, memiliki filosofi tersendiri bukan dibawa tanpa makna. Adapun makna dari isi cemmong berwarna emas tersebut adalah sebagai berikut. Pembawa pena’an diserahkan kepada keluarga yang dituakan.

Sere (daun sirih) makna serret (kuat) artinya lake bini ja’ atokaran kodu sekken. Suami istri harus kuat dalam mengarungi rumah tangga, menghadapi setiap permasalahan yang ada.

Penang (pinang) bermakna penet artinya alako paongguan onggu ka angguy keluarga. Suami memiliki tanggung jawab dan sungguh-sungguh dalam bekerja untuk keluarga.

Gambir, bermakna kebbir bermakna ja’ andi’ ate salidir. Rumah tangga harus jujur tidak menyeleweng baik suami atau istri.

Kapor, bermakna kofor artinya daddi oreng islam paongguwan onggu. Jadi orang Islam harus mematuhi segala ketentuan Allah.

Pappa’an, pakoko tatak rama, ibada pateppak. Suami istri harus kokoh dari segi tatakrama dan ibadah harus sesuai dengan ajaran agama.

  • Pembawa beras
  • Pembawa nyior (kelapa)
  • Pembawa kue dudul
  • Pembawa kue bajik
  • Pembawa kue tettel
  • Pembawa geddang (pisang)
  • Pembawa pamogi
  • Pembawa kambing
  •  Pembawa barang pecah belah
  • Pembawa bantal dan guling.

Paling depan merupakan rombongan barisan dari kaum wanita dan bagian belakang barisan terakhir dilanjutkan dengan barisan pria. Sama halnya dengan barisan wanita dan umumya lebih banyak dari barisan kamum pria, dengan urutan sebagai berikut; posisi barisan pertama terdiri dari para sesepuh atau orang yang dituakan dengan membawa sprei. Kemudian barisan berikutnya pembawa kalamaran dengan urutan pembawa difan, lemari, kasur, dan kursi, dan masing-masing terdiri dari beberapa orang.

Barang yang dibawa oleh pihak mempelai laki-laki di letakkan terlebih dahulu di tempat yang telah disediakan oleh pihak mempelai perempuan. Tetapi tidak langsung di bawa ke dalam. Setelah acara penyerahan barulah dipindahkan ke tempat yang lain. Tugas rombongan tidak berhenti hanya mengantar saja, tetapi masih berlanjut pada peletakan dan penataan kalamaran. Rombongan laki-laki mengangkat dan arasop (memasang) kalamaran di tempat yang telah disiapkan oleh pihak perempuan. Difan dipasang di kamar memepelai perempuan. Sementara kusri dan lemari diletakkan di ruang tamu rumah mempelai perempuan. Jika rombongan laki-laki telah selesai menata kalamaran maka giliran rombongan perempuan melanjutkan tugasnya. Rombongan perempuan bertugas memasang sprei kasur, bantal, dan guling, serta menata tata letak piring, cangkir, dan semua barang yang harus diletakkan di dalam lemari.

Budaya yang sampai sekarang masih terjaga, khususnya di masyarakat Sumenep pinggiran merupakan salah satu gambaran bentuk tanggung jawab orang tua. Mereka tidak hanya mengantarkan putra putrinya ke gerbang pernikahan. Tetapi mereka masih memenuhi kebutuhan putra-putrinya sebagai perlambang kesiapan memulai hidup baru.

Bagi masyarakat Madura sebuah pengorbanan adalah kewajiban. Mereka masih kuat dengan prinsip bango’ aotangga pesse katembang aotang tengka. Mereka lebih baik mencari hutang daripada malu menjadi buah bibir karena tidak mengikuti adat yang ada.

Budaya lamaran masyrakat Sumenep ini pun menggambarkan betapa guyubnya masyarakat Sumenep. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah rombongan yang  mengantar mempelai laki-laki. Apalagi mereka secara suka rela mengerjakannya. Membawa kalamaran bukan hal yang ringan, tapi jika dikerjakan bersama-sama dan saling bantu maka semua akan terselesaikan dengan baik.

Keunikan lain dalam budaya masyarakat Sumenep terlihat pada mempelai laki-laki yang menetap di rumah mempelai perempuan. Umumnya  perempuanlah yang  mengikuti mempelai laki-laki. Kalamaran tidak bermakna pemberian pada mempelai perempuan, berbeda dengan pamogi. Artinya pamogi merupakan hak milik mempelai perempuan. Sedangkan kalamaran tidak. jika suatu saat dalam perjalanan rumah tangga terjadi perceraian, maka semua kalamaran harus dikembalikan pada mempelai laki-laki. Terkecuali ada perjanjian sebelumnya. Bahkan bebarapa orang akan mengganti peralatan jika ada yang rusak atau pecah. Hal ini mengambarkan betapa masyarakat Sumenep menjunjung tinggi sebuah tanggung jawab.

(Tulisan ini terbit dalam buku “Telisik Kearifan Lokal Sumenep” – Rumah Literasi Sumenep)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.