Nafas Perempuan Batik Madura

Dulu, pengerjaan batik gentongan: dari kettel, memalam skets sampai perendaman dan ritual, dikerjakan oleh laki-laki. Laki-laki sebagai pembatik, memiliki sejarahnya sendiri. Mula-mula, remaja laki-laki yang hendak bertunangan, atau mungkin masih bersiap menyunting gadis pilihan, sebelumnya harus menyiapkan segala sesuatunya. Satu di antara segala sesuatunya adalah hadiah untuk gadis pujaan, dan itu bernama batik gentongan. Karena sebagai hadiah untuk orang yang sangat dipuja, pembatik remaja laki-laki itu harus memilih sedetil mungkin kualitas bahan. Dari kain, yang tentunya kain pilihan yang tahan terhadap rendaman, tiupan angin dan sengatan matahari. Skets yang rumit, dan jlimet. Juga pewarnaan yang berulang, dengan kualitas warna di atas segalanya. Direndam, lalu menjalani ritual dengan jampi dan doa.

Kadang pula batik gentongan dihadiahkan untuk isteri, bagi laki-laki berkeluarga. Juga, dulu, dikerjakan oleh laki-laki (suami). Bahkan, sejak pemilihan kain dasar, sampai pewarnaan dan ritual, semuanya dikerjakan oleh laki-laki. Maka, batik gentongan cenderung (hanya) sebagai ‘pusaka’ –yang tidak dipotong sebagaimana layaknya jenis batik lain, menjadi baju atau pakaian. Batik gentongan hanya sebagai sarung (sampir) dan selendang—yang tidak bersentuhan dengan jahitan.

Kualitas warna batik gentongan memang jauh berbeda dengan batik biasa. Warna lebih ‘garing’ dan ‘angker’. Juga lebih tebal karena melalui berkali-kali pewarnaan. Motif lebih rumit, dan membutuhkan ketelitian khusus. Warna yang dicelupkan ke dalam air dalam gentong, sebenarnya berupa daun dari tanaman lokal, yang ada di sekitar tempat tinggal mereka. Orang setempat menyebutnya daun tarom, berwarna hijau. Daun itu ditumbuk, diambil air perasaannya. Hasil perasan daun itu dicampurkan ke dalam air, dan jadilah hitam. Lalu, kain batik yang sudah bermotif dimasukkan ke dalam gentong. Direndam berhari-hari—setidaknya sehari semalam. Jika diikuti ritual, dan untuk menghasilkan warna batik yang ‘garing’, rendaman sampai 41 hari lamanya. Oleh karena proses tersebut, warna-warna batik gentong itu tampak lebih tua, dan sebagian hitam agak kebiruan. Warna yang klasik.

Dulu, batik gentongan memang bukan untuk industri; tidak dijual untuk umum. Tapi untuk dipakai sendiri. Maka, dibuat khusus, sesuai dengan selera dan karakter pemakainya. Bahkan, karena saking berharganya, batik gentongan tidak dipotong untuk pakaian. Tapi hanya hiasan, selendang dan sarung. Dan bahkan yang lebih ‘gaib’ lagi, batik gentongan hanya sebagai pusaka di rumah—lambang cinta pemiliknya kepada sesuatu yang dicintainya.

(v)

Merah: menyala, berani, dan sangar. Semua motif batik Madura, apapun warna dasarnya, ataupun warna yang dominan, tidak akan pernah menanggalkan warna merah. Entah pada bagian bunga, kelopak, atau kepala burung. Sudah pasti, motif batik Madura tidak akan menanggalkan warna merah meski hanya sedikit. Sebuah ciri khas, goresan merah dan warna-warna tajam nan menyala pada batik Madura—yang bisa dibandingkan dengan motif batik daerah lain.

Motif batik daerah lain, selain Madura tentunya, umumnya berwarna ‘kalem’—warna tidak menyala tapi bukan redup. Warna dasar yang ditonjolkan pun berwarna ‘kalem’, lembut, dan tidak tajam. Perpaduan warna antara yang satu dengan lainnya juga lembut—hampir selaras. Berbeda dengan batik Madura selalu menampilkan warna tajam: merah, kuning dan hijau-biru—menyala. Warna-warna itu kadang berselang-seling, berdiri sendiri-sendiri, satu dengan lainnya tak berhubungan sama sekali, dan mengobarkan ‘semangat’-nya sendiri-sendiri. meski kadang motif (gambar) dasarnya bersambung, tapi pewarnaan memiliki coraknya sendiri. Itulah Madura—sebuah simbol kemandirian.

Lebih unik lagi jika kita membicarakan warna merah yang selalu hadir di setiap motif batik, meskipun kadang kontras dengan warna dasarnya. Dalam banyak hal, warna merah sebagai simbol keberaniaan–yang oleh masyarakat Madura, tentunya juga oleh orang Indonesia pada umumnya—sebagai simbol nasionalisme. Sesumber orang Madura: ‘Selama merah menyala Indonesia tetap jaya’—sebagai bagian penting untuk menjawab kehadiran warna merah pada setiap motif batik.

Dalam psikologi, warna merah identik dengan gairah dan energi. Di dalam roh warna merah terkandung ‘semburan’ kuat yang mendorong energi dan menyerukan terlaksananya suatu tindakan. Ada gairah, action, kekuatan dan kegembiraan yang melekat pada inti ari warna merah. Dominasi warna merah mampu merangsang indra fisik seperti meningkatkan nafsu makan dan gairah seksual. Dan, itulah, mengapa orang Madura, khususnya para pembatik perempuan, tidak mengabaikan warna merah pada setiap motif batiknya.

Warna merah yang dipilih orang Madura, bukan simbol dari darah dan kematian—meskipun darah juga berwarna merah tapi tidak untuk melambangkan darah. Oleh karena itu, warna merah tidak dibiarkan menjadi dasar utama dari setiap motif batik. Jadi, jarang sekali, atau bahkan bisa dikatakan tidak pernah ada, batik dengan dasar warna merah. Warna merah pada motif batik Madura hanya sebagai pelengkap, atau setidaknya pencerah dari semua warna motif. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan motif, warna merah cenderung dipadu dengan warna biru muda. Dipercaya, warna biru memberi efek menenangkan dan mampu mengatasi insomnia, kecemasan, tekanan darah tinggi dan migraine. Dan warna biru memberi kesan profesional dan kepercayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.