Marlena;  Bu Rasmi Wafat

Ilustrasi

Kekhusukan Marlena dalam mengarungi kehidupan kampus semakin mantap. Ia telah bertekad bahwa pada saat inilah merupakan kesempatan meraih kemenangan hidup yang sebenarnya. Gelora semangat besarnya semakin menggebu-gebu. Bahkan ia nampak semakin jelas betapa dirinya kini adalah seonggok manusia yang pada suatu saat nanti akan menjadikan panutan bagi yang lain.

Sebagaimana pesan ibunya ketika masih hidup dulu, Marlena telah memutuskan, bila dirinya akan mengutamakan belajar dari segala-galanya, sehingga masalah Taufikpun pada akhirnya harus pasrah dalam kenyataan.

Pada awalnya Marlena terasa berat memutuskan hubungan dengan kekasihnya yang terbina sewaktu SMA dulu. Namun mengingat kenyataan kini jauh berbeda dengan kenyataan waktu lalu, maka kedua-duanya harus rela membuang bongkahan hati yang hampir menjadi bagian kecil kehidupan dua jenis manusia.

”Demi cita-cita dan harapan orang tuaku, kita harus mengalah menghadapi kenyataan ini. Untuk itu aku minta maaf, bila pada akhirnya kita harus melangkah di persimpangan jalan,” begitu surat Marlena kepada Taufik.

Taufik sendiri di tempat belajarnya, merasakan keputusan Marlena terlalu mengada-ada. Egois. Namun Taufik tidak dapat menolak. Taufik harus jujur, mengingat Marlena sebenarnya terikat oleh suatu keadaan yang tak mungkin dapat ditolaknya. “Insya Allah, bila Tuhan mengizinkan, kita akan bersatu kembali,” begitu akhir kalimat surat Marlena terakhir.

xxxxxxxxxxxxx

Begitulah pada akhirnya, pergulatan kehidupan dalam lingkungan kampus memiliki arti sendiri bagi Marlena. Ia curahkan sepenuhnya gejolak jiwa, sejak mengenal apa arti kehidupan bagi seorang wanita pada jaman sekarang ini, mulai dirasakan semakin bernilai lebih. Beda dengan wanita-wanita di kampungnya, yang kerap hanya mampu memberi kepuasan bagi suami dalam nilai terbatas. Nilai batas menurut Marlena adalah terbatasnya gerak kehidupan wanita desa dalam struktur masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Marlena tidak ingin seperti itu. Ia setelah belajar dari pengalaman pahit getir hidup di desa, ingin lebih melebarkan sayapnya dalam jangkauan luas. Namun tidak berarti wanita harus melangkahi etika kewanitaannya, yang sering terjadi pada wanita-wanita karir di kota, yang ternyata menyalahgunakan fungsinya dari pada kodrat wanitanya. Sehingga akibatnya karena wanita merasa memiliki nilai lebih dari kaum pria, pada akhirnya banyak korban yang berjatuhan. Antara lain jatuhnya kesenjangan antara suami dan istri, anak dan orangtua, bahkan dirinya sendiri dengan kenyataan yang dihadapi.

 “Banyak pembuktian bahwa wanita juga bisa menduduki jabatan pimpinan. Wanita menjadi menteri sudah berapa orang. Wanita menjadi direktur perusahaan sudah banyak. Dan banyak contoh-contoh lain kerap kita dengar dan kita lihat di negara Indonesia. Para wanita sangat potensial dan memilih peluang besar untuk mengembangkan diri, berkarir dan menduduki jabatan pimpinan. Jadi peran wanita Indonesia ini sangat terbuka.” Demikian antara lain pandangan Marlena tentang Peranan Wanita Indonesia dalam suatu diskusi, yang kebetulan Marlena sendiri sebagai pembicara di lingkungan kampusnya.

“Tapi ingat, sejauh manapun kemantapan dan pengakuan masyarakat bahwa peran wanita dapat dilipatgandakan. Namun satu hal yang perlu dicatat ialah kodrat wanita,” jawab Marlena ketika seorang penanggap mempermasalahkan kesibukan kaum wanita yang mengakibatkan terjadinya jurang kehancuran rumah tangga.

Memang dalam lingkungan kampus, figur Marlena ternyata kerap menjadi pusat perhatian. Dalam hal berdiskusi, berdialog, bahkan berdebat, Marlena memiliki keunggulan tersendiri. Demikian juga dalam aktifitasnya di dunia sastra, hampir sisa waktunya dimanfaatkan mengekspresikan gelora jiwanya yang tersirat dalam bentuk tulisan.  Dan hal ini karya-karya tulisan Marlena banyak tersebar di beberapa mass media. Dengan demikian, apa yang dikhawatirkan Marlena ketika sebelum memasuki kampus IKIP Surabaya ini, akan banyak membebani orangtua angkatnya, kini dari hasil honor tulisan tersebut, banyak membantu meringankan beban Pak Toha.

Sudah menjadi rahasia umum, bila sikap dan gaya kehidupan Marlena tampak ekspresif dan kreatif di antara rekan-rekannya. Bahkan boleh dikata Marlena disebut sebagai wanita enerjik tapi fleksibel. Ia mampu bergaul dari semua lapisan masyarakat. Dari yang kaya sampai yang miskin. Bahkan yang hina papapun sering ia akrabi.

Pernah suatu ketika, temannya bernama Lastri mengajak jalan-jalan di sekitar Tunjungan. Marlena memergoki seorang wanita tua sedang menadahkan tangan duduk di trotorar. Dan biasanya kebanyakan wanita-wanita remaja yang berlalu di depannya, tak kan peduli. Kalaupun peduli, paling-paling melemparkan uang logam tanpa ekspresi belas kasih atau rasa hormat di hadapan seorang tua. Namun Marlena justru sebaliknya. Sesaat matanya menatap wanita tua itu. Marlena ikut jongkok di dekatnya. Bahkan tanpa rasa malu dan jijik, ia berbincang-bincang leluasa, sebagaimana layaknya perbincangan orang tua dengan seorang anaknya.

Lastri melihat gelagat temannya, wajahnya nampak merah dan malu. Namun Marlena tidak peduli melihat sikap temannya itu.

“Nenek punya anak berapa?” tanya Marlena jujur.

“Empat, nak,” jawab orang tua itu ragu-ragu.

“Empat? Sekarang masih ada semua nek?”

“Mati dua, yang satu mati ketika masih bayi, satunya lagi mati ketabrak mobil,” jelas nenek itu dengan wajah sendu.

“Astaghfirullah, maaf Nek,” timpal Marlena segera. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.