Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Delapan Belas
Kenyataan ini akhirnya terjadi juga. Setelah berselang beberapa bulan kemudian, Fajar dipindah tugaskan di pulau Madura. Namun tidak seperti yang diharapkan oleh Bu Rasmi. Anaknya itu ternyata harus menempuh kerja di wilayah Kabupaten Sampang. Pertama Bu Rasmi merasa kecewa, karena harapan agar anaknya berada di Sumenep meleset tidak sesuai dengan harapannya. Namun kekecewaan itu segera tertutupi, lantaran paling tidak pada saat-saat tertentu anak dan orangtua masih dapat saling menyambang. Jadi setahap dari kegelisahan Bu Rasmi telah terpenuhi.
Belum lagi merasa puas menikmati suasana baru itu, tiba-tiba tanpa diduga telah muncul berita baru. Kabar ini justru merupakan awal petaka bangkitnya kebahagiaan keluarga Pak Toha. Setelah Fajar pindah ke pulau asal dan sesaat kemudian menjanjikan seorang cucu bagi Pak Toha dan Bu Rasmi. Fatimah pun mulai mengamalkan ilmunya dalam suatu badan hukum yang dikelolanya, sedang Marlena yang kian terangsang oleh pergulatan hidup di kampusnya, tanpa diduga pada saat kedua orang tua itu menikmati hasil perjuangan hidup, nyatanya harus bergolak lagi untuk melawan gugatan Joko, adik kandung Bu Rasmi tentang warisan orang tua mereka.
Masalah ini sebenarnya telah dinyatakan selesai beberapa tahun lalu. Yaitu, ketika suatu malam Joko mendatangi rumah Pak Toha menuntut hak waris yang sebenarnya telah dibagi secara adil oleh orang tua mereka. Lantaran Joko terlibat dalam perjudian dan pengedaran obat terlarang. Akhirnya, kehidupannya hancur berantakan. Untuk itu, Joko mengorek-orek kekayaan kakak kandungnya dalam suatu keadaan yang terpaksa.
Sebenarnya Joko harus jera, sebab saat itu karena perbuatannya Joko dimasukkan dalam rumah tahanan. Entah bagaimana awalnya tiba-tiba Joko muncul dalam keadaan yang sama. “Sampai kapanpun, aku masih menuntut hakku,” ancam Joko. “Dan kalau kakak masih juga menolaknya, maka akan kugugat lewat pengadilan.”
Mendengar kalimat itu, Bu Rasmi menjadi gemetar. Karena bila hal ini betul-betul terjadi, maka secara langsung atau tidak langsung akan melibatkan semua pihak. Namun hal ini menurut Pak Toha lebih baik. Karena bila Joko menuntut lewat jalur hukum, berarti akan memperjelas kedudukan yang sebenarnya.
“Apakah telah kau pikirkan dik Joko?” ujar Pak Toha.
“Aku punya bukti kuat, bila warisan yang diterima oleh kak Rasmi sebagian adalah milikku,” tegas Joko.
“Apa milikmu? Yang mana kau maksud Jok?” tanya Bu Rasmi marah dan gemetar.
“Tidak perlu kusebutkan sekarang, yang penting akan kita selesaikan di muka sidang.”
Sidang itu akhirnya terjadi juga, Joko menggugat Bu Rasmi melalui jalur hukum. Bu Rasmi sebenarnya merasa enggan menerima gugatan itu, lantaran yang ia hadapi permasalahan waris dan keluarga. Bahkan Bu Rasmi akan menyerahkan apa yang dikehendaki oleh adiknya itu. Tapi ternyata Pak Toha dan anak-anaknya menolak.
“Demi keadilan kita harus menyelesaikan melalui jalur hukum Bu,” tegas Fatimah yang banyak tahu tentang hukum warisan sesuai dengan jurusannya sewaktu di bangku kuliah, ialah jurusan hukum perdata.
“Kalau kita menyerah pada Anom (paman muda), maka tak ubahnya kita membiarkan suatu perbuatan yang melawan hukum,” komentar Fatimah seraya menjelaskan permasalahan yang sebenarnya.
“Memang, banyak permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi di masyarakat, yaitu tentang kerawanan harta warisan,” ungkap Pak Toha mendudukkan. “Hal ini kerap terjadi di masyarakat kita, utamanya di daerah pedesaan. Pada umumnya, banyak harta yang akan diwariskan kepada ahli warisnya, ternyata masih belum dilengkapi dengan data-data yang otentik, sehingga akibatnya setelah pewaris meninggal kemudian menimbulkan permasalahan yang berlarut-larut. Bahkan kerap terjadi, karena tidak jelasnya status harta warisan itu, maka timbul persengketaan antar saudara, bahkan sampai terjadi carok. Kalau demikian, siapa yang rugi?” jelas Pak Toha bersemangat namun tepat sasaran.
“Begitulah Bu. Bukan kami tidak setuju maksud ibu. Sekali lagi demi keadilan. Dan itulah, kenapa aku memutuskan mengambil fakultas hukum,” timpal Fatimah.
Atas saran suami dan anaknya itu, Bu Rasmi akhirnya menyetujui menerima gugatan adik kandungnya, Joko. Sementara sebagai pembela dari pihak tergugat langsung ditangani oleh Fatimah. Pada awalnya Fatimah agak rikuh berhadapan dengan pamannya sendiri. Tapi setelah segalanya dipertimbangkan secara masak, mengingat bila hal tersebut tanpa diimbangi oleh kenyataan yang dihadapi, maka akibatnya hukum akan dijadikan kesempatan untuk mengeruk kebuasan nafsu manusia serakah. Apalagi ketika melihat ibunya sendiri, Bu Rasmi, dihadapkan oleh hakim duduk di kursi tersangka. Hal ini membuat hati Fatimah semakin trenyuh.
Persidangan itu ternyata berjalan tidak begitu alot, lantaran bukti kepemilikan harta waris Bu Rasmi sesuai dengan aturan dan prosedur yang berlaku. Jadi dalam menghadapi Joko, sebenarnya Bu Rasmi merasa menyesal. Kenapa adik kandungnya itu sangat berambisi menguasai harta warisannya. Tapi setelah diselidiki, ternyata Joko terpengaruh oleh istrinya sendiri, untuk mengungkit kembali masa-masa jaya orang tua mereka. Ketika itu istri Joko, Sumirah tidak disetujui oleh segenap keluarga karena ditengarai punya latar yang beda. Apabilagi keluarga Joko termasuk keluarga keturunan bangsawan yang pantang mendapat orang baru yang jauh dibawah derajat keluarga.
Saat itu perkawinan Joko terpaksa harus dilakukan, karena perempaun yang disukainya itu adalah seorang pesinden dari kecamatan tetangga, Dasuk. Joko termasuk orang yang gila tayub, ia tidak tak segan-segan menyodorkan lembaran rupiah kepada sinden sebagai saweran. Sebenarnya Sumiran orang baik, tapi status dan derajat kehidupan mereka yang tidak bisa disatukan.
Awalnya kehidupan Joko dan istrinya biasa-biasa saja. Perubahan terjadi ketika Joko kerap terjebak minuman alkohol, dan kemudian berlanjut pada perjudian dan perbuatan buruk lainnya.