Mendengar ucapan Fajar itu, kesemuanya tertawa hingga nampak sekali bila pada saat itu suasana betul-betul meriah seakan suatu pertemuan yang tak ingin berakhir dalam keluarga tersebut, khususnya bagi Bu Rasmi.
Seminggu setelah hajat tersebut, suasana rumah Pak Toha kembali pada asalnya, sepi dan sepi. Sehingga Bu Rasmi kadang berfikir, betapa ia sebenarnya tersiksa oleh keadaan sehari-harinya. Meski demikian, Bu Rasmi masih berusaha untuk bertahan melawan sepi itu, walaupun akhirnya terjerembab dalam jurang sepi yang lebih dalam.
Sepi bagi Bu Rasmi, ternyata sangat mengganggu ketentramannya. Saat demi saat, sepi semakin menggerogoti keadaan dirinya, sehingga dua bulan kemudian, sepi ternyata mulai mencabik-cabik jiwa dan tubuhnya yang tampak jelas bila akhirnya Bu Rasmi harus opname di rumah sakit.
Tidak ada yang menduga, bila penyakit itu berakibat fatal bagi perjalanan hidup istri Pak Toha itu. Mungkin karena semakin parah penyakit yang disembunyikan itu dan ditambah dengan kenyataan-kenyataan sisa hidupnya, pada akhirnya Bu Rasmi harus menyerah terhadap kekuasaan Tuhan. Tuhan telah memanggil untuk kembali ke hadirat-Nya.
Tidak ada duka yang melebihi peristiwa itu. Ibu rumah tangga yang mewariskan segumpal harapan bagi anak-anaknya, merupakan figur seorang wanita yang patut dijadikan contoh tauladan bagi wanita-wanita lain. Mungkin dalam satu sisi, figur Bu Rasmi tak lebih dari figur seorang ibu sebagaimana layaknya. Tapi dalam sisi lain ia sebenarnya seorang pemberontak yang melepaskan diri dari kungkungan jajahan status, sosial lalu membaur dalam kehidupan lapisan masyarakat bawah. Hal ini mungkin terasa sulit ditemukan di sekelompok manusia yang mengaku dirinya sebagai “orang atas” dan berdarah biru. Tapi setelah perkawinannya dengan Pak Toha, Bu Rasmi semakin paham arti hidup dalam lingkungan masyarakat luas.
Masa berkabung masih terasa jelas dalam suasana rumah tangga Pak Toha. Wajah-wajah yang tampak adalah wajah-wajah muram dan sendu. Mereka merasakan, betapa kepergian Bu Rasmi seakan melunturkan semangat bagi anak-anaknya.
“Yah, biarlah Lena menetap di sini saja,” kata Marlena kepada Pak Toha.
Mendengar ucapan itu, jantung Pak Toha tersentuh seakan menggerakkan denyutnya lebih keras lagi.
“Aku maklum maksudmu. Tapi kau tidak perlu khawatir tentang keadaan ayah. Segalanya pasti dapat ayah atasi,” jawab Pak Toha seraya mengelus rambut Marlena. “Di sini setiap saat kakakmu bisa menengok ayah. Hanya ayah harapkan darimu, agar kau berhasil mencapai cita-citamu, sebagaimana yang diharapkan oleh almarhumah.”
“Tapi?”
“Kau khawatir karena ayah sendiri?”
“Lena bayangkan, betapa ayah pasti ……”
“Nah, apa kubilang. Semuanya ayah atasi dengan baik. Toh ayah setiap saat tidak sendiri.”
“Maksud ayah?”
“Kenapa ayah harus takut menghadapi sisa umur? Toh, Tuhan masih akan bersama kita selama kita tawakkal kepada-Nya.”
Akhirnya yang dikhawatirkan Marlena terjadi juga. Dalam kesendirian Pak Toha tak ubahnya seperti kapas yang melayang-layang di udara. Ia seakan dipermainkan oleh waktu. Sementara waktu-waktu Pak Toha makin memburu dari semua sudut kehidupannya. Pak Toha menyadari itu semua. Namun perburuan itu selalu menjadikan dirinya semakin maklum bahwa pada saatnya nanti, Pak Toha akan menyusul istrinya.
Mungkin karena kebiasaan Pak Toha larut dalam kesibukan, maka waktu-waktu yang dihadapi selalu gagal memburu kesendiriannya. Sehingga rasa sepi dapat segera dibunuhnya secara perlahan-lahan.
Dengan demikian, permasalahan hidup dalam kesendirian itu seakan memberikan keleluasaan untuk meraih kemenangan kodrat Yang Kuasa, meskipun sering dirinya terombang-ambing oleh kenang-kenangan hidup masa lalunya. Ia yakin bahwa segumpal daging yang makin hari makin akan menjadi santapan usia merupakan persembahan jiwa dari seluruh perjuangan sejak ia lahir hingga batas hayat nanti. Untuk itu, dalam sisa umur yang tinggal beberapa langkah saja, ia makin meningkatkan dan memasrahkan sepenuhnya kepada Yang Maha Kuasa, dalam setiap detak jantungnya. Itulah Pak Toha yang kadung diwasiati jaman yang semakin tak jelas dan penuh tanda tanya.
*****