Sebagai daerah perkampungan masyarakat-masyarakat Eropa pada abad ke 18, pemerintah kolonial membangun banyak fasilitas khususnya di sekitar permukiman mereka. Di ketahui, bahwasanya di Desa Kertasada Kecamatan Kalianget, Sumenep, terdapat kompleks permakaman orang-orang Eropa yang diperkirakan sudah ada sejak awal ke 19.
Namun, disayangkan indentas dan prasasti makam-makam tersebut, banyak yang tampak tidak jelas, lantaran sejumlah makam dijarah dan dirusak oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga sulit mengindentifikasi latar kesejarahan, yang seharusnya dapat dijadikan acuan sumber penelusuran sejarah orang-orang Belanda di Sumenep.
Dari sejumlah informasi yang ada, makam-makam tersebut diperkirakan telah ada sejak abad ke 19, atau berakhirnya penjajahan bangsa Eropa di Sumenep. Menurut Edhi Setiawan, budayawan Sumenep, penjarahan prasasti dan barang-barang berharga lainnya telah berlangsung sejak tahun 60-an.
Makam-makam tersebut memang memiliki gaya arsitektur menarik dan indah. Wujud kuburan yang terbuat dari batu marmer, dan juga terdapat patung-patung yang terbuat dari perunggu dirusak dan dijarah, dan mungkin dijual ke daerah lain.
“Kejadian tersebut lantaran banyak keturunan orang-orang Belanda yang kebanyakan bertugas sebagai pegawai Perusahaan Garam dipulangkan ke negara asalnya akibat diberlakukannya nasionalisasi asset negara oleh pemerintah pusat saat itu”, ungkap Edhi
Menurut beberapa sumber mengungkap dahulu salah satu makam dari keluarga Van Duyne, yang juga sebagai pendiri hotel pertama di Madura, Van duyne Hotel (Hotel Soemenep), konon katanya fisik kuburan tersebut sangatlah mewah, dan prasasti makamnya didatangkan langsung dari Itali. Yang disayangkan, saat ini tak satupun prasasti tersebut tersisa, justru yang tampak sekarang tumbuhan rumput liar dan menutupi hampir seluruh sisa-siasa makam.
Dari hasil penelusuran sejumlah aktifis yang peduli terhadap peninggalan sejarah, ditemukan di komplek kuburan Kherkoof Kertasada itu, diantaranya Makam keluarga Landeman dan Makam keluarga Van Duyne. Temuan itu didasarkan pada penemuan sisa-sisa prasasti yang masih tampak menempel pada bangunan makam. Namun hanya bberapa makam saja yang kondisinya masih utuh, selain itu rusak total karena telah dibongkar atau karena pengaruh faktor alam. (dari sejumlah sumber)
salam madura,
saya hanya ingin bertanya saya orang jawa yang suka dengan adat budaya madura karena saya sempat datang di madura tepatnya di Desa Durjan kec.kokop kab.bangkalan.di situ daerah dataran tinggi dan sangat jauh dari perkotaan. saya sedikit kaget dan kasihan melihat bahwa di sana tidak ada sumber air sama sekali.masyarakat hanya mengandalkan air hujan dan air sungai yang kotor hingga berwarna kehijauan. lalu di daerah sana ternyata di atas puncak bukit ada beberapa makam yang menurut pengakuan orang masyarakat durjan adalah makam raja tertua di madura yang bernama prabu wico cekar ( tunjung kleteh) sedangkan nama makamnya ialah makam “bujuh bukek” . pertanyaan saya , Apakah mengenai tidak adanya sumber mata air itu akibat sabda dari leluhur tersebut dan kenapa? yang ke dua, Apakah pihak Lontar Madura bisa menjelaskan tentang kebenaran dan keberadan raja dn makam tersebut.
terima kasih
Secara geografis sebagaimana anda sebutkan bahwa di desa tersebut, termasuk wilayah dataran tinggi. Tipologi tanah di Madura, adalah tandus, gersang dan berkapur, jadi sangatlah wajar bila didaerah tersebut kesulitan sumber mata air dan mengandalkan tadah hujan, sebagaimana terjadi daerah-daerah di Pulau Madura yang berlokasi di dataran agak tinggi. Tentu untuk mengatasi persoalan ini bergantung dari usaha dan keperhatian Pemerintah dan masyarakat setempat.
Kami tertarik disebut-sebut ada tokoh bernama Prabu Wico Cekar, raja tertua di Madura. Sebab dalam pemerintahan raja-raja di Madura (Bangkalan), nama tersebut tidak termaktub dalam sejarah Bangkalan. Untuk menemukan info lengkap tentu perlu penelusuran lebih dalam, dan kami akan berusaha mendapatkan literatur yang valid.
Terima kasih, atas atensinya.