Pangantan Ngombi’ Nyeor, Adat Perkawinan Masyarakat Batuputih

pengantin Banyak ragam adat dan tradisi masyarakat, khususnya bagi masyarakat tradisional di pedesaan dalam memasuki fase-fase seperti kelahiran, perkawinan maupun kematian. Peristiwa tersebut wajib ditandai sebagai bagian dari proses hidup dan kehidupan dan harus dijunjung tinggi sebagai manusia yang bermartabat.

Sebagaimana dianut oleh masyarakat Kecamatan Dungkek Kabupaten Sumenep, bahwa dalam memasuki perkawinan tidak sekedar syarat yang ditetapkan oleh syariat Agama, akad nikah dan perayaan perkawinan, setelah itu selesai. Namun ada sejumlah syarat yang secara adat harus dilalui bagi calon mempelai pria maupun wanitanya, yang digambarkan sebagaimana ungkapan:

Atong rokon, andhap asor
Daddiya judhu baris
Atongkedda tongkat roman
Rampak naong beringin korong

Makna secara umum

Hidup dengan rukun, dengan adat
Agar jadi jodoh waris
Indah dan sejuk dibawah pojon beringin mengkurung
Dengan tongkat, tongkat roman (batang padi)

Bagi sementara masyarakat Batuputih, sebelum memasuki fase akad nikah, calon mempelai pria berkewajiban melakukan tahapan atau syarat yang antara lain yaitu sang calon pengatin harus dapat ngombi’ nyeor atau mengupas kelapa, yang kemudian dikenal sebagai Pangantan Ngombi’ Nyeor.

Pengertian ngombi’ nyeor secara harfiah berarti mengupas (batok) kelapa dan menghasilkan buah (daging) kelapa tampak utuh tanpa cacat.

Menurut pengakuan para tokoh di Batuputih, ngombi’ nyeor atau mengupas buah kelapa ini sangat penting, karena dari mengupas batok kelapa yang keras, maka sangat diperlukan ketrampilan dan kehati-hatian, sehingga ketika kelapa telah dikupas, daging kelapa tidak boleh tergores apalagi terluka, meski pada kulit tipisnya.

Hal inilah yang menjadi simbol, bahwa untuk menempuh biduk dalam rumah tangga tidak semata-mata sekedar melalui perkawinan, tapi setelah itu akan menghadapi jalan tandus, terjal dan keras sebagaimana di simbolkan batok kelapa. Namun ketika hasil kupasan tidak sesuai yang disyaratkan oleh adat, maka dalam menjalankan kehidupan barunya dianggap gagal.

Proses perkawinan dalam masyarakat tersebut, pada dasarnya sangat sederhana. Seperti proses perkawinan umumnya yang diawali dengan lamaran dan seterus kemudian disepakati jadwal perkawinan. Namun dalam proses inilah yang kemudian dilakukan Pangantan Ngombi’ Nyeor (pengantin mengupas kelapa) dijalaninya.

Syarat untuk memasuki gerbang perkawinan yang umumnya dilaksanakan di tempat mempelai wanita, calon suami berangkat menuju hajatan diharuskan membawa ban-ghiban, yaitu membawa seperangkat perabot rumah tangga, seperti kursi, lemari, ranjang, serta keperluan rumah tangga lainnya selain minangan peranggun (semacam cepuk untuk minang), dupa kemenyan dan bunga setaman.

Untuk kelengkapan bawaan lainnya dalam bentuk masakan yaitu segalam macam jajanan, utamanya jajanan yang merekat seperti dodol, wajik, tettel, kucur, kuping bali dan sejenisnya yang disimbolkan sebagai keeratan kekeraban kedua keluarga mempelai yang nantinya setelah terjadi perkawinan mahligai rumah tangga mempelai berjalan rekat dan mulus, akur seperti jajanan yang dibawanya.

Selain itu, dari pihak calon mempalai pria juga membawa bawaan hasil bumi, seperti buah-buahan, biji-bijian serta ubi-ubian dan hasil tani lainnya. Sebagai tanda restu kepada calon mempelai wanita, dari keluarga pria berupa kalung, giwang, cincin, gelang yang kesemuanya terbuat dari emas murni, yang ditandakan agar kehidupan mempelai nantinya cemerlang sebagaimana kilau emas.

Barang bawaan tersebut dibawa dengan iring-iringan oleh para pengiring, dari rumah si pria dan umumnya berjalan kaki dengan iringan musik saronen. Sehingga tampak iring-iringan tersebut menjadi bukti pada masyarakat bahwa dirinya mampu mengarungi hidup dengan tanpa membebani pihak keluarga calom istri.

Hal ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi status keluarganya, karena dari sinilah ukuran status dan pristise seorang laki-laki untuk menikahi seorang perempuan. Status ini selamanya akan menjadi cacatan tersendiri bagi kelangsungan hidup meraka kedepannya.

Setelah sampai digerbang rumah mempelai wanita yang telah disiapkan sedemikian rupa sebagaimana hajatan perkawinan umumnya, dengan tamu-tamu yang telah berdatangan serta penghulu yang siap menikahkannya, keluarga calon pengatin pria tidak langsung masuk altar akad pernikahan, namun harus diuji dulu kemampuannya, sejauhmana dia mampu dan dapat mengupas buah kelapa atau ngombi’ nyeor

Konon kelapa yang dipilih yaitu nyeor ejhu atau kelapa hijau, yaitu buah kelapa yang kulitnya berwarna hijau, dan punya arti sejuk, sedang daging kelapa tampak tebal dan empuk. Pilihan kelapa tentu telah diperhitungkan sebagai simbol kesejukan hati bagi kedua mempelai.

Dengan disaksikan semua pihak, ditempat yang telah ditentukan tetersedia lah tersebut sebuah kelapa yang telah bersih dari serabutnya, yaitu sebutir buah kelapa yang masik berbatok serta sebuah parang atau berang pengupas yang disiapkan bagi calon mempelai pria.

Ujian mengupas kelapa ini sangat menentukan keberlangsungan atau tidaknya proses pernikahan nantinya. Apabila sang calon mempelai pria berhasil mengupas dengan tanpa ditandai luka atau goresan pada kulit dan daging kelapa, maka pernikahan dapat dilanjutkan. Dan sebaliknya, apabila ternyata sang calon mempelai pria gagal, serta terdapat luka pada daging kelapa yang dikupasnya, dipastikan pernikahan tidak dapat dilanjutkan atau gagal.

Hal inilah yang kerap menjadi tantangan bagi seorang pria untuk mendapatkan seorang istri. Namun ada sementara mengatakan kegagalan tersebut dapat diulang kembali pada waktu yang berbeda. Dengan kata lain, proses hajatan perkawinan harus dibentangkan kembali setelah calon mempelai pria benar-benar mampu dan sanggup mengupas kelapa dengan benar, yang artinya sang pria harus benar-benar siap lahir dan batinnya. (syaf/Lontar Madura)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.