Ketam Ladam Rumah Ingatan: Menggali Madura, Menggali Pesantren

Berikut ini salah satu puisi Sofyan RH Zaid (dimuat dalam buku ini):

KAWIN BATIN

ruhku menikahi ruhmu # pusat jagat bertemu
maharku syahadat serta selawat dalam penerimaan yang hakekat
wali malaikat saksi Allah # Nabi Muhammad mengucap sah

pengantin ruh menuju sungai # terseret arus ke pantai
di bawah janur bercumbu # butir pasir pecah seribu
perlahan menaiki perahu # melayari lautan hu
ombak hu, riak hu # seluruh penjuru jadi hu
huku dan humu berpelukan # sepanjang angin surga pelayaran
berenang Rumi dan Hafis #  gerimis perlahan turun tipis
bulan meleleh madu # bintang saling berpadu
Bakar dan Umar hadir # Usman dan Ali mencair

ruh kita satu tuju # lebur menyatu dalam hu
berloncatan ikan abad # menuju pulau ahad

saat perahu berlabuh # hu begitu riuh
: hu hu hu hu # hu hu hu hu

2014.

Penyair yang juga intens menggali khazanah pesantren adalah Raedu Basha, terutama secara tematik. Dalam puisi-puisinya, Raedu menulis tentang ulama-ulama pesantren, yang secara umum mengekspresikan hubungan khas antara seorang santri dengan kiainya. Lebih dari sekadar hubungan murid dan guru atau mahasiswa dan dosen, hubungan santri dengan kiainya adalah juga hubungan moral, emosional, dan kerohanian sekaligus. Hubungan santri dengan kiainya adalah hubungan batin hampir-hampir secara total dan kekal, dengan berbagai seginya yang kompleks. Kiai senantiasa memancarkan emanasi kerohaniannya, dan sang santri selalu ingin mendapatkan berkah emanasi kerohaniannya itu.

Demikianlah maka hubungan santri dan kiainya terus berlangsung meskipun sang santri tak lagi belajar secara formal pada sang kiai, atau bahkan meskipun sang kiai telah lama meninggal dunia. Hubungan mereka abadi secara moral dan terutama secara spiritual. Ziarah ke makan seorang kiai bukan saja untuk mendoakan sang kiai (dan diri sendiri), melainkan juga mengintensifkan hubungan batin dan kerohanian sang santri dengan kiai itu sendiri, dan pada akhirnya untuk memupuk dimensi-dimensi kerohanian santri itu sendiri: … di tubuh makammu bunga-bunga/ pernah kupetik setangkai lantas membangga/ manakala darahku dan mawar sama merahnya/ tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri/ hanya sebatang dahan dari bunga makam tuan/ yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan….

Petikan puisi Raedu Basha berikut mengemukakan segi-segi kompleks dari hubungan moral dan spiritual santri dengan kiainya dalam kultur pesantren (dimuat dalam buku ini):

BUNGA DI MAKAM KIAI SYARQAWI

aku titisan tuan, apa beda wajahku daripada nisan wajahmu
aku seonggok muda hakekatnya mati daripada tidurmu yang berarti
jariyah sejati, mengekal dalam ingatan setiap santri
kau membujur kini, di tubuh makammu bunga-bunga
pernah kupetik setangkai lantas membangga
manakala darahku dan mawar sama merahnya
tapi kadang nafsu ini lupa bahwa esensi diri
hanya sebatang dahan dari bunga makam tuan
yang jatuh dan menjauh terhanyut aliran bengawan

makna apa gerangan membujurkan tuan di sini
seorang Jawa tapi mematri di pulau Madura
barangkali asin garam dan bau sirih tembakau
mengetahui perihal lampau
rahasia-rahasia perjalanan sepulang berhaji
mendamparkanmu ke tanah ini, Guluk-guluk
cahaya terguling-guling dari bukit suci
menubuhkan aroma jannah ke bumi
menumbuhkan bunga dari rahim samadi
ke pekarangan seputar Kandang Jaran ini
tanah yang meminta jejak telapak kakimu menginjak
memohon kau khidmat menebarkan syafaat

….

***

Antologi puisi Ketam Ladam Rumah Ingatan setidaknya menunjukkan fenomena perpuisian Indonesia di Madura sebagai salah satu eksemplar puisi Indonesia mutakhir. Maraknya kehidupan dan cukup tingginya produksi puisi (dan sastra) Indonesia dari penyair-penyair Madura tentu saja menggembirakan, dengan mutu puisi mereka ―paling tidak sebagiannya― yang tidak mengecewakan. Penyair-penyair dalam antologi ini masih relatif muda. Pastilah mereka masih akan terus berkembang, terus menggali kemungkinan-kemungkinan yang selama ini mungkin tak terpikirkan dalam puisi Indonesia. Hal itu memberikan harapan dan membangkitkan optimisme, bahwa dari Madura akan terus lahir puisi-puisi yang akan memberikan sumbangan penting pada sastra dan kebudayaan Indonesia.

Sebagai penutup, satu pertanyaan perlu direnungkan bersama: bagaimana caranya agar Madura sebagai taman subur bagi puisi dan sastra Indonesia mampu bertahan, atau bahkan lebih subur lagi?

Sebab puisi adalah … ombak/ berdebur/ mamanjang/ mencari diam/ yang hilang/ di dalam engkau. Salam. []

Pondok Cabe, 29 Januari 2016

Tulisan ini merupakan pengantar buku Jamal D. Rahman (editor), Ketam Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura (Jakarta: Lembaga Seni dan Sastra Reboeng, 2016).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.