Dari Khazanah Madura dan Pesantren
Kita telah melihat latar sosial penyair-penyair Madura dalam buku ini. Mereka adalah orang Madura yang tentu saja hidup dengan segala tradisi dan khazanah Madura, pada saat yang sama kebanyakan dari mereka adalah orang pesantren yang tentu juga hidup dengan berbagai tradisi dan khazanah pesantren. Tidaklah mengherankan kalau dalam buku ini kita menemukan jejak-jejak kemaduraan dan kepesantrenan dengan relatif jelas. Jejak-jejak itu terlihat terutama dari tema dan berbagai diksi atau idiom yang secara langsung memberikan asosiasi pada Madura atau pesantren. Tapi bagaimanapun, mereka adalah penyair Indonesia, yang karenanya tidak mengherankan pula kalau banyak puisi mereka tidak memiliki acuan langsung baik pada Madura maupun pesantren.
Penting dikemukakan bahwa, meskipun kebanyakan penyair ini berlatar belakang pendidikan pesantren, penyair yang menggali tema atau menggunakan idiom-idiom Madura ternyata lebih banyak dibanding penyair yang menggali tema dan menggunakan idiom-idiom pesantren. Warna atau corak Madura dapat kita temukan misalnya pada puisi A Warits Rofi, Ahmad Subki, Badrul Munir Khair, Bernando J. Sujibto, Farid Kacong Alif, Kamil Dayasawa, Khairul Umam, Nurul Ilmi El-Banna, Selendang Sulaiman, Subaidi Pratama, Sule Subaweh, Syarifullah, Umar Fauzi Ballah, dan Zainul Muttaqin. Sementara, corak atau warna pesantren kita temukan misalnya dalam puisi Raedu Basha, Sofyan RH Zaid, dan Syarifullah. Dengan demikian, tampak bahwa Madura dengan segala seginya merupakan tempat mayoritas penyair mencari dan bergulat untuk puisi mereka, tentang alamnya, tradisinya, manusianya, kenangan tentangnya, dan lain sebagainya.
Sudah tentu perlu pembahasan tersendiri tentang bagaimana dan sejauhmana para penyair muda ini menimba inspirasi dari sumber-sumber khazanah Madura. Untuk memberikan sedikit gambaran tentang itu, di sini saya kutip puisi Subaidi Pratama (dimuat dalam buku ini):
KASIDAH AIR HUJAN
Rintik-rintik air hujan menitik
Jatuh ke tanah mengubur terik
Semak dan rumputan bersemi di tubuh bumi
Bunga siwalan manari-nari di ranting sunyi
Tinggal sepetak ladang kami
Lagi mungkin akan tercuri
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Tanah mengalunkan lagu
Langit menjerit sedalam kalbu
Anak-anak senang mandi air hujan
Para pembajak menyelamkan badan
Di sana, aku saksikan kasidah air hujan
Membelai segala ranting hingga dahan
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko”
Kutatap burung-burung merunduk ke lereng-kali
Perlahan-lahan akar pohon pun menusuk rusuk bumi
Ketika hujan lama mengalir ke perasaan
Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan
“Dingin, dingin,” kataku
“Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu
Dan terus berlagu di ruang kalbu.
“Yale’-yale’ aduh ghellang soko” adalah satu baris lirik lagu tradisional Madura. Secara harfiah ia berarti “Yale’-yale’ aduh gelang kaki”. Lagu itu merupakan ungkapan kekaguman yang romantis dari seorang pria yang jatuh hati terhadap seorang perempuan. Si pria mengantar perempuan itu pulang ke rumahnya melewati pinggiran sawah pepadian yang mulai menguning. Si pria benar-benar jatuh hati dan mengagumi kecantikannya: senyumnya, lambaian tangannya, cara berjalannya. Misalnya dikatakan bahwa senyum perempuan itu bagai bulan purnama. Dia juga mengagumi pakaian tradisional yang dikenakan perempuan pujaannya: gelang kaki,sampèr (sarung wanita) cingkrang, dan anting-anting. Mengikuti sang perempuan dari belakang, si pria merasa cemas kalau-kalau perempuannya jatuh di jalan setapak yang licin itu. Juga cemas bisakah si pria mendapatkan gadis pujaannya. Dalam suasana itu semua, lagu tersebut bernada romantis dan berbunga-bunga, namun juga dibayangi perasaan cemas.
Dengan mengutip larik “Yale’-yale’ aduh ghellang soko”, Subaidi Pratama membawa suasana romantis dan berbunga-bunga yang dibayangi kecemasan itu ke dalam puisinya. Dan suasana lagu tradisional Madura itu memang sejalan dengan suasana dalam puisi tersebut, namun dalam konteks yang berbeda. Dalam lagu tradisional Madura, suasana romantis terbangun oleh jatuh hati seorang pria pada seorang perempuan. Dalam puisi Subaidi Pratama, suasana romantis terbangun oleh perasaan gembira seorang petani karena hujan turun, yang dibayangi perasaan cemas kalau-kalau pertaniannya dicuri orang. Tapi bagaimanapun, sebagaimana juga dalam lagu tradisional Madura itu, dalam puisi Subaidi perasaan senang lebih besar dibanding perasaan cemas:Ketika hujan lama mengalir ke perasaan/ Betapa dingin dekap Tuhan kurasakan//…//“Dingin, dingin,” kataku/ “Sejuk, sejuk,” hujan terus berlagu/ Dan terus berlagu di ruang kalbu.