Dari Perubahan Dramatis Pesantren
Apa yang memungkinkan Madura menjadi taman subur bagi puisi Indonesia? Sudah tentu ada banyak faktor atau variabel, dan penelitian yang seksama tentang itu perlu dilakukan. Tapi dari data sekadarnya saja dari buku ini, kita akan mendapatkan jawaban cukup menarik, yaitu bahwa maraknya fenomena sastra Indonesia di Madura berkaitan dengan konteks makro tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Buku ini memuat puisi karya 41 penyair, yang diseleksi oleh kurator dari 131 penyair kelahiran Madura yang mengirimkan karya masing-masing kepada penyelenggara. Kurator adalah Syaf Anton Wr dan M Faizi, dua penyair yang tekun membina komunitas-komunitas sastra di Madura. Di antara ketentuan teknis penyelenggara adalah usia penyair maksimal 30 tahun. Itu berarti, para penyair dalam buku ini merupakan generasi penyair Madura terkini, katakanlah generasi yang memulai karir kepenyairan mereka sekitar sepuluh tahun terakhir. Kiranya para penyair dalam buku ini masih akan berkembang, barangkali dengan eksplorasi, percobaan, dan intensitas yang lebih dalam. Demikianlah kita berharap.
Tapi dalam kerangka pertanyaan di atas, yang penting adalah hal berikut: dari 41 penyair ini, 38 orang berlatar belakang pendidikan pesantren dalam pengertian formal atau tradisional. Hanya 3 penyair berlatar belakang pendidikan non-pesantren (Royyan Julian, Sule Subaweh, dan Lukman Hakim AG). Angka ini mengkonfirmasi asumsi umum tentang besarnya peranan pesantren dalam kehidupan masyarakat Madura secara umum.
Apa yang dapat kita katakan tentang data tersebut? Tanpa bermaksud mengecilkan peran pendidikan non-pesantren, tak diragukan lagi bahwa pesantren-pesantren di Madura telah menyediakan lingkungan gembur yang memungkinkan puisi tumbuh dengan subur. Dalam 30 tahun terakhir, di berbagai pesantren sanggar sastra bermunculan, kegiatan-kegiatan sastra (dan seni) digalakkan, dan sejumlah publikasi sastra diterbitkan. Di sinilah bibit-bibit sastra khususnya puisi mula-mula disemai di pesantren. Dan demikianlah kehidupan sastra di pesantren kemudian begitu marak. Banyak penyair Madura memulai karir kepenyairannya dari pesantren.
Dilihat dari corak tradisional pesantren sebagai lembaga pendidikan dan keagamaan khususnya di Madura, fenomena ini sebenarnya agak mengejutkan. Puisi dan sastra Indonesia modern bagaimanapun relatif baru di dunia pesantren. Bagaimanapun, secara tradisional pesantren adalah lembaga pendidikan ilmu-ilmu agama (Islam), dimana ilmu-ilmu agama (Islam) seringkali dibedakan secara diametral dengan ilmu-ilmu umum (“sekuler”). Dan, bukankah puisi dan sastra Indonesia tidak termasuk kategori ilmu agama (Islam)?
Dalam konteks ini kita perlu menelusuri bagaimana puisi Indonesia masuk ke pesantren, khususnya di Madura. Dan di sini kita masuk ke situasi makro yang dihadapi pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional Islam di Indonesia. Situasi makro itu dimulai setidaknya di awal abad ke-20, yaitu dengan munculnya gerakan modernisasi (pembaruan) Islam Indonesia. Seiring dengan gerakan modernisasi Islam yang cukup agresif pada masa itu, muncul pula kebutuhan atau bahkan tuntutan modernisasi pendidikan Islam. Maka muncullah dua model lembaga pendidikan Islam, yaitu sekolah Belanda yang diberi muatan pelajaran Islam, dan sekolah Islam yang dalam batas tertentu mengadopsi model pendidikan Belanda, yakni menggunakan sistem klasikal, kurikulum yang terencana, dan memasukkan mata pelajaran umum (“sekuler”). Tentu saja lembaga pendidikan modern Islam ini dimulai oleh kalangan Islam modernis.
Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren harus merespon tuntutan tersebut. Meskipun komunitas pesantren tidak setuju dengan agenda-agenda keagamaan kaum modernis, misalnya dalam menyikapi bid’ah dan khurafat, bagaimanapun pesantren harus “menyesuaikan diri” dengan perkembangan dan tuntutan-tuntutan baru. Tetapi, proses “penyesuaian diri” pesantren ini berlangsung alot. Pesantren cenderung sangat hati-hati dalam memodernisasi sistem pendidikan mereka, yang dalam arti tertentu merefleksikan ketegangan atau bahkan resistensi kalangan Islam tradisional terhadap kalangan Islam modernis. Mereka tidak dengan serta-merta mentransformasi diri menjadi lembaga pendidikan modern. Alih-alih, mereka mempertahankan tradisionalisme mereka dengan hanya mengadopsi segi-segi tertentu secara sangat terbatas dari pendidikan modern, di antaranya dengan memasukkan keterampilan, khususnya di bidang pertanian.
Di tengah kuatnya desakan modernisasi pendidikan, baik dari masyarakat maupun pemerintah, dari zaman kolonial sampai zaman kemerdekaan, bagaimanapun pesantren menunjukkan kemampuannya dalam bertahan dengan tetap menjaga tradisionalisme mereka. Dalam konteks ini, pesantren tanpa ragu-ragu menjaga tradisionalisme pendidikan mereka dengan gigih, tetapi juga dengan daya lentur yang lambat-laun kian akomodatif. Terutama sejak zaman kemerdekaan dan seterusnya, dengan terus menjaga tradisionalisme mereka, pesantren kian terbuka dalam mengadopsi segi-segi modern dalam pendidikan. Dengan cara itulah pesantren tetap bertahan dan bahkan berkembang. Ini berbeda dengan lembaga pendidikan tradisional Islam di beberapa negara Muslim. Di negara-negara Muslim, misalnya di Turki, banyak lembaga pendidikan tradisional Islam mengalami kemunduran atau bahkan tutup sama sekali akibat kegagalan mereka memenuhi tuntutan modernisasi pendidikan, di samping karena desakan sosial dan politik yang kompleks.
Di masa-masa selanjutnya, pesantren kian akomodatif terhadap modernisme pendidikan. Mereka memang terus merawat segi-segi tradisional yang dipandang perlu terus dirawat sebagai tradisi yang baik, namun mereka kian intensif dan ekstensif mengakomodasi hal-hal baru yang dipandangnya relevan dengan tuntutan aktual dunia pendidikan. Kaidah al-muhâfadhatu `ala ‘l-qadȋm-i ‘s-shâlih wa ‘l-akhdzu bi ‘l-jadȋd-i ‘l-ashlah (merawat tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik) diterapkan pada berbagai bidang kehidupan secara luas. Demikianlah misalnya pesantren mempertahankan sistem sorogan, pada saat sama mereka menerapkan sistem klasikal. Demikianlah misalnya lagi pesantren menjaga sistemnya yang mandiri dan otonom, pada saat yang sama mereka mengakomodasi sistem pendidikan nasional. Dalam arti itu pesantren memiliki daya lentur, daya adaptif, daya adoptif, dan daya akomodatif.
Dengan cara itu pula, inovasi-inovasi baru di pesantren berkembang. Mereka tak hanya melayani pendidikan dengan sistem yang terus diperbaharui, melainkan juga melakukan inovasi di bidang pembangunan pertanian, pengembangan sektor-sektor ekonomi, dan lain sebagainya. Dengan cara itu pulalah pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional bukan hanya mampu bertahan, melainkan juga berkembang dan tetap relevan dengan tuntutan masyarakat modern ―dan di sini Sutan Takdir Alisjahbana, yang dalam Polemik Kebudayaan memandang pesantren sebagai masa lalu yang ketinggalan zaman dan karenanya harus ditinggalkan, keliru.
Kemampuan pesantren beradaptasi dengan tuntutan modernisasi pendidikan Islam dan mengadopsi sistem pendidikan modern ini berimplikasi pada terjadinya perubahan-perubahan cukup dramatis di tubuh pesantren. Kurikulikum direvisi secara radikal, dengan memasukkan ilmu-ilmu umum (“sekuler”) sebagai bagian integral dari kurikulum tradisional. Jurusan-jurusan umum dibuka bahkan sampai perguruan tinggi. Kategori ilmu agama dan ilmu umum (“sekuler”) pun kian cair dan tak lagi normatif. Sistem klasikal diterapkan secara lebih luas, dari tingkat paling bawah sampai perguruan tinggi. Dengan tetap mempertahankan sarung dan peci sebagai pakaian tradisional pesantren, celana dan sepatu serta dasi dan jas mulai digunakan sebagai pakaian sah pesantren. Perubahan-perubahan cukup dramatis ini hampir secara keseluruhan mengubah wajah pesantren tanpa kehilangan tradisionalisme mereka.
Dalam pada itu, seiring dengan mobilitas sosial-ekonomi umat Islam terutama dengan lahirnya kelas menengah Muslim ―apa pun definisi kita tentang itu― di banyak daerah, pesantren menyediakan sistem pendidikan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak-anak kelas menengah Muslim ini. Kelas menengah Muslim ini memiliki gairah keislaman yang tinggi, namun tidak melulu berorientasi pada ilmu-ilmu Islam, melainkan pada berbagai disiplin ilmu yang kelak akan memberikan peluang sosial lebih luas. Sudah pasti mereka berorientasi pada sistem pendidikan modern, dengan fasilitas pendidikan yang lebih memadai dan wawasan yang lebih terbuka. Dalam konteks itu, pesantren secara kreatif mengakomodasi tuntutan-tuntutan baru pendidikan anak-anak kelas menengah Muslim. Ini adalah contoh kasus lain di mana pesantren mengakomodasi tuntutan modernisasi pendidikan Islam.
Apa yang penting dari perubahan cukup dramatis di dunia pesantren itu adalah bahwa dengan kelenturan dan kemampuan mereka beradaptasi dengan tuntutan modernisasi pendidikan, pesantren telah membuka diri terhadap dunia luar. Setelah terbukti berhasil menjaga tradisionalisme mereka di satu sisi, dan kian menyadari bahwa modernisasi pendidikan tak mungkin dielakkan di lain sisi, pesantren selanjutnya membuka diri lebar-lebar. Demikianlah maka pesantren telah membuka jalan bagi masuknya hal-hal baru dari luar: olahraga, kesenian, keterampilan, dan lain-lain, termasuklah sastra Indonesia modern terutama melalui pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai mata pelajaran umum. Dari sinilah puisi dan sastra Indonesia mulai hidup dan tumbuh di pesantren.
Memang, di pesantren secara tradisional diajarkan ilmu sastra Arab, yakni ilmu balâghah, dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang cukup tinggi. Tetapi, ilmu balâghah tampaknya tidak membuka jalan bagi masuknya sastra Indonesia ke pesantren. Puisi yang lahir dan tumbuh di pesantren pada mulanya adalah puisi Indonesia modern. Ia tidak mengacu pada puisi Arab tradisional sebagaimana diajarkan dalam ilmu balâghah. Dan, meskipun ilmu balâghah sudah diajarkan jauh sebelum sastra Indonesia masuk ke pesantren, bagaimanapun sastra Indonesia relatif terlambat masuk dan berkembang di pesantren itu sendiri. Bahkan hingga perkembangannya kemudian ketika sastra Indonesia sudah masuk ke pesantren, dapat dikatakan bahwa sastra Arab dan ilmu balâghah masih tetap teralienasi dari kehidupan sastra Indonesia di pesantren, atau sebaliknya sastra Indonesia di pesantren teralienasi dari ilmu balâghah.
Hal itu bisa difahami, karena tujuan diajarkannya ilmu balâghah adalah memberikan wawasan dan peralatan kepada santri untuk memahami dengan lebih baik ilmu-ilmu Islam dan sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadis. Kiranya bisa difahami pula kalau di awal pertumbuhan puisi dan sastra Indonesia di pesantren, ilmu balâghahtidak turut menyuburkan maraknya kehidupan puisi dan sastra Indonesia di pesantren itu sendiri. Bahkan sampai sekarang, secara umum ilmu balâghah dan sastra Indonesia di pesantren masih teralienasi satu sama lain.
Khususnya dalam 30 tahun terakhir, pesantren di Madura tumbuh dalam dinamika dan ketegangan situasi makro tersebut. Tidak mengherankan kalau sastra Indonesia pun relatif terlambat masuk ke pesantren di Madura. Tetapi, pesantren di Madura secara kreatif dan intensif segera mengakselerasi dinamika kehidupan sastra Indonesia ―yang baru masuk itu― di dalam dirinya. Mereka melipatgandakan kegiatan-kegiatan sastra, mengintensifkan komunikasi dengan komunitas-komunitas sastra, mengikuti forum-forum sastra di luar pesantren, menambah buku-buku sastra untuk perpustakaan, menyemarakkan publikasi karya sastra, dan lain sebagainya. Maka, dibanding jenis-jenis seni modern lain, sastra Indonesia tampaknya merupakan jenis seni modern yang paling hidup di pesantren-pesantren di Madura hingga sekarang.
Tentu saja, fenomena lahirnya puisi Indonesia dari lingkungan pesantren di Madura hanyalah fenomena mikro dari fenomena lahirnya sastra Indonesia modern dari lingkungan pesantren yang lebih luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Sastrawan-sastrawan Indonesia berlatar belakang pendidikan pesantren bagaimanapun sudah lama muncul, seperti Djamil Suherman, A Mustof Bisri, Ahmd Tohari, dan Emha Ainun Nadjib. Juga dari generasi berikutnya seperti Acep Zamzam Noor, Abidah El-Khalieqy, dan Habiburrahman El-Syirazy ―untuk sekadar menyebut beberapa nama. Lahirnya penyair dan sastrawan berlatar pendidikan pesantren ini tentu saja secara kultural mengintegrasikan pesantren ke dalam sistem sastra Indonesia modern. Lebih dari itu, fenomena lahirnya penyair-penyair Madura menunjukkan sesuatu yang lebih jelas lagi, yaitu bahwa pesantren adalah satu faktor dalam sastra Indonesia, khususnya dalam skala lokal di Madura sendiri.