D. Zawawi Imron
Dalam hal itu buku Baburugan Becce’ yang ditulis oleh Mas Wignyoamidarmo terbit di Jakarta tahun 1909, pada pengantarnya, antara lain dijelaskan seperti ini:
“Selerressa akkal paneka menangka komodhdhina manossa. Oreng se korang pangarteyan, ampon nyata odi’ epon kadiya parao e tengnga tase’ se tadha’ komodhdhiepon.
Nyama se sae paneka kodu esare gu-onggu, kodu eparlowagi panyareepon, lebbiyagi parlo pole dhari panyareepon kasogiyan.”
(Akal itu berfungsi sebagai kemudi kehidupan manusia. orang yang kurang pengetahuan hidupnya seperti perahu yang berlayar tanpa kemudi.
Nama baik (harga diri) seyogyanya diupayakan dengan sungguh-sungguh, lebih diutamakan dari mencari harta benda (kekayaan).
Dengan meresapi “pote mata pote tolang, ango’ poteya tolang”, seseorang akan malu untuk berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma yang telah disepakati masyarakat. Sebab dengan berbuat yang tidak senonoh itu akan membuat coreng hitam di wajah sendiri.
Kalau ada seseorang yang melanggar adat, tidak tahu sopan santun, dan tidak menjaga kehormatan dirinya, dalam pepatah Madura disebut “Ta’tao Judanagara” (tidak kenal Yudonegoro). Yudonegoro adalah seorang tumenggung yang memerintah daerah Sumenep pada abad ke-17. Ia sangat bersimpati pada perjuangan Trunojoyo. Ia terkenal sebagai seorang tumenggung yang menghormati orang kecil, adil dan bijaksana dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena keluhuran budi pekertinya, namanya dikekalkan dalam pepatah.
Selanjutnya buku “Baburugan Becce’” menggambarkan sikap manusia (Madura) yang menjelaskan sebuah kerangka moralitas sebagai berikut: