Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan

Budaya Orang Pandalungan

Wilayah tapal kuda adalah tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau dan tempat “mengejar rezeki” orang-orang yang berasal dari kawasan budaya Jawa, Jawa Ponoragan, Jawa Mataraman, dan kawasan kebudayaan Arek. Kesulitan sosial-ekonomi dan kondisi geografis Pulau Madura yang pada saat itu sangat gersang, telah mendorong orang-orang Madura Pulau bermigrasi ke kawasan tapal kuda. Kepentingan sosial-ekonomi merupakan faktor dominan yang mewarnai peristiwa migrasi tersebut. Mereka datang dengan kemauan sendiri atau direkrut oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983:302-339; Kusnadi, 2001). Tipe kebudayaan orang pandalungan adalah kebudayaan agraris-egaliter.

Penanda simbolik yang tampak jelas dari tipe kebudayaan ini terdapat pada seni pertunjukan yang digeluti dan penggunaan bahasa sehari-hari yang secara dominan menggunakan ragam bahasa kasar (ngoko) dan bahasa campuran (dua bahasa daerah atau lebih). Konsep pandalungan mirip dengan konsep melting pot di Amerika Serikat, yakni kemenyatuan beberapa kelompok etnik. Secara etimologis, kata pandhalungan berasal dari bentuk dasar bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar” (Prawiroatmodjo, 1985:100). Pengertian simbolik-kultural kata pandhalungan adalah kawasan yang menampung beragam kelompok etnik dengan berbagai latar belakang budaya, yang kemudian melahirkan tipologi kebudayaan baru yang mengambil unsur-unsur budaya yang membentuknya.

Istilah pandhalungan berarti ‘berbicara/berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya’ (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Dalam konteks realitas masyarakat dan kebudayaan di kawasan tapal kuda, definisi itu bisa berarti bahwa bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat bersangkutan adalah bahasa yang kasar (ngoko) atau bahasa yang struktur gramatikanya belum mapan, seperti ditandai dengan intensitas interferensi leksikal dan gramatikal. Kekurangmapanan aspek gramatika ini terjadi karena interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat dilakukan oleh masing-masing pemilik kebahasaan (Jawa dan Madura) yang kedudukannya sama kuat atau sama dominan (Kusnadi, 2001).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.