Tragedi Nipah: Sebuah Problema Kebijakan Pembangunan
Di antara berbagai korban arogansi birokrasi, salah satunya pernah terjadi di Desa Nipah, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang. Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Nipah itu merupakan catatan hitam dalam sejarah pembangunan di bumi Madura.
Kecamatan Banyuates terletak di bagian utara Kabupaten Sampang dengan jarak kurang lebih 57 km. Sebagai Kecamatan yang berada di pesisir utara Pulau Madura, Banyuates dilalui dan berada pada jalur lintas utara yang menghubungkan Kamal-Bangkalan-Ketapang-Ambunten-Sumenep.
Sejak tanggal 25 September 1993, perhatian seluruh masyarakat Indonesia ditujukan kepada kecamatan tersebut. Banyuates tiba-tiba menjadi amat terkenal dan menjadi perhatian pusat dan daerah, aparat keamanan, cendekiawan, ulama, mahasiswa bahkan masyarakat awam sekali pun.
Segenap perhatian tersebut karena di Banyuates telah terjadi sebuah tragedi yang menyayat hati dan menghentak rasa keadilan. Sebuah tragedi berupa melayangnya empat nyawa dan beberapa orang warga masyarakat yang luka-luka, sebagai akibat peluru-peluru yang dimuntahkan dari senapan aparat keamanan.
Setelah peristiwa ini, seluruh warga dilanda kecemasan, keresahan dan keprihatinan yang amat dalam, karena masih dihinggapi rasa takut akan diberi tindakan lagi oleh aparat keamanan. Aksi unjuk rasa dan protes yang dilakukan mahasiwa di perguruan tinggi mengalir terus saat itu.
Mengapa tragedi Nipah mesti terjadi? Bukankah pada saat itu masyarakat awam hanya mempertahankan tanah mereka, yang pada umumnya merupakan satu-satunya sumber kekayaan utama dan mereka yang secara hukum memang terlindungi.
Berkaitan dengan tragedi ini berbagai media massa telah melansirnya sebagai berita utama (headline). Kita simak saja berita-berita tersebut : Yang Menembak Harus Dihukum, Nipah Berdarah, Ulama Resah, Insiden Nipah Akibat Arogansi Birokrasi, dan Kasus Nipah dan Rasa Keadilan, Dan masih banyak lagi.