Salah satu kebanggaan yang kerap menjadi teman hidup bagi orang Madura ialah “sekep”. Sekep dalam pengertian umum ialah bentuk senjata yang biasa diselipkan dipinggang sebagai jaminan keselamatan hidup bagi pemakainya. Dan sekep ini bukan hanya menjadi jaminan di perjalanan. Saat tidur atau saat-saat tertentu sekep juga tidak lepas dari sisi (bagian) pemiliknya.
Senjata yang disekep, ada beberapa macam bentuk, biasanya bentuk senjata tajam yang mudah diselipkan dipinggang. Baik berupa pisau, clurit, golok, keris dan atau sejenisnya. Maka tak heran bila suatu ketika berpapasan dengan seseorang Madura, khususnya orang-orang Madura yang hidup di pedesaan, akan tampak tonjolan kecil dibalik baju bagian pinggang.
Pada dasarnya orang yang bersekep atau “nyekep”, hanyalah semata-mata menjaga kemungkinan untuk lebih waspada bila suatu ketika harus berhadapan dengan lawan maupun pada saat suasana genting menghadapi ancaman disekitarnya.
Dan sekep itu sendiri pada umumnya dimiliki oleh kaum pria. Tapi tidak menutup kemungkinan, kaum wanitapun tak lepas dari yang namanya sekep itu. Cuma bedanya, sekep bagi kaum wanita Madura kerap disebut “patterm”, yaitu berupa konde yang diisi racun yang disusukkan disanggul. Fungsinyapun sama, sebagaimana yang digunakan oleh kaum laki-laki, yaitu untuk menjaga diri bila suatu ketika diserang oleh lawan atau penjahat yang mengganggunya. Atau juga untuk berjaga-jaga dirumah bila suatu ketika sang suami harus berlama-lama meninggalkan rumah.
Falsafah orang Madura yang dikenal dengan ketundukannya pada aturan agama Islam beserta budaya yang mereka yakini. Namun, penyebutan “Bhapa’, Bhabhu’, Ghuru, Rato
Bangunan Loteng identik dengan rumah berlantai dua peninggalan kuna. Biasanya bangunan ini dimiliki oleh kalangan bangsawan utama di abad 19. Umumnya dimiliki oleh para putra raja. Namun faktanya, tidak setiap putra raja memiliki bangunan Loteng dan hanya para pangeran di antara beberapa putra Sultan Sumenep saja yang memiliki bangunan Loteng,
Kearifan dan tradisi lokal Madura menjadi penting untuk direkonstruksi dalam rangka menemukan jati diri otentik, yang selama masa dominasi modernisme, menjadi tereliminasi bahkan terkubur, sehingga demikian banyak manusia-manusia yang ter-cerabut, atau bahkan tidak mengenal jati diri otentik budaya lokalnya
Secara historis, Masjid Agung Sumenep dibangun pada masa Pemerintahan (Panembahan) Sumolo yang memiliki gelar Tumenggung Aria Asiruddin Natakusuma (1763 M.). Dia memerintah Sumenep dari tahun 1762 sampai 1811 M. dan merupakan putra angkat Raden Ayu Tumenggung Tirtonegoro yang menikah dengan ayah kandungnya, Bendoro Saod. Bindara Saod alias Raden Tumenggung Tirtonegoro merupakan seorang auliya’ yang dikenal sakti mandraguna, termasuk putra-putra keturunannya.
Masyarakat Madura sudah sepatutnya untuk kembali pada jati diri dan merekonstruksi nilai-nilai luhur budaya lokal. Dalam kerangka itu, upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif kearifan lokal, demikian dikatakan Syaf Anton Wr