Oleh Mien A. Rifai
Bagaimana dengan Bhâsa Madhurâ Sendiri?
Pada pihak lain, pergaulan bernuansa internasional abad XXI yang dimasuki manusia Madura dengan menggunakan Bahasa Madura yang pemodernannya diperantarai oleh Bahasa Indonesia tersebut, ternyata memunculkan masalah budaya dan sosial tersendiri. Selama empat dasawarsa pemerintahan Orde Baru, sekolah-sekolah di Madura hanya memperlakukan Bahasa Madura sebagai muatan lokal yang tidak wajib diajarkan. Oleh karena itu sekarang dijumpai keadaan ketika satu atau dua generasi manusia Madura sudah tidak bisa lagi menggunakan bahasa ibunya sebagaimana mestinya.
Selanjutnya sudah umum diketahui bahwa Bahasa Inggris telah berhasil menjadi bahasa dunia karena sangat egaliter, dan diterimanya Bahasa Indonesia untuk berfungsi sebagai lingua franca di nusantara juga didasarkan pada sifatnya yang sama.
Walaupun tidak tersedia naskah yang tertulis dalam Bahasa Madura Kuno, selintas perbandingannya dengan Bahasa Jawa dari berbagai masa memberanikan saya untuk menginferensikan bahwa hegemoni yang diakibatkan oleh tindakan Sultan Agung dalam awal abad XVII telah menyebabkan Bahasa Madura kehilangan keegaliterannya.
Dalam jangka panjang keadaan ini dianggap merugikan (Rifai 2012), sebab akan menjebabkan generasi muda Madura mendatang lebih memilih penggunaan Bahasa Indonesia buat keperluan komunikasinya sehari-hari oleh kelebihsesuaiannya dengan corak kedemokrasian pergaulan masa depan.
Oleh karena itu para perancang pengembangan Bahasa Madura perlu membuat perhitungan untung-rugi yang bakal diraih jika seandainya ‘berani membuang’ sekitar 300 kata bahasa halus (untuk mengacu pada bagian-bagian tubuh, tindak perbuatan, benda-benda milik pribadi, dan hal-hal lain terkait orang yang di’luhur’kan).
Di masa depan, keberadaan kata-kata yang baru dikembangkan pada waktu Madura berada di bawah pengaruh kekuasaan Raja Amangkurat I dan II yang berjiwa kerdil, diperkirakan akan merupakan penghalang keberhasilan upaya dalam membuat para memuda (= youth, yaitu pemuda dan pemudi) Madura untuk bergairah dan mau menggunakan bahasa ibunya sendiri dalam berkomunikasi sehariharinya.
Baca juga: Problematika dan Perkembangan Bahasa Sastra Madura
Dengan tarikan napas yang sama saya pun ingin mengulang pendapat yang sudah dilontarkan dalam Kongres Budayu Madura II agar pelanjutan ‘penyiksaan’ yang dilakukan terhadap siswa sekolah melalui ‘pemaksaan’ sia-sia untuk bersusah payah belajar aksara anacaraka perlu dipertimbangkan dalam-dalam.
Sebagaimana diketahui tidak banyak bahan pustaka Bahasa Madura yang sudah ditulis dengan aksara tersebut, sehingga untuk apa semua itu dilanjutkan? Ilmu dan teknologi serta juga kemajuan peradaban Madura modern yang perlu dikuasai melalui jalur pendidikan akan terus membeludak volumenya sehingga memerlukan waktu, tenaga, dana, dan sarana yang dalam waktu-waktu mendatang diduga akan terus tersedia dalam jumlah yang terbatas.
Lagipula, agaknya tidak akan ada penulis Madura yang nantinya mau bersusah payah mengarang dengan menggunakan aksara yang sulit cepat dibaca itu, karena penerbitannya sudah dapat diduga tidak akan membuat bukunya laku dengan sangat larisnya di pasaran.
Dalam kaitan seminar kita hari ini, keperluan untuk bersegera mewujudkan tersedianya guru-guru yang memiliki kompetensi mengajar Bahasa Madura pada semua peringkat pendidikan pasti makin dirasakan. Untuk itu kemutlakan pengadaan program studi Bahasa Madura di perguruan tinggi agaknya tidak bisa ditawar lagi. Beritu pula penulisan buku-buku teks pembelajaran kemahiran menggunakan Bahasa Madura––jadi bukan ilmu bahasanya––wajib digalakkan.
*****
Tulisan bersambung:
- Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
- Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
- Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
- Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
- Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
- Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
- Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
- Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
- Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
- Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura