Oleh Mien A. Rifai
Pada kesempatan terdahulu (Rifai 2014) sudah dinyatakan bahwa sebagai salah seorang seorang perantau yang meninggalkan bumi Madura lebih dari setengah abad yang lalu, sampai sekarang di benak saya terpatri dengan kuatnya sepilihan contoh produk budaya Madura yang dengan penuh kenaifan diharapkan akan terus lestari keberadaannya. Emping tèkay, orabbhâ alor, soto tenggâng, jhubâdhâ, karèpè’na ghâjâm, lorjhu’, pettèssa jhuko’, bhângbhângan . . . semuanya merupakan secuplikan ikon budaya kuliner Madura populer, yang sering diingat oleh para perantau Madura ketika hidup di negeri orang dan yang selalu ingin dijadikan oleh-oleh amat dibanggakan bila ada kesempatan baginya untuk mudik. Semua bentuk produk khas itu masih terus bisa disediakan karena adanya dukungan budaya tradisional dalam memeroduksinya, yang memenuhi persyaratan kesenduan untuk dikenang sambil bernostalgia. Akan tetapi sampai kapan hal tersebut dapat bertahan?
Beberapa persoalan memang timbul, karena dalam bentuknya yang sekarang produk terkait budaya Madura tadi tidak akan dapat menaikkan taraf hidup manusia Madura yang memeroduksinya secara berarti. Karena ikatan batin dan keperluan untuk bernostalgia, generasi tua manusia Madura dapat merupakan konsumen untuk mendukung terjadinya permintaan tunak akan produknya di pasar, akan tetapi volumenya tidak mungkin dapat meningkat dalam skala yang bermakna. Bagi orang Madura yang lahir dan besar di rantau, ambang rasa keinginannya untuk menjadi konsumennya mungkin tidak pernah terbentuk, sehingga terjadilah kenyataan bahwa ‘karena tak kenal maka lalu tak sayang’. Kegiatan penelitian dan pengembangan mungkin akan diperlukan buat meningkatkan daya saing produk-produk budaya khas Madura tersebut, antara lain dengan jalan membuatnya bernilai tinggi demi membantu produsennya menghadirkan keeksklusifan melalui serentetan kegiatan penyempurnaan produk yang berpendekatan teknologi inovatif dan teknik produksi berbasis industri modern, seperti sudah tersaksikan berhasil diterapkan pada bhâthèk Madhurâ.
Pendekatan dan terobosan inkonvensional akan membuka peluang untuk menjadikan keterbatasan ekologi alam Madura sebagai modal guna mencapai keeksklusifan produk yang berpotensi untuk menaikkan harga jualnya. Keberhasilan bertanam bhâlungka’ di tegalan kering Madura seharusnya memicu petani bermental inovatif untuk bercocok tanam kultivar somangka bâlândhâ (blewah) baru hasil ciptaan pemulia IPB yang buahnya lebih manis, lebih wangi, dan juga berkulit keras seperti melon untuk memungkinkan produknya dipasarkan di tempat jauh tanpa merusak produk hortikultura yang terkenal mudah rusak itu.
Sekalipun lebih dari seabad yang lalu Kiliaan (1904) sudah merekam adanya kosakata Bahasa Madura ‘patèkayan’ sebagai tempat untuk membudidayakan tèkay, dan walaupun empingtèkay masih bisa dibeli di beberapa tempat, merupakan keanehan bahwa keberadaan komoditas tersebut di tidak disinggung dalam rangkuman ilmiah mutakhir tentangnya (Paisooksantivatana 1996). Padahal menurut pengamatan lapangan seorang mahasiswa saya di Madura timur, pada awal tahun 2016 ini emping tèkay mentah dijual Rp150000/kg di tingkat petani, dan bila sudah digoreng bisa mencapai harga Rp250000/kg di toko oleh-oleh nyamikan Madura. Karena Eleocharis dulcis yang merupakan tanaman pendatang dari Asia Timur ini sekarang tumbuh liar di Madura (dan anehnya sudah menumbuhkan budaya takkur, berupa penancapan sebatang tongkat di tengah lapangan sebagai cara pendakuan kepemilikan oleh seorang petani tertentu yang mengumpulkannya), seharusnya pembudidayaan dan pengusahaannya dijadikan tantangan oleh mahasiswa pertanian di Madura untuk