Sekilas Falsafah “Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn”

Sekumpulan oerahu nelayan Madura

Oleh  Mien A. Rifai

Karena sedari kecil sering didongengi bahwa dirinya merupakan keturunan Sang Saghârâ––putra laut yang datang ke Pulau Madura sekitar 4000 tahun yang lalu dalam kandunga ibunya dengan naik ghitèk dari Kocincina (tetapi secara anakronisme tokohnya disebut Radhin Saghara padahal istilah radhin baru diciptakan di abad XV; secara tidak masuk akal dirinya dikisahkan merupakan cucu Prabu Gilingwesi raja Medangkumulan, padahal manusia Madura berbeda sekali fisik tubuh, pembawaan kejiwaan, dan bahasanya dibandingkan dengan suku bangsa Jawa)––generasi tua orang Madura akrab sekali dengan laut. Laut baginya bukan perintang jalan, melainkan sarana penghubung untuk pergi merantau sesuai dengan panggilan dan dorongan semangat petualangannya dalam menjiwai peribahasa bhumè Songennep ta’ abingker.

Karena merupakan bagian bangsa Indonesia yang kebetulan berdiam di ‘benua maritim’, laut memang seharusnya menjadi tumpuan dan harapan utama pendukung keberlanjutan hidup masa depan manusia orang Madura. Akan tetapi amat disayangkan bahwa sebelum rezim pemerintahan yang sekarang ini, perhatian nasional kita ke matra laut memang sangat minimum. Sebagai akibatnya belakangan ini ikan laut dan garam pun sudah harus diimpor, hanya karena ketidakmampuan kita untuk merencanakan peningkatan sarana dan prasarana untuk dijadikan wahana modal kerja yang dibutuhkan para nelayan Indonesia.

Dalam kaitan ini memang sudah bukan rahasia lagi bahwa Angkatan Laut RI diremehkan negara tetangga karena secara nyata tidak diberdayakan untuk dapat mampu mengawal dan mengamankan kekayaan laut perairan Indonesia. Mudah-mudahan perubahan sikap kebijakan nasional yang secara nyata sudah memerioritaskan pembangunan kegiatan matra kelautan segera membuahkan hasil, karena Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki jumlah pulau terbanyak dengan garis pantai terpanjang di seluruh dunia. Sejalan dengan itu diharapkan pula agar jumlah peminat, pakar, peneliti, dan pengusaha yang berkejelian dan berjiwa wirausaha untuk menanganinya, tidak lagi merupakan ‘komoditas’ yang amat langka.

Dengan demikian kemelimpahan keanekaragaman jenis hewan dan ganggang serta jasad renik laut––begitu pula mineral dan energi yang tersedia dalam jumlah seakan-akan tak terbatas––tidak hanya akan merupakan potensi belaka untuk dijadikan pemasok utama bahan pangan dan obat-obatan, tetapi betul-betul menjadi sumber daya alam penuh manfaat nyata bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sudah banyak orang mengatakan bahwa di masa mendatang air akan merupakan salah satu masalah pelik utama bagi Indonesia, tidak saja untuk keperluan pertanian tetapi juga dalam kaitannya dengan kesehatan. Sekali lagi, laut dapat menawarkan pemecahan, khususnya untuk mencukupi kebutuhan air bersih untuk keperluan konsumsi. Tetapi memang merupakan keanehan luar biasa bahwa sampai sekarang tidak ada satu kota pun di Indonesia yang pemerintah daerahnya bisa menjamin pasokan air bersih bagi konsumsi warganya.

Baca juga: Sudut Pandang Pulau Madura

Kegiatan desalinisasi air laut secara besar-besaran mungkin perlu dilakukan, terutama karena ilmu dasar dan teknologi serta rekayasanya mudah dikuasai dan dikembangkan. Khusus bagi Madura, keuntungan lain dari kegiatan ini adalah tersedianya hasil samping berupa brine (air berkadar garam yang sangat tinggi) yang siap diolah dan dipanen menjadi garam dapur sehingga pengimporannya seperti yang terjadi akhir-akhir ini tidak bakal diperlukan lagi.

Sebagai akibatnya memang perlu ditelaah secara mendalam . . . apakah budaya bahari yang selama ini ‘dianggap’ dimiliki bangsa Indonesia hanya merupakan mitos belaka sehingga tidak berkembang sebagaimana mestinya, karena yang kita miliki sebenarnya mungkin hanyalah budaya pesisir? Kembali ke manusia Madura, dalam mencitrakan gadis cantik yang diidamidamkan untuk pasangan hidup maka pengacuan pada kulit kuningnya tidak diberi pewatas. Ini bukannya disebabkan oleh ketidaksukaan pria Madura pada wanita berkulit kuning langsat, tetapi berdasarkan pada kenyataan bahwa gadis Madura sering terbeber pada terpaan terik matahari pulau yang tersohor kering mengerontang sehingga berkulit hitam tetapi manis atau leng-celleng seddhâ’ kata orang Madura. Wanita berkulit gelap karena terbakar matahari saat bekerja di pantai––yang mencerminkan terhayatkannya jiwa kebaharian sejati––mungkin memiliki daya tarik tersendiri bagi manusia Madura yang pada dasarnya merasa dirinya keturunan putra laut.

Pembicaraan tentang potensi laut dapat menggunakan lorjhu’ sebagai sebuah contoh kasus pengatasan persoalan pembangunan Madura. Mengingat kekhasan dan keunggulan rasa gurih jenis lorjhu’ Madura yang berukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan kerabat dekatnya di pantai-pantai Pulau Jawa, seharusnya kita segera menggunakan peluang yang terbuka karena sekarang industri kemaritiman sangat diprioritaskan pengembangannya. Dengan demikian diharapkan segera akan muncul sekumpulan sarjana Madura yang terpanggil untuk  melihat masalahnya dengan sudut pandang yang lain.

Misalnya sudah waktunya kita mencoba dan sekali lagi mencoba mengusahakan pembudidayaan lorjhu’ yang eksklusif itu. Untuk itu perlu penelitian terarah di semua bidang terkait seluk-beluk kehidupan lorjhu’, karena diduga jenisnya pun masih baru untuk  ilmu pengetahuan (a species new to science) sehingga nama ilmiahnya juga belum ada. Biogeografi lorjhu’ belum tuntas terpetakan, pola daur hidupnya belum diungkapkan, ekologinya belum dipahami, dinamika populasinya tidak pernah diteliti, keterbudidayakannya perlu dan harus segera dipastikan, dan sebagainya, dan seterusnya.

Karena selama ini kita hanya langsung memanennya dari alam, meningkatnya permintaan dikhawatirkan akan menguras populasinya secara drastis yang kalau tidak dijaga bakal dapat memusnahkannya. Sebagai akibatnya sambil menunggu selesainya pelbagai penelitian yang perlu dilakukan, kita mungkin sudah perlu memikirkan upaya pelestarian atau konservasinya sebelum keadaannya terlambat karena jenisnya sudah keburu terkuras habis oleh kegiatan pemanenan yang tidak terkendali.

*****

Tulisan bersambung:

  1. Sumbangan Budaya Madura Kepada Kebudayan Nasional
  2. Pengembangan Bahasa Madura dan Problematikanya
  3. Sekilas Falsafah Abhântal Ombâ’ Asapo’ Angèn
  4. Pembudidayaan Bhâlungka’ dan Tèkay Madura
  5. Tentang Kuliner: Ètèk sè Nyongkem
  6. Sèkep Pelambang Kejantanan Seorang Pria Madura
  7. Aroma Du’remmek dan Kembhâng Campor Bhâbur
  8. Pola dan Bentuk Rumah: Tanèyan Lanjhâng
  9. Ramuan Jhâmo Bagi Wanita Madhurâ
  10. Masa depan Madura Bergantung Pemuda Madura

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.