Mitos dan Membaca Kondisi Lingkungan

Ilustrasi: (foto: goole image)

Pada dasarnya semua keharusan dan larangan yang bersifat mitos, tidak semuanya keliru, kadang ada maksud tertentu di dalamnya, hanya tidak dijelaskan secara transparan, sehinggga menimbulkan kesan negatif. Dianggap kufarat, tahayul dan lain sebagainya. Seperti contoh tentang setiap kayu besar lambhâng (balk latei), bhâlândhâr (penampang), bâllu’ emmor (balk mur) pa-tampa (balk ring) yang tidak boleh ada sambungan, apalagi ditengah.

Maksudnya agar semua komponen dan rumah yang dibangun tersebut harus diberi kayu yang bagus, dengan adanya sambungan dikhawatirkan akan bersemayamnya rayap, anai-anai serta binatang lainnya yang bisa merusak kayu tersebut. Maka dengan kata-kata sindiran dikatakan bilamana ada sambungan ditengah maka disebut “kaber aghântong” (ular berbisa menggantung), konon penghuninya akan selalu mendapatkan musibah.

Memang orang tua-tua terdahulu bila menyampaikan petuah lebih banyak dengan parsemon (sindiran), tujuannya adalah agar cara penyampaian dilakukan dengan etika dengan tidak meninggalkan budaya ketimuran, sekalipun kepada yang lebih muda. Hal ini  menunjukkan bahwa orang Sumenep masih kental dengan budaya kebangsawanannya, yang segala tingkah laku serta penuturannya dilakukan secara halus dan penuh etika dan budaya keraton.

Makanya para pujangga Sumenep terdahulu seperti Kartasoedirdja banyak menulis buku-buku tulisan tentang etika, seperti Baburughân beccé’ (petuah yang baik), Saloka tor Paré bhâsan Madhurâ (Seloka dan Pribahasa Madura), Paparéghân (sanjak/parian) dan lain sebagainya, tentu tidak semua tentang mitos..

Penulis: Tadjul Arifin R; Editor: Syaf Anton

Tulisan berkelanjutan:

  1. Tahapan Membangun Rumah Bagi Masyarakat Sumenep
  2. Tidak Sembarang Tempat Membangun Rumah
  3. Mitos dan Membaca Kondisi Lingkungan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.