Oleh Amir Mahmud, M. Pd
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar dan memiliki kemajemukan beragam, baik itu adat istiadat, budaya, maupun bahasa. Salah satu keanekaragaman bahasa yang dimiliki, adalah bahasa daerah yang tetap dipelihara oleh para penuturnya, seperti bahasa Jawa, Sunda ataupun Madura. Sebagai bagian dari hasil kebudayaan, bahasa daerah dihormati dan dipelihara oleh negara supaya tetap hidup, dibina, dikembangkan, dan dilestarikan agar tidak punah. Salah satu penyebab kepunahan bahasa daerah adalah jumlah penutur bahasa daerah yang tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, tetapi menggunakan bahasan Indonesia sebagai alat komunikasi.
Di samping itu kepunahan bahasa daerah dikarenakan perkawinan campur antar etnis yang mau tidak mau akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi mereka. Penurunan jumlah penutur bahasa daerah sebagai bahasa ibu tersebut dapat dilihat pada data sensus penduduk tahun 1990, bahwa penduduk Indonesia berusia 5 tahun ke atas berjumlah 174.303.277 jiwa, dan terdapat 25.775.145 (14,8 %) jiwa berbahasa ibu bahasa Indonesia, dan orang yang berbahasa ibu bahasa daerah Madura hanya 6.607.185 jiwa.
Berkaitan dengan masalah penurunan jumlah penutur bahasa Madura, maka diperlukan langkah-langkah strategis agar jumlah penutur bahasa Madura tidak semakin mengecil. Hal ini disebabkan karena bahasa Madura menempati urutan ketiga dari 13 bahasa daerah yang memiliki jutaan penutur. Dalam kancah nasional maupun international bahasa Madura cukup dikenal karena warga dari suku Madura telah menjadi bagian dari warga dunia. Dengan memiliki jumlah penutur yang cukup signifikan, yaitu lebih dari 6.000.000 (enam juta) jiwa. Maka amatlah disayangkan apabila bahasa Madura semakin lama semakin mengecil jumlah penuturnya, akibat faktor internal maupun eksternal yang terus menerus menggerus dan menggerogoti, dan kelak berakibat punahnya bahasa Madura dari peredaran.
Sampai saat ini bahasa Madura masih menduduki urutan ketiga dari 726 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah penutur terendah adalah bahasa daerah Maku’a di Nusa Tenggara sebanyak 50 (lima puluh) orang dan bahasa Tanjong di Kalimantan sebanyak 100 (seratus) orang. Oleh karena itu menjadi sebuah kewajiban bagi masyarakat Madura maupun Pemerintah Daerah, Pemerintah Propinsi dan Balai Bahasa Surabaya untuk menjalin kerjasama yang erat, bersama-sama mengembangkan dan melestarikan bahasa daerah Madura.
Untuk mencapai keberhasilan maksimal dalam mengembangkan bahasa Madura tentunya diperlukan komitmen yang kuat antar elemen, mengingat masih tajamnya pertentangan yang membenarkan tentang dialek-dialek bahasa yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Setiap pemilik dialek merasa dialek-nya yang paling benar. Oleh karenanya diperlukan persamaan persepsi, gagasan, visi, dan misi antar elemen, baik itu dari kalangan intelektual, pemerintah dan masyarakat, baik dari elemen yang memiliki dialek Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan untuk duduk bersama menetapkan standar baku. Adapun standar baku yang bisa dijadikan acuan seperti ejaan, tata bahasa, dan kamus bahasa Madura.
Tentu saja tugas besar dan kunci sukses mengembangkan bahasa Madura tersebut menjadi kewajiban masyarakat Madura. Pemerintah, dalam hal ini Balai bahasa Surabaya dan Pemda Jatim hanya bertindak sebagai fasilitator dan dinamisator. Artinya pemerintah hanya memberi usulan dan langkah-langkah pembinaan, sedangkan semua keputusan akhir tetap berada di tangan masyarakat Madura. Sangatlah gegabah apabila ada dari elemen masyarakat menuduh kalau Balai Bahasa Surabaya telah membuat keputusan atau pengesahan terhadap pembakuan bahasa Madura, baik pembakuan pada ejaan, kosa kata, dan tata bahasa maupun revisi-nya. Balai Bahasa Surabaya tidak akan merevisi maupun mengesahkan pembakuan dan melakukan revisi, karena wewenang tersebut berada di tangan masyarakat Madura.