Masjid Agung Sumenep: Arsitektur Peradaban Bangsa Dunia

Masjid Agung Sumenep

Sumenep adalah kabupaten yang berada paling timur di Pulau Madura atau tepatnya 166 kilometer disebelah timur Jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). Embel-embel buruk tentang masyarakat Madura memang menjadi buah bibir masyarakat negeri ini. Dari budaya Carok (perkelahian dengan senjata celurit), santet, pribadi yang temperamental, keras, dan kejam, menjadi cerita kelam bagi sebagian bangsa ini.

Padahal, sejarah yang melintas di pulau penghasil garam itu sulit ditemui, bahkan nyaris tidak ada pada suku lainnya. Hal ini dibuktikan dari sejumlah bangun an sejarah atau petilasan warga Sumenep yang mengadopsi budaya bangsa asing.

Jika kita becermin pada arsitektur Masjid Kudus, salah satu masjid dengan arsitektur yang unik di Pulau Jawa, yang terlihat hanyalah perpaduan arsitektur Jawa, Hindu, dan Buddha. Namun, mencermati Masjid Agung Keraton Sumenep, akan terlihat jauh berbeda. Masjid di kawasan alun-alun atau jantung Kota Sumenep itu berarsitektur unik dan nyaris tiada duanya di nusantara.

Dalam prasasti Masjid Agung Sumenep, yang ditulis dengan huruf Arab Pegon dan Jawa Kuno, pada sisi kiri dan kanan pintu gerbang bangunan masjid, disebutkan bahwa masjid tersebut dibangun pada 1779 Masehi atau 1193 Hijriah oleh Panembahan Somala atau dikenal dengan nama Panembahan Asiruddin.

Dikisahkan, pada saat itu, keberadaan Masjid Laju yang merupakan masjid keraton pertama, sudah tidak dapat menampung jamaah. Panembahan Somala kemudian menggagas untuk mendirikan masjid yang punya daya tampung lebih dari 2.000 orang dan monumental. Ia lalu mengangkat pamannya, Kiai Pekkeh, menjadi kepala tukang. Dalam perencanaan, Kiai Pekkeh kesulitan menangkap keinginan Panembahan sehingga selama beberapa bulan pembangunan tidak terlaksana.

Konon, Panembahan Somala melakukan shalat istikharah. Ia kemudian mendapat petunjuk bahwa di Desa Pasongsongan terdapat tukang keturunan bangsa Cina yang terdampar di pesisir desa itu. Ternyata petunjuk itu benar, salah seorang tukang di desa tersebut ada yang keturunan Cina, bernama Lauw Phia Ngo, cucu dari Lauw Khun Thing, salah seorang dari enam pemuda asal Cina yang terdampar di Pasongsongan. Mereka melarikan diri dari daratan Cina akibat perang besar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.