Masjid Agung Sumenep: Akar Historis Toleransi Masyarakat Madura

Masjid Agung Sumenep, tampak dari depan

Mihrab dinding keramik

Penting juga diketahui bahwa di atas gapura terdapat dua lubang yang dibiarkan terbuka. Ini menjadi dua mata manusia yang sedang melihat. Di atasnya terdapat ukiran segi lima yang memanjang ke atas yang diibaratkan dengan manusia yang sedang duduk rapi menghadap ke arah kiblat. Ini melambangkan bahwa jika berada di dalam masjid harus memakai tata krama dan aturan yang sesuai dengan ketentuan nilai-nilai Islam dan adat di dalam masyarakat setempat. Di bagian atas gapura terdapat dua pintu yang terbuka yang diibaratkan dengan telinga yang selalu terbuka, dan juga terdapat ukiran segi lima. Ini menandakan bahwa perlu kekhusyukan dalam melakukan ibadah dan ritual kepada Allah. Pada sisi yang lain, di sekelilingnya terdapat ukiran berbentuk rantai, yang memiliki makna cukup dalam tentang umat Islam yang harus bersatu dalam ikatan ukhuwah islamiah yang cukup kuat (Na’im, 2018).

Jadi, secara keseluruhan, bangunan gapura di Masjid Agung Sumenep ini merupakan lambang arsitektur Cina. Begitu pula dengan hiasan atau ornamennya seperti lambang matahari, serta hiasan-hiasan lain yang khas pada bagian atap bangunan. Secara keseluruhan, bentuk bangunan pintu gerbang yang ada di masjid ini secara sepintas seperti ular. Ini dapat dilihat pada bagian pintuk gerbang masuk. Sebagaimana diketahui bahwa ular naga merupakan lambang kejayaan bangsa Cina, sehingga bentuk bangunannya merupakan perwujudan dari gaya arsitektur Negeri Ginseng.

Di balik gapura yang didominasi warna putih dan kuning keemasan itu terdapat kubah kecil yang berdiri kokoh di samping kanan dan kiri halaman masjid. Jika dicermati, dua bangunan yang menjulang itu mewakili arsitektur Arab-Persia. Penerapannya tidak semata-mata terdapat sejumlah modifikasi yang berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat setempat. Ornamen yang kemudian dipertegas dengan warna-warna menyala, menggambarkan corak bangunan dari Gujarat-Cina.

Semakin kental atmosfernya ketika berada di bagian dalam bangunan utama masjid. Memperhatikan mihrab masjid yang sudah berusia ratusan tahun ini, pada mimbar khotbah, hingga ornamen seperti keramik yang menghiasi dinding masjid. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa (Sumalyo, 2006).

 Dulu, lanjut Sumalyo (2006), di atas tempat imam masjid terdapat dua pedang perak Arab dan Cina, bertengger menyilang di atas dinding. Namun, pedang Cina hilang dan sampai saat ini belum diketahui keberadaannya. Yang tersisa hanya pedang Arab, yang merupakan hadiah dari Pemerintah Irak. Dalam aspek desain fungsional, desain Masjid Agung Sumenep sudah dapat mengakomodasi kaidah-kaidah yang seharusnya diterapkan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kesederhanaan ruang dalam nilai yang dianut oleh Islam itu sendiri, di mana bentuk bujur sangkar merupakan bentuk yang paling lazim digunakan dalam masjid dan membuat penyebaran shaf menjadi merata.

Bentuk bujur sangkar maupun empat persegi panjang digunakan sebagai denah bangunan masjid kuno. Di Jawa Tengah, bentuk bujur sangkar umum sekali diterapkan sebagai denah bangunan masjid-masjid kuno Jawa seperti terlihat dalam desain lima masjid kerajaan di daerah Jawa Tengah, seperti Masjid Agung Demak dan Banten, Masjid Besar Mataram, Masjid Agung Surakarta dan Yogyakarta. 

 Seperti yang diketahui bahwa keempat sisi denah bujur sangkar memiliki ukuran yang sama, sehingga penghargaan terhadap keempat arahnya hampir merata. Jika hal tersebut dikaitkan dengan tata cara salat berjamaah, maka perbedaan antara jamaah yang berada di shaf depan dengan jamaah di shaf belakang tidak terlalu mencolok. Dengan demikian, bangunan-bangunan yang berdenah bujur sangkar, umumnya digunakan, termasuk masjid-masjid kerajaan di Jawa.

Empat persegi panjang pun merupakan salah satu alternatif yang ideal untuk diterapkan sebagai denah bangunan masjid. Hanya saja perlu dicatat bahwa bentuk denah empat persegi panjang dalam peletakannya memiliki dua varian pokok: Pertama, sisi-sisi panjangnya sejajar dengan arah kiblat, dan yang kedua sisi panjangnya melintang ke arah kiblat. Kedua, varian tersebut jika diterapkan pada bangunan masjid masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan.

Kelebihan pada varian yang pertama adalah kemungkinan bagi semua jamaah untuk dapat melihat khotib pada saat berkhotbah (Wiryoprawiro, 1986). Adapun kelemahannya ialah menimbulkan terjadinya shaf-shaf salat yang relatif banyak ke belakang, sehingga perbedaan di antara jamaah yang berada di shaf depan dengan jamaah yang berada di belakang sangat terasa.

 Di dalam Masjid Agung Sumenep, pengaturan sirkulasi tempat salat untuk wanita dan pria pun telah didesain dengan cukup baik dan disediakan ruangan khusus wanita sendiri. Selain itu, adanya pengaplikasian roster pun dapat membuat jamaah yang berada di belakang dapat mengikuti gerakan salat dengan benar, namun interaksi antara pria dan wanita tetap diberi batas (Widiatami, 2017).

 Sementara itu, atap tumpang pada masjid merupakan salah satu pengaruh dari budaya Jawa-Hindu, di mana atap tumpang tersebut banyak dipergunakan dalam bangunan candi dan digunakan pula di beberapa masjid di Jawa, seperti Masjid Agung Demak dan Kudus. Hal ini membuktikan bahwa budaya lokal yang erat pada saat itu tetap diakomodasi oleh desain yang ada. Namun, ada juga yang menafsirkan bahwa tiga tingkat atap tumpang ditambah dengan mustaknya merupakan simbol empat tahapan Islam dalam mengenal Tuhan: syari’at, tariqah, hakikat, dan ma’rifat. Sementara di samping ruang dalam kurang fleksibel dikarenakan jumlah kolom-kolom besar sebanyak tiga belas buah, yang tentu dikarenakan keterbatasan ilmu dalam struktural dan konstruksi bangunan pada masa itu. Namun, adanya kolom besar tersebut dapat menimbulkan kesan mewah dan kokoh. Selain itu, angka 13 juga dapat ditafsirkan sebagai 13 rukun salat, sehingga dapat melengkapi filosofi dari Masjid Agung itu sendiri.

 Bangunan masjid ini memiliki jendela besar sebanyak sepuluh buah, yakni empat buah di sisi barat dan tiga buah pada masing-masing sisi utara dan selatan. Adapun besarnya ialah 2×3 meter. Tentu saja, jumlah pintu maupun di jendela memiliki makna, termasuk jendela-jendela yang terdapat di Masjid Agung Sumenep ini. Kelima pintu di bagian timur masjid ini ditafsirkan sebagai suatu peringatan bagi umat Islam untuk mengerjakan salat lima waktu. Sedangkan jendela yang berjumlah sepuluh buah ditafsirkan sebagai jumlah malaikat. Begitu pula dengan pintu yang berada di sisi selatan dan utara yang masing-masing dua buah dengan jumlah empat buah yang ditafsirkan sebagai sifat-sifat Rasul (Isyam, 1991).

 Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa keberadaan Masjid Agung Sumenep yang desain arsitekturnya dipengaruhi oleh berbagai macam kebudayaan itu merupakan replika penting dari harmoni yang sesungguhnya menjadi cerminan dari lokalitas yang ada di Sumenep dan merupakan cerminan dari hakikat Islam sesunggunya merupakan agama yang damai.

Bukti kongkret dari harmoni tersebut dapat dilihat dari konstruksi bangunannya yang memang menerima perpaduan dari bentuk kebudayaan di luar Sumenep (Madura), mulai dari budaya Cina, Arab-Persia, dan juga Eropa. Namun demikian, pengaruh tersebut bukan berarti lalu menanggalkan nilai substansil Islam yang ada di dalamnya. Substansi tersebut tetap terajut dengan baik, meski bentuknya sesuai dengan berbagai kebudayaan dunia.

 *****

Masjid Agung Sumenep dibangun pada tahun 1763 M. atas perintah Panembahan Sumolo yang memiliki gelar Tumenggung Aria Asirudin Natakusuma yang memerintah dari tahun 1762 sampai 1811 M. Mengenai desain arsitektunya, Masjid tertua kedua di Madura ini dipengaruhi oleh berbagai macam budaya, yakni Cina, Arab-Persia, Jawa, dan Eropa. Keberagaman budaya yang terdapat pada desain arsitektur masjid tersebut tidak terlepas dari masyarakat sekitar keraton yang terdiri dari berbagai macam etnis, sekaligus menjadi simbol perdamaian masyarakat ujung timur Pulau Garam. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.