Masjid Agung Sumenep: Akar Historis Toleransi Masyarakat Madura

Masjid Agung Sumenep, tampak dari depan

Menurut Zulkarnain (2003), sebenarnya Masjid Agung Sumenep merupakan pemugaran dari Masjid Laju (Masjid Lama) karena dianggap sudah dapat menampung jamaah yang semakin banyak. Masjid ini dibangun oleh Pangeran Anggadipa, Adipati Sumenep yang memerintah dari tahun 1626 sampai 1644 M. Beliau membangun Masjid Laju pada tahun 1639 M. yang merupakan tanda kepeduliannya terhadap perkembangan agama Islam (di Sumenep).

Kemudian ia mengangkat pamannya, Kiai Pekkeh, menjadi kepala tukang. Dalam perencanaan pembangunan masjid tersebut, Kiai Pekkeh kesulitan menangkap keinginan panembahan, sehingga selama beberapa bulan pembangunan tidak terlaksana. Konon, Panembahan Somala melakukan salat istikaharah. Ia kemudian mendapat petunjuk bahwa di Desa Pasongsongan ada seorang tukang bangunan keturunan bangsa Cina yang terdampar di pesisir utara Sumenep itu.

Ternyata petunjuk itu benar. Salah seorang tukang di desa itu ada yang keturunan Cina bernama Lauw Phia Ngo, cucu dari Lauw Khun Thing, salah seorang dari enam pemuda asal Negeri Ginseng yang terdampar di Desa Pasongsongan. Mereka melarikan diri dari daratan Cina akibat perang besar (Republika, 2010).

Namun demikian, menurut catatan sejarah lainnya, ada tokoh cendekiawan mumpuni yang memainkan peran penting di balik pendirian masjid tersebut. Gubernur Jenderal Batavia, Stamford Raffles, dalam bukunya yang berjudul The History of Java, pada lempeng ke-21 menyebutkan bahwa di Pulau Jawa terdapat seorang sultan yang piawai dalam membuat dan membaca bahasa sandi kuno. Ia juga ahli strategi perang, ahli botani, dan menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jawi Kuno, dan Sansakerta. Raffles menyebut dalam buku yang ditulisnya itu adalah nama “Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat”, putra Panembahan Sumolo (Raffles, 2014).

Pintu utama masjid

Sang Sultan inilah yang menjadi otak seni arsitektur (Masjid Agung) Sumenep, khususnya pada ukiran yang berbentuk bunga. Sebab, jika dilihat dari motif kembang yang menjadi penghias banyak bangunan kuno di Sumenep, sama sekali tidak terlihat adanya motif bunga lokal Madura atau Jawa. Banyak para ahli memastikan, motif ukiran bunga yang asing bagi mata masyarakat Madura itu dipengaruhi oleh pengalaman Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat yang kerap diajak Raffles keliling Nusantara untuk meneliti tanaman Indonesia dan membuat ensiklopedia aneka tanaman tropis. Bahkan, Raffles yang selama bertahun-tahun tidak bisa memecahkan prasasti kuno di Bali (Republika, 2010), berkat bantuan Sultan Abdurrahman Pakunatan Ningrat, sandi itu akhirnya dapat dibaca.

Apa pun pendapat para sejarawan itu, yang jelas, setelah pemugaran selesai pada tahun 1785, Masjid Agung Sumenep digunakan sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam sampai ke pelosok daerah, memecahkan dan merundingkan suatu persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan. Selain itu, masjid ini juga digunakan sebagai tempat dalam pengangkatan (pelantikan) jabatan, tepatnya di bagian paseban (auditory) yang terletak di sebelah utara dan selatan masjid (Selviana & Sumarno, 2013).

Pada masa Panembahan Pangeran Natakusuma I, terutama setelah berdirinya Masjid Agung Sumenep, kehidupan keagamaan sangat terasa pada masyarakat Sumenep dan di lingkungan keraton. Hal ini ditandai dengan ibadah salat wajib, sunnah, dan Jum’at, yang selalu dilaksanakan di Masjid Agung. Selain itu, di masjid ini juga dilaksanakan pembacaan ayat suci al-Qur’an dengan memakai kitab Arab gundul (tidak berharkat) dan mulai dikenalkan al-Qur’an berharkat. 

Simbolisasi Seni Islam dalam Tata Letak dan Desain Arsitektur Masjid Agung Sumenep

Secara historis, para wali dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara melalui seni, seperti seni sastra, seni pertunjukan, seni musik, seni pahat, dan seni bangunan. Seni bangunan juga dipakai sebagai sarana untuk penyebaran agama Islam di Nusantara, antara lain ialah gaya arsitektur yang dipilih dalam membangun masjid. Seperti yang sudah menjadi rahasia umum bahwa gaya arsitektur masjid kuno yang disebut gaya Nusantara dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya, tapi disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan agama Islam di daerah masingmasing. Menurut Nasr (2004), seni Islam, termasuk arsitektur Islam setidaknya mengandung tiga hal: 

  1. Mencerminkan nilai-nilai religius, sehingga tidak ada yang yang disebut seni sekuler. Dalam Islam pun ditegaskan bahwa tidak ada dikotomi religius dan sekuler. Apa yang disebut kekuatan atau unsur sekuler dalam masyarakat Islam, selalu dianggap memiliki pengertian religius, seperti halnya hukum Ilahi yang secara spesifik memiliki unsur religius. Hal semacam inilah yang perlu ditegaskan dan ditekankan sekali lagi kepada masyarakat Islam, sehingga pengaplikasian seni dalam bidang apa pun, termasuk arsitektur mampu menampilkan nilai-nilai religius baik dalam tampilan fisik maupun secara maknawi.
  2. Menjelaskan kualitas spiritual yang bersifat santun akibat pengaruh nilai-nilai sufisme.
  3. Ada hubungan yang halus dan saling melengkapi antara masjid dan istana (dalam hal ini istana dapat diselaraskan sebagai pemerintahan), dalam hal perlindungan, penggunaan, dan fungsi berbagai seni, tidak terkecuali arsitektur Islam, di antaranya masjid.

Seni Islam, dalam hal ini masjid termasuk dalam kategori seni suci. Kekosongan, kesederhanaan bentuk serta pola, menunjukkan status ontologis dunia sebagai sesuatu yang papa dan miskin di hadapan Allah

Yang Maha Segala (Muchlis, 2009). Ruang yang sunyi merefleksikan kedamaian, sementara lengkungan dan kolom ruangan adalah ritme yang menjelaskan fase-fase manusia; datang dan kembali kepada-Nya (Nasr, 2004). Dalam konteks Masjid Agung Sumenep, sebagaimana yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya bahwa masjid yang menghadap ke arah timur dengan membelah alun-alun kota menuju keraton itu dibangun oleh Pangeran Natakusuma I, yang merupakan putra dari Bindara Saod. Dari masa inilah, bangunan penting di Sumenep yang memiliki karakter khas dan makna filosofis dan tak habis ditafsirkan hingga kini.

 Bangunan penting itu, antara lain adalah letak keraton, alun-alun, dan Masjid Agung, di mana bangunan ini tidak dibangun sembarangan, tapi memiliki pijakan teologis yang menjadi karakter peradaban Sumenep masa itu. Tiga bangunan itu merupakan pemaknaan filosofi dari hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal alam (hubungan manusia dengan Sang Pencipta, hubungan manusia dengan alam semesta, dan hubungan manusia dengan manusia lainnya). Tiga relasi yang memiliki makna yang cukup kuat dan masuk dalam struktur bangunan masjid yang memang dikemas untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam dalam tata letak tersebut.

Di masa lalu, di depan Masjid Agung Sumenep terdapat pohon sabu yang memang menjadi salah satu karakter dari masjid tersebut. Pohon sabu memiliki makna yang cukup penting. “Sa” bermakna salat, sementara “bu” berarti buambu (Na’im, 2018), yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki makna salat yang terus-menerus.

Mengenai desain arsitekturnya, desain arsitektur Masjid Agung Sumenep dipengaruhi oleh berbagai macam budaya: Cina, Arab-Persia, Jawa, dan Eropa. Keberagaman budaya yang terdapat pada desain arsitektur masjid tersebut tidak terlepas dari masyarakat sekitar keraton yang terdiri dari berbagai macam etnis, sekaligus menjadi simbol perdamaian masyarakat Sumenep, yang meski berasal dari latar belakang yang tidak sama, tapi tetap hidup rukun dan penuh cinta kasih.

Seorang peneliti kebudayaan Madura asal Kabupaten Malang, Fajar Kusuma (2018), mengatakan bahwa masyarakat sekitar keraton sudah terbiasa menjalin komunikasi dengan warga dari bangsa lain, terutama orang-orang Tionghoa dan Arab, disusul kemudian dengan bangsa Eropa. Dengan bangsa Tionghoa, sudah terbangun sejak masa pemerintahan Arya Wiraraja sebagai Adipati di wilayah itu, saat membantu Raden Wijaya membangun Majapahit. Sedangkan dengan bangsa Arab, kerja sama mulai terbangun sejak terjadi penyebaran agama Islam di Madura.

Sementara dengan bangsa Eropa, puncaknya terjadi saat Sultan Abdurrahman atau Penembahan Sumolo yang merupakan salah satu dari dua raja di Nusantara yang menjadi nara sumber dalam penulisan buku The History of Java oleh Thomas Stamford Raffles sekitar tahun 1778 M. Raja yang juga menguasai bahasa Mandarin, Arab, dan sejumlah bahasa di Eropa itu mendapatkan penghargaan dari Ratu Inggris di kala itu (Abdurrachman, 1971). Dan penghargaan tersebut tersimpan hingga kini di Museum Keraton Sumenep. Bahkan, warga Cina dan Arab itu memiliki kawasan permukiman tersendiri di sekitar keraton dan biasa hidup berdampingan dengan masyarakat setempat tanpa ada konflik hingga saat ini.

Meski desain arsitektur Masjid Agung Sumenep merupakan penggabungan berbagai macam budaya, serta arsiteknya berasal dari Cina, namun nilai Islam tetap kuat. Spirit dari al-Qur’an tetap dijewantahkan dalam karya besar peradaban dengan nilai-nilai substantif. Bentuknya mengikuti Cina, Arab, dan Eropa, tapi nilainya tetap Islam. 

 Bentuk Masjid Agung Sumenep di sekelilingnya memakai gerbang yang berbentuk gapura. Secara bahasa, gapura berasal dari kata hafura yang berarti pengampunan dari Allah Swt. Gapura ini memiliki kesan kuat arsitektur Cina yang mengingatkan setiap orang yang melihatnya akan kemegahan Tembok Raksasa Cina. Gapura ini dibangun menggunakan batu bata dan pasir yang kaya akan zat kapur, sehingga bangunan kokoh dan kuat selama berabad-abad (Widiatami, 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.