Pangeran Dipanegara juga sering dieja Diponegoro (lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia
Namun demikian hasil penelusuran sebuah komunitas di Sumenep, Songennep Tempo Doeloe, melansir bahwa kemungkinan makam atau kuburan pahlawan Nasional itu berada di komplek pekuburan Asta Tinggi Sumenep. Hal ini dapat dibuktikan dari catatan-catatan dan nisan yang terdapat di komplek pemakaman tersebut
Keberadaan Makam Pangeran Dipenogoro dibelakang kompleks makam Asta Tinggi sampai saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan masyarakat. Namun sebagain masyarakat Sumenep percaya bahwa makam sang pahlawan nasional ini memang benar-benar berada di Negeri Sungenep
“Abdul Hamid Pangeran Diponegoro Ontowiryo Amirul Mu’minin Sayidin Sido Ing Topo Panotogomo ” Nama Pangeran Diponegoro ( Raden Mas Ontowiryo ) sempat mengemuka dan mengelinding di Masyarakat Sumenep, sekitar tahun 1987, keberadaan makam tersebut di belakang area kompleks pemakaman Asta Tinggi, tepatnya di sebelah utara asta induk.
DR. Amin Budiman dalam acara Seminar Sejarah Pangeran Diponegoro yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, memaparkan bahwa sejarah tertangkapnya Diponegoro oleh Jenderal De Kock yang selama ini diyakini keberadaannya di Ujung Pandang , perlu dipertanyakan kembali seperti yang ditulis dalam ” Babad Diponegoro ” maupun ” Kidung Kebo “. DR. Amin Budiman juga memaparkan , bahwa apabila diperhatikan beberapa sumber lain dan prasasti yg ada di Sumenep membenarkan keberadaan Makam Pangeran Diponegoro berada di Pojok Belakang Luar Area Komplek Pemakaman Asta Tinggi.
Pangeran Diponegoro ( Raden Mas Ontowiryo ) dilahirkan tanggal 1 November 1785 putera Sultan Hamengku Buwono III dari hasil perkawinannya dengan Mangkorowati asal Bangkalan trah dari Pangeran Cakraningrat III.
Pangeran Dipnegoro mempunyai dua orang isteri antara lain R. Ayu Ratna Ningsih dari Pamekasan dan Raden Ajeng Uluhiyah ( Slowijo ) dari Sumenep Putri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I.
Sedikit cuplikan dari buku Tjarèta Naghârâ Songennep : – Handelingen – Kartasoedirdja – Taal land en volkonkuude van java – 1919 (halaman 21)” :
“Kaotja’a radji patmèna Soltan èngghâpanèka pottrèna Kyaè Adipati Soeroadimenggolo, Boepatè Samarang ; mèlaèpon nalèka perrang Dhipanaghârâ, serrèng Kandjeng Soltan aperrang sareng bhâlâ-bhâlâna dhibi’ dâri Samarang, sè padâ noro’ dâ’ Pangèran Dhipanaghârâ.
Abiddhâ Kandjeng Soltan Songennep sè aperrang è Djhoekdjakarta 19 boelân, pas ghoebhâr ka Songennep. Dhinèng bhâlâ pandjhoeriddhâ èdhingghâl è Djhoekdjâ kantos saoboessa perrang. Sè dhâddhi kapalana pandjhoerit Songennep èngghâpanèka tra-pottrana kandjeng Soltan, bânnja’na kaempa :
- Pangèran Koesoema Senaningalaga, Kolonel Commandant pandjhoerit Songennep,
- Pangèran Koesoema Sinrangingrana, Luitenant Kolonel Infanterie,
- Pangèran Koesoema Soerjaningjoeda, Majoor Artilerie (èsebboet Pangèran Marijem ),
- Pangèran Tjandranimprang, Majoor Cavalerie.
Abiddhâ perrang è Djhoekdjakarta 5 taon, oboessa ètaon 1830. Pangèran Dhipanaghârâ èallè dâ’ Songennep ……………. “
Salah seorang permaisuri beliau (Raden Abdurrahman Pangeran Natanegara R. Aryo Tirtadiningrat Pangeran Pakunataningrat I Sultan Natakusuma II) adalah Raden Ayu Siti Khatijah putri dari Kanjeng Kiyai Raden Daeng Mertamenggala II Demang Gemulak Kiyai Aryo Suroadimenggolo (Bupati Semarang) yang juga adalah kerabat dekat Pangeran Diponegoro. Jadi Sultan Abdurrahman masih ipar dari Pangeran Diponegoro.
Sultan Abdurrahman pernah memberi wasiat kepada keturunan dan para sentana keraton Songennep, dg memberikan nama kepada para penjaga Asta Tinggi seperti Kaji Sèngnga, Kaji Buddhi, Kaji Nangger, Kaji Makam, Kaji Jhâjâbângsa, Kaji Jhâjâaddur, Kaji Sekkar, dan Kaji Langghâr. Bilama nama-nama tersebut dirangkai dirangkai maka akan terjadi suatu kalimat yg berbunyi sebagai berikut :
“Sènga’ sopajâ èkatao-è, jhâ’ è buḍina Asta tèngghi arèya baḍa bungkana nanggher, è seddhi’na nanggher bâḍâ kobhurânna orèng sè abillai kajhâjâ-ân bhângsa tor abhillai agâma. Ngarep sopajâ èsekkarè (diziarahi), mon ta’ sempat, kèbâ kèyaè soro duwâ’âghi”. (Sejarah Sumenep, 2003;181-182).
Kalimat tsb. memang menjadi tanda tanya bagi para generasi (yg mengetahuinya) masa kini, apa maksud yg sebenarnya. Karena konon yg mengajak Pangeran Diponegoro ke Sumenep adalah Sultan Abdurrahman.
Pustaka :
- Tjarèta Naghârâ Songennep – Handelingen – Kartasoedirdja – Taal land en volkonkuude van java – 1919 (halaman 21)
- Lintasan Sejarah Sumenep dan Asta Tinggi Beserta Tokoh dh Dalamnya , Hal 57 – 64. Bindara Akhmad. (rangkuman diskusi forum songennep tempo doeloe juni 2012)
Menurut Faruk Abdillah, yang pertama kali menemukan kuburan Pangeran Diponegoro ialah R. Harunur Rasyid ( Almarhum), seorang sejarawan, ahli metafisika yang pada saat membaca secara prasasti yang terdapat dibatu nisan makam, dan dibantu oleh RB. Abd Rasyid ( Gus Endung, mantan kepala Asta Tinggi serta dirinya, kapasitasnya sebagai seorang jurnalis.
Menurut catatan Faruk pihaknya menindaklanjuti temuan tersebut termasuk studi riset. Ada tujuh buku yang ia tulis tentang itu, termasuk didalamnya tentang sejumlah kidung Diponegoro yang terpahat dari berbagai ukiran di asta tinggi/ pikthograf. Di Sumenep tidak hanya kuburan Pangeran Diponegoro, tapi juga putra putrinya Endang Kaliangi. Pangeran Joyo Kusumo, Pangeran Dipokusumo ( dalam catatan sejarah ia pernah ditahan di Benteng Kalimo’ok ) setelah mengantar orang yang diserupakan dengan Pangeran Diponegoro dalam perjanjian dengan Belanda. Orang yang dimiripkan dengan Pangeran Diponegoro adalah salah seorang laki-laki bernama Jiko Matturi asal Desa Manding. Dan salah satu putrinya ( saya lupa namaya ) dinikahi oleh Pangeran Ami Kepanjen, putra Sultan Abdurrahman. Dan ibunda Pangeran Diponegoro di kuburkan di Bangkalan., ujar Faruk
Penulisan nama Pangeran Diponegoro dalam alinea pertama sebagaimana aksara diatas, tidak lengkap, karena yang benar prasasti yang awal ditemukan dibelakanganya tertulis ” ing tanah Jawi “.
Bukti lain sangat banyak dan itu berupa prasasti yang bisa dibaca. Termasuk prasasti “Samaraga “, dan praasti lainnya yang mudah-mudahan tidak rusak. “Saya ingin sekali bertemu dengan Dr.Amin Budiman. Karena masalah ini hingga tahun 2009 masih banyak yang memburu. Sebab ternyata berita acara kematian pada jasad Pangeran Diponegoro yang didokumentasi Belanda, ternyata tidak pernah menyebutkan bekas luka tembak ditubuh Pangeran Diponegoro yang meninggal di Ujung Pandang. Padahal Belanda terkenal sangat detil dalam urusan ini. Atau mungkin Belanda gagal ngakali bangsa ini. Sehingga tidak mencantumkan bekas luka tembak saat perang di sekitar Ambarawa ( Selarong ) – (dilansir dari songennep tempo doleloe)
Assalamualaikum
keberadaan pangeran diponegoro di madura seperti disembunyikan ?bahkan istrinya di madura tidak disebutkan di ke 8 istri2nya.
Menurut catatan IKPD (Ikatan Keluarga Pangeran Diponegoro) adalah sbb :
Sepanjang hidupnya, tercatat ada delapan wanita yang pernah dinikahi oleh Pangeran Diponegoro.
1. Pernikahan pertama, terjadi tahun 1803 dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto, putri Kyahi Gedhe Dadapan, dari desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Jogyakarta.
2. Kedua, tanggal 27 Pebruari 1807 dengan Raden Ajeng Supadmi (R.A. Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang.
3. Ketiga, tahun 1808 dengan R.A. Retnodewati. Baik Madubrongto maupun Retnodewati wafat sewaktu Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
4. Dua tahun kemudian di awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro melakukan perjalanan ke wilayah timur dan menikah untuk yang keempat dengan Raden Ayu Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir. Tidak lama setelah melahirkan anaknya Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan kemudian dibawa oleh Ki Tembi seorang sahabat Pangeran Diponegoro. Oleh Pangeran Diponegoro bayi tersebut diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
5. Isteri Kelima, dinikahi pada tanggal 28 September 1814, yakni R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu.
6. Keenam, bulan Januari 1828 Diponegoro menikahi R.A. Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
7. Ketujuh, R.A. Retnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan, dan
8. kedelapan, R.A. Retnakumala, putri Kyahi Guru Kasongan (Babad, P. XIX, b. 21-26; Lihat juga Carey, 2007:767-769). 6)
Diponegoro adalah santri, muridnya kyai, ngajinya al-Quran. Mursyid Thoriqoh yang disegani belanda ketika itu. Ini yang jarang diungkap dalam buku sejarah kita Indonesia. Ini ada artikel menarik tentang Diponegoro Jika Tidak ada Pesantren, Indonesia Runtuh