Murkak, Sang Mpu Keris dari Madura

Murkak
Murkak

Nama ini memang terasa asing ditelinga kebanyakan orang, karena memang Murkak bukan nama populer atau pesohor yang kerap dieksplorasi di dunia media. Namun Murkak bukan sekedar nama, tapi merupakan suatu proses dalam sebuah perjalanan hidup seorang mpu keris. Dalam perjalan hidupnya sepenuhnya diabdikan dan diabadikan dalam dunia kepusakaan.

Sebagai manusia lansia (lanjut usia), dilingkungan masyarakat Murkak, telah menjadi tokoh yang monomental serta dibaiat sebagai sesepuh dalam pembuat keris. Maka tak heran bila masyarakat menyebutnya sebagai Mpu.

Murkak yang kini berusia 70 tahun, suami Amsiyani (65). Dia adalah salah seorang Mpu keris yang dimiliki oleh Desa Aeng Tongtong dan masih hidup. Di desa ini memang terdapat sejumlah Mpu-Mpu yang bertebaran di sejumlah tempat di desa Aeng Tongtong Kecamatan Saronggi dan sebagaian bermukim di Kecamatan Bluto dan Lenteng Kabupaten Sumenep Madura

Namun demikian sebagai lansia, produktifitas keris karya Murkak ini, tentu mulai menurun, apalgi kondisi fiksinya mulai melemah.

Konon, sejak dia terjatuh dan mengalami cedera beberapa bulan bulan lalu, kehidupan Murkak sebagai pembuat keris memang berubah. Usianya yang telah tua dan renta, menyebabkan sakitnya sangat menganggu aktifitasnya sebagai Mpu keris. Itulah sebabnya bapak dua anak ini memerlukan bantuan anak-anak dan menantunya untuk berjalan atau ketika menerima para tamu.

Tapi belakangan ia sudah mulai berkarya kembali, namun dalam pengerjaan yang riangan , seperti mendesain keris atau sekedar mengamati nilai-nilai seni yang tergambang dalam bangun keris.

Dalam perjalanan hidupnya sebagai Mpu keris, kepiawaian Murkak dalam membuat keris, cenderung merupakan karunia yang lebih iirp dari “pemberian” Yang Maha Kuasa. Dia bercerita, sejak dia mengenal dan memperoses keris yang dibuatnya tidak pernah belajar pada siapapun dan bahkan kini banyak melahirkan generasi Mpu keris.

Murkak mulai mengenal keris sejak usia tujuh tahun. Maklumlah, Aeng Tongtong memang dikenal sebagai ‘desa keris’. Bahkan, pada masa penjajahan Belanda, banyak keris-keris dari Aeng Tong Tong dibawa ke Belanda sebagai oleh-oleh atau sebagai hadiah kepada para panglima perang sebagai tanda keberanian.

Setelah akrab dengan keris, Murkak pun mulai mendalami keris. Saat usianya menginjak 20 tahun, Murka telah berani mengerjakan perbaikan keris-keris yang rusak. Dari waktu ke waktu, Murkak yang memang berbakat juga pada bidang senirupa, mulai memberanikan diri membuat keris sendiri. Hasilnya, sungguh menakjubkan. Selain berkharisma, keris bikinan Murkak lebih indah karena disertai sentuhan seni rupa yang dimiliki oleh Murka.

Dari kualitas keris yang dihasilkannya, dipercaya sebagai maestro Mpu keris, sehingga namanya melambung kesejumlah wilayah sehingga menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat, khususnya bagi pencita keris atau pusaka lainnya.

Dari popularitas itulah, pesanan demi pesnan datang silih berganti. Selain melayani pembeli yang menginginkan kerisnya sebagai koleksi, Murkak juga melayani pembuatan untuk oleh-oleh. Namun untuk motif oleh-oleh ini, tentu pamor dan ukirannya dibuat lebih sederhana, namun keris yang sengaja dipesan untuk kepentingan tertentu, seperti sekep, senjata, pusaka wasiat, atau sebagai jadi diriseseorang, maka tentu akan dibuat secara khusus baik dalam pamor maupun keunikannya.

Pamor keris sendiri adalah ukiran yang terdapat dibatang keris biasanya mengkilat karena pamor itu berasal dari batu meteor yang jatuh dari langit dan untuk yang bertuah biasanya mendapat perlakuan khusus yaitu ritual lelaku si Mpu dalam membuat keris dengan berpuasa selama 3-7 hari tergantung tingkat kesulitannya. Setelah itu baru dibuat dan selama proses pembuatan si Mpu tidak boleh bicara sedikitpun tetapi harus konsentrasi dalam pembuatan keris bertuah tersebut.

Sampai saat ini jumlah penduduk yang membuat keris di Aeng Tongtong mencapai 90% dan sisanya adalah petani. Pesanan pun tidak pernah sepi setiap harinya, sehingga jika anda berkunjung ke sana pasti mendengar bunyi dentingan besi ditempa dan mesin gerinda berdering yang menghiasi sudut-sudut desa.

Murkak adalah satu yang tersisa dari maestro keris yang ada di Aeng Tongtong yang mampu membuat keris istimewa dengan harga yang cukup tinggi. Generasi di bawah Murkak, jika dikumpulkan semua, maka jumlah Mpu di Sumenep sungguh menakjubkan banyaknya. Ada 554 Mpu keris yang tersebar di tiga kecamatan, atau di sepuluh desa. Kecamatan Bluto tercatat 300 orang pengrajin keris yang tersebar di enam desa, Desa Palongan (150 orang), Aeng Baje (40 orang) Kandangan (35 orang) Gingging (25 orang), Sera Timur (30 orang), Karang Campaka (20 orang).

Kecamatan Saronggi, ada 204 pengrajin yang tersebar di tiga desa, yakni Desa Aeng Tongtong (150 orang), Talang (29 orang), Juluk (25 orang), sementara di Kecamatan Lenteng ada 50 orang yang tersebar di tiga desa, yakni Desa Lenteng Barat (40 orang), Lembung Barat (7 orang), Lembung Timur (3 orang).

Dari 554 Mpu keris, mampu mengekspolrasi 450 bentuk dan nama keris dari zaman ke zaman. Sehingga keris buatan Mpu di Sumenep terus di minati oleh kolektor keris dari berbagai belahan dunia.

Di usianya yang telah senja, Murkak tetap bersemangat untuk berkarya. Terbukti, meski dalam kondisi sakit, kakek empat cucu ini sudah mulai mengawasi Larip bekerja membuat keris.

Sebetulnya, kendati produksi keris Aeng Tongtong mulai marak pada 1960-an–berbarengan dengan awal tumbuhnya Murkak sebagai seorang Mpu keris, namun sebenarnya desa itu memiliki sejarah panjang soal pusaka. Menurut RM Srihono Darmodiningrat, 75 tahun, anggota organisasi Javanologi Jawa Timur, saat Trunojoyo, tokoh dari Pamekasan, Madura, memberontak pada Kerajaan Mataram yang didukung Belanda pada 1600-an, semua pusaka pengikutnya dipasok dari Aeng Tongtong. “Pasukan Trunojoyo tak pernah kekurangan senjata karena selalu dipasok oleh Mpu-Mpu dari Aeng Tongtong,” kata Srihono.

Seperti Murkak, Mpu-Mpu setelahnya tak hanya mahir membuat keris, tapi juga senjata pusaka lainnya, seperti mata tombak, trisula, dan pisau. Keahlian para Mpu yang rata-rata relatif muda itu sebagian karena warisan orang tuanya yang juga seorang Mpu. Sebagian lainnya karena mereka memang belajar sendiri.

Jika ada yang berubah, kini peralatan untuk membuat keris lebih modern. Dulu, agar bisa diukir dan dibentuk pamornya, keris dibakar di paron (besi landasan tempa), tapi sekarang cukup dengan api las. Sementara untuk menajamkan sisi keris, dulu Mpu sering menggunakan kikir. Tapi sekarang banyak yang pakai beji.

Tak hanya itu, menurut Larip yang setia mendampingi Murkak saat wawancara berlangsung, perubahan tradisi membuat keris juga terus berlangsung di desanya. Tradisi membuat keris yang dimulai dari tirakat memang masih berlangsung di Aeng Tongtong, namun jumlahnya kian
sedikit. Biasanya, untuk keris ‘bertuah’, Mpu itu berpuasa tiga hari sebelum mulai membuat keris pusaka. Dalam laku tirakatnya itu, sang Mpu tidak boleh bicara dan berhubungan intim. Konon, jika dilanggar, maka tuah pusaka yang dibikin akan berkurang. Sebelum membuat keris biasanya cukup mengadakan selamatan pada malam Jumat Legi.

Pelajaran berharga yang diwariskan Murkak kepada anaknya maupun generasi setelahnya, adalah kecapakapan dan kesanggupan untuk membuat aneka ragam senjata, tak hanya membuat keris gaya Jawa saja. Gaya Bali pun biasa, bahkan gaya Malaysia, Brunei, pun bisa dikerjakan.

Kini, berkat ketauladanan Murkak dan Mpu keris seangkatannya, dalam sepekan, keris yang dihasilkan Aeng Tongtong bisa mencapai ratusan bilah. Sebab, selain para Mpu yang tak mengejar jumlah seperti Murkak, banyak pembuat keris di sana yang bisa menghasilkan puluhan keris dalam sepekan. Sebagian besar keris yang dihasilkan desa itu berupa bilah keris yang telah dihiasi pamor. Adapun warangka (sarung keris) dan pegangannya biasanya dipesan dari daerah lain di luar Madura, seperti Yogyakarta. Meski begitu, di sana juga ada perajin yang khusus membuat warangka. Salah satunya Sasrudi, 38 tahun, warga Palongan. Sasrudi biasa membuat warangka bila ada pesanan dari pengepul atau Mpu.

Kini, keris Aeng Tongtong banyak dipasarkan ke kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar. Keris dari desa itu ada juga yang diekspor ke Singapura, Brunei, Malaysia, Amerika, dan negara-negara Eropa. Itulah sebabnya, lantaran sedemikian banyaknya sebaran keris Madura, maka di mana pun ada penjual keris, pasti ada keris Madura di dalamnya. Itulah keris dari Aeng Tongtong.

Kata Murkak, Mpu Aeng Tongtong tak membikin keris dari nol. Mereka mengambil bahan baku yang sudah setengah jadi dari pandai besi di Desa Lenteng Barat, Sumenep. Bahan bakunya berupa besi baja yang diambil dari Surabaya. Kemudian Mpu-Mpu itu tinggal membentuk menjadi keris yang lebih halus serta memberi polesan pamor agar tampak lebih indah.

Lain dengan zaman Murkak ketika masih muda, di mana keris hanya dihargai lima puluh sen atau setengah rupiah. Sekarang harga keris dari Aeng Tongtong telah melambung tinggi. Untuk keris setengah jadi yang belum dikasih pegangan dan warangka dipatok Rp 100 ribu. Namun sesungguhnya, ujar Larip, harga sebilah keris memang relatif. Apalagi jika yang membeli adalah seorang kolektor, maka harganya bisa sangat tinggi. Harga keris buatan Aeng Tongtong berkisar ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah per buah.

Biasanya, seorang pembeli melihat sosok keris itu dari unsur dhapur (tipe atau bentuk), tangguh (perkiraan tahun pembuatan), wilah (bilah), dan pamor (motif). Bila unsur-unsur itu telah terpenuhi, barulah unsur berikutnya turut melengkapi, yaitu rangka dan pegangannya. Rangka yang paling bagus, berupa kayu kemuning atau cendana. Adapun pegangannya dari gading gajah. Kalau semua terpenuhi, harganya bisa mencapai ratusan juta,” katanya.

Dhapur keris yang belakangan banyak diminati, adalah Guling Mataram dan Megantoro. Juga dapur keris Majapahit. Biasanya kalau diminati harganya tinggi.

Usia Murkak memang telah senja, namun dirinya tak pernah merasa kesepian. Sebab, apa yang dia perbuat, bukan saja telah mengharumkan nama Aeng Tongtong, melainkan juga memberi kemakmuran desanya yang tandus. Lihatlah, kini ratusan anak-anak muda telah menjadi penerusnya dalam membuat keris. Dan dengarlah pada tiap pagi hingga petang, bunyi palu beradu dengan besi selalu terdengar, sebagai pertanda kehidupan di Aeng Tongtong terus menggeliat, bersamakarya seni berupa keris yang sudah menyebar ke seluruh dunia. (dari berbagai sumber)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.