Upacara Adat Pangantan Benusan di Sumenep

Ilustrasi pengantin Madura

Syaf Anton Wr

Disalah satu desa, namanya Karangbudi yang terletak di  kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep, tepatnya sekitar 8 km kearah timur daya dari kota Sumenep, ada kampung oleh masyarakat setempat di sebut kampung Benusan.

Kata Benusan sendiri menuru  cerita konon disana pernah terjadi peperangan antara antara Pangeran Lor dengan Prajurit Bali. Peperangan itu terjadi  disebelah  selatan kampung Benusan atau posisinya di tengah-tengah persawahan. Ditempat tersebut ada bidang tannah yang agak tinggi yang oleh masyarakat setempat disebut tenggina , atau tempat yang tinggi.

Dsalam peperangan tersebut tentu mengakibatkan kedua belak pihak ada yang luka atau kalah (tato). Nah, para prajurit yang tato diusung dengan menggunakan bendusa (bendosa/ alat pemikul jenazah dari kayu) yang kerap diucapkan oleh  orang Bali. Tapi ternyata ucapan tersebut (barangkali) salah dengar yang diterima oleh masyarakat sekitar, akhirnya kata bendosa diucap menjadi bennosa, yang selanjurnya menjadi Benusan. Kata Benusan itulah akhirnya melegenda dan dijadikan nama kampung tempat peperangan itu terjadi, yaitu Kampung Benusan.

Konon sebelum Pangeran Lor jadi adipati, seorang  adipati bernama Arya Wirya Wigananda bertahta di  Gapura, nsmun  tidak seberapa lama lalu meninggalkan wilayah kekuasaannya itu dan meninggalkan  parajuti-prajuritnya. Dan pada akhirnya para prajurit tersebut menetap dan banyak bedomisili di Desa Karangbudi dan Braji

Dari sebuah cerita kata Braji sendiri berasal dari kata  Aji dan Ber.  Aji berarti “harga diri” dan kata Ber bermakna “mempunyai”. Jadi kata Braji mempunyai arti “mempunyai harga diri”, karena pada saat Pangeran Lor langsung terjun dalam medan peperangan.

Sedang penduduk kampung Benusan sendiri banyak diantaranya merupakan dari sisa  tentara-tentara Wigananda dan berdomili disitu serta menjaga perbatasan anatara Desa Karangbudi dan Braji. Mereka membaur dengan masyarakat setempat termasuk masyarakat Benusan.  Lantaran terjadinya proses akulturasi antara dua budaya; yaitu budaya masyarakat setempat, dan budaya kraton, maka prilaku kehidupan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya menyatu dalam sebuat ikatan budaya, yang antara lain dalam hal tradisi dan upacara adat pengantin.

Tradisi dan adar upacara pengantin masyarakat Bannusan memang bisa dibilang unik dan menarik, meski banyak sisi didalamnya dalam tata cara adat tersebut banyak persamaan upacara adat pengatin masyarakat Sumenep dan Madura umumnya.

Kemenarikan adat pengatin ini, telah menjadi kelaziman bahwa setiap setiap seorang laki-laki mengajukan lamaran, telah diatur tatacara atau adat istiadat, atau adhab asor yang telah disepakati bersama, yaitu diawali dari rombongan keluarga calon pengantin laki-laki mendatangi dan berkunjung kekeluarga calon pengantin perempuan.

Dengan sebuah iring-iringan sebuah rombongan serta dilengkapi bawaan yang nantinya sebagai simbol atau kias maksud dan tujuan kedatangan rombongan, serta dilengkapi iringan musik saronen, sebagai ciri khas musik tradisi Madura.

Dengan pakaian adat Madura tengah-tengahan, yaitu mengenakan pakaian beskap, odengan (ikat kepala) serta baju pesa’  untuk laki-laki, serta kain panjang serta kelengkapan busa Madura  lainnya bagi perempuan. Datanglah rombongon laki-laki (calon besan) ke tujuan. Ketika masuk halaman rumah, mereka tidak langsung menuju emper rumah, namun di pintu pagar halaman mereka mulau berjalan dengan jongkok secara pelan-pelan.

Namun ketika menjelang menuju pintu rumah, maka terjadilan dialog antara rombongan keluarga laki sebagai tamu dan keluarga perempuan sebagai tuan rumah. Namun dalam dialog masing-masing diwakili seseorang yang memang mempunyai profesi sebagai pangadha’ atau tokang pangadha’ yaitu seorang juru atau mediator yang berpenting terjadinya peristiwa dan keberlanjutan laman pengatin tersebut.

Dengan begitu ada semacam lir-gumilir atau dialog, antara sipengiring wakil calon pengantin laki-laki dengan wakil tuan ruman (pihak keluarga perempuan) sampai keluraga laki-laki diterima lamarannya.

Ungkapan atau ucapan awal biasanya disampaikan sebagai berikut:

Pengantar (Wakil keluarga laki-laki)
Pangapora
Penyambut (Wakil kelurga perempuan)
Iyatore longghu

Pengantar:

Pangopara, abdina mator rancanganna badhan, tolang  mator cangkolang, saebu dadhukan esandhangnga e atas bun-bunan, abdina ngaddu bangal margha abdina ngangguy elmu sareang. Bismillah, bis nyabis, mil macomel, Allah da’ ka Allah se sefat rahman  sareng rahim, se ta’ aotang panyo’on, dari ka’dinto badhan kaula bisa nattollagi tenana ate kaangguy ngalenang neter nasraddha paseoman ka’dinto

Terjemahan bebasnya:

Pengantar (Wakil keluarga laki-laki)
Permisi
Penyambut (Wakil kelurga perempuan)
Silkakan masuk / duduk

Pengantar:

Permisi, saya (kami) menyampaikan keingin badan, tulang mengucapkan kurang etis, seribu marah mau disandang diatas ubun-ubun, saya mengadu beradu berani, karena saya menggunakan ilmu anak sulung. Bismillah, saya datang dengan ngomel, Allah kepada Allah yang mempunyai sifat rahman dan rahim, yang tidak berhutang permintaan, dari sinilah saya dapat menentukan hatinya hati untuk meniti menuju hasrat ini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.