Lok-olok, Tradisi Lisan Madura

Seorang tukang Lok-olok, saat menyampaikan pidatonya
Seorang tukang Lok-olok, saat menyampaikan pidatonya

Kaulâ andi’ bur-lèburan duwa’
Nè’-kenè’cabbhi lètè’
Moghâ dhaddhi sampornana
Ka sè nanggâ’ sareng sè nèngghu
Ka sè etanggâ’ sareng sè ètèngghu
Sè panglowar è sebut sè Ghembhâr
Sè pangdâlem ajâjuluk sè Ghâmbhu

Terjemahan:
Saya mempunyai dua kekasih
Kecil-kecil cabe rawit
Semoga menjadi kesempurnaan
Kepada penanggap dan penonton
Kepada yang ditanggap dan yang ditonton
Yang sisi luar (kiri) disebut Si Kembar
Yang sisi dalam (kanan) dijuluki si Gambu

Sedangkan penjelasan nama sapi, misalnya, terdapat dalam penggalan pidato lok-olok sebagai berikut:

Kacong Bâjâng Ènten rèya ongghuna bâdâ maksoddhâ
Bâjâng Enten rèya cong Ongghunah nandhâaghi je’ mon
Orèngga rèya ongghu- ongghu arabât bâ’na
Saèngghe akole’ emmas, atolang bessèh, bân matanah asonar

Terjemahan:
Anakku, Bayangan Intan, semua itu mempunyai arti
Bayangan Intan ini sesungguhnya menandakan bahwa pemilik sapi ini benar- benar merawat engkau
Sehingga engkau berkulit emas, bertulang besi, dan matanya bersinar

Pujian kepada sapi, misalnya, ditunjukkan dengan ungkapan sebagai berikut:

Adu kacong buwâna atè
tadâ’ bhunga andi’ ana’ kanṭa bâ’na
èabas dâri adâ’ gâgâ’ èabas dâri èrèng mantèrèng akanṭa arjuna kembhâr
Adu kacong, pola bâ’na
Atapa pèttobelâs taon è gunong Maraong
Salbhâk macan lopot.

Terjemahan:
Aduh anakku si buah hati Sungguh senang punya anak seperti engkau
Dilihat dari depan, engkau gagah Dilihat dari samping, engkau menterang
Laksana Arjuna kembar
Aduh anakku, mungkin engkau bertapa di Gunung Raung selama 17 tahun
Lolos dari terkaman macan

Cicourel memperkenalkan sebuah varian etnometodologi. Jenis etnometodologi tersebut dia sebuah dengan sosiologi kognitif.  Cabang etnometodologi ini lahir sebagai kritik atas Garfinkel yang menyatakan bahwa interaksi dan ungkapan verbal merupakan proses yang sama. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa manusia di samping berkomunikasi dengan kata-kata juga berkomunikasi dengan cara melihat, meraba, dan merasa.

Artinya, manusia menggunakan “modalitas ganda” untuk berkomunikasi dalam sebuah situasi. Ungkapan verbal merupakan translasi yang tidak sempurna dari apa yang benar-benar ingin dikomunikasikan dalam sebuah interaksi. 3  Dalam menyampaikan pidato lok-olok, tokang       lok-olok menyertakannya dengan gerakan tubuh, gerakan tangan, dan tatapan mata. Gerakan tangan disertai tatapan mata yang menunjukkan kegusaran terjadi, misalnya, ketika ia diejek oleh penonton dengan perkataan „huh’. Ia membalas ejekan penonton sebagai berikut:

Bâdhân kaulâ sobung sè èkerrabâ
Bâdhân kaulâ ta’ andi’ dhunnya
Tapè mon ka kahormadhân Bâdhân kaulâ andi’ sakonè’
Kaulâ ghi’ aromasa orèng Madhurȃ
Ca’ èpon orèng, èngghi
Pa’, dhunnyana èpatao ka tengnga lapangan
Mon bâdhân kaulâ bhunten, tarètan
Ta’ andi’ dhunnya.

Terjemahan:
Saya tidak punya sapi untuk ikut serta dalam kerapan
Saya tidak punya harta, tapi saya masih punya sedikit harga diri Saya masih merasa sebagai orang Madura
Katanya orang, ya
Pak, hartanya dipajang saja di tengah lapangan
Tetapi saudaraku, saya tidak begitu
Saya tidak punya harta

Dengan demikian, Cicourel menjawab kritikan yang dilontarkan terhadap etnometodologi yang dipandang telah melupakan akar fenomenologisnya. Karena, bila dicermati, konsep ini sesungguhnya meminjam dan mengembangkan rumusan fenomenologis Schutz,  terutama yang berkaitan dengan konsep intersubyektif. Menurut konsep ini, di dalam dunia intersubyektif orang menciptakan realitas sosial dan dipaksa oleh kehidupan sosial yang telah ada dan oleh struktur kultural ciptaan leluhur mereka.

Dalam dunia ini seseorang selalu berbagi dengan orang lain yang juga menjalani dan menafsirkannya. Karenanya, dunia seseorang tersebut secara keseluruhan tidak akan pernah bersifat pribadi sepenuhnya. Bahkan di dalam kesadarannya selalu ditemukan bukti adanya kesadaran orang lain. Ini merupakan bukti bahwa situasi biografinya yang unik ini tidak seluruhnya merupakan produk dari tindakannya sendiri.

Penutup

Lok-olok merupakan seni berdeklamasi yang diakhiri dengan tandhâng (tarian) oleh tokang Lok- olok selama beberapa saat setelah ia menyampaikan pidatonya dengan diringi musik saronèn. Dalam pidato Lok-olok tersebut, tokang Lok-olok yang mewakili si pemilik sapi memperlakukan sapi seperti manusia ataun tepatnya seperti anak sendiri.

Karenanya, sapi jantan seringkali disebut dengan kacong (bocah) dan sapi betina disebut dengan cebbhing (gadis). Ini menandakan bahwa masyarakat Madura memosisikan sapi sebagai sesuatu yang berharga. Ini memperkuat, misalnya, temuan Glenn Smith  dan Huub de Jonge  bahwa masyarakat Madura memperlakukan sapi layaknya anggota keluarga. Kaum laki-laki Madura kadangkala lebih menyayangi sapi mereka ketimbang istrinya. Mencederai atau mencuri sapi mereka sama halnya dengan mengganggu istri yang bisa berakhir dengan carok.

Dalam perspektif etnometodologis, pujian atas sapi dalam pidato Lok-olok seringkali mendapatkan applause dan sorak- sorai dari penonton sebagai tanda kesetujuan mereka atas ungkapan dalam Lok-olok. Ini juga mengimplikasikan paralelitas dengan temuan Smith dan de Jonge yang menunjukkan          kesenangan

Walaupun sesungguhnya Schutz sendiri mengembangkan konsep ini dengan cara menyandingkan konsep fenomenologi Husserl dengan konsep verstehen dari Weber dan mentransformasikannya ke dalam sebuah analisis interaksionis. Selanjutnya baca, misalnya, R.C. Bogdan dan S.J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods: a Phenomenological Approach to the Sosial Sciences (New York: John Wiley and Sons, 1973). masyarakat Madura atas sapi, terutama sapi kerapan atau sapi sono’.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.