Rosul
Di Madura, tentu bukan rahasia lagi jika sosok kyai merupakan figur panutan yang tetap dihormati bahkan meski telah lama meninggal Makam kyai seringkali dianggap sebagai tempat keramat, terutama bagi mereka yang memiliki hajat tertentu. Beberapa makam juga diberi sebutan Bhuju’ yang dalam bahasa Madura berarti orang yang sangat tua dan dituakan dalam silsilah keluarga dan patut dituruti segala nasehat dan arahannya.
Akan tetapi, berbeda dengan sebagian besar tempat yang disebut bhuju’. Ada satu lokasi berjuluk Bhuju’ Tolombung yang bukan merupakan makam Tempat yang dikenal sebagai petapan (tempat bertapa) ini, hanyalah bongkahan batu besar di tengah area persawahan dengan sumber air di bagian tengahnya.
Yang menjadikannya istimewa adalah, air yang muncul dari dalam batu ini berasa asin seperti halnya air laut. “Masyarakat disini percaya, Bhuju’ Tolombung ini sebagai Bujhellã Tasѐ’ (pusarnya samudera, red),” ujar Abdul Hamid (34 th), salah seorang tokoh pemuda Ketua Karang Taruna Desa Batokaban Kabupaten Bangkalan.
Kepercayaan ini dipertegas dengan adanya cerita tentang seseorang yang dikabarkan tenggelam di Bhuju’ Tolombung, saat berusaha mengambil celuritnya yang jatuh ke dalam sumber Setelah beberapa hari, mayat pemuda yang tenggelam tersebut konon di temukan di pantai utara, yang oleh masyarakat disebut Tobiruh. Sebagai tempat yang dianggap keramat, banyak lamat (pesan mistis, red) yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Bhuju’ Tolombung, Seperti bahwa airnya diyakini dapat menyembuhkan segala penyakit,
setiap orang yang ketika datang dapat melihat gelembung yang muncul dari dalam lubang berarti keinginannya ak terkabul, hingga pantangan yang sedikit diskriminatif bag perempuan Di Bhaju’ Tolombung ini hanya laki-laki yang boleh naik ke atas dan mengambil air. Sebah, menurut cerita orang tua, pernah ada seorang perempuan yang naik keatas Akhirnya air yang dulu sumbernya besar menjadi semakin menyusut. Sejak saat itu, perempuan dilarang naik ke atas.” ujar Bujati, salah seorang warga yang tinggal tepat di barat Bhuju’ Tolombung
Ada kisah menarik Bhuju’ Tolombung, sebagai Petapan yang berada di kawasan Dusun Paser ini Konon, setiap kali seseorang bertapa disana pada suatu malam pertapaannya bongkahan batu tersebut akan berubah menjadi ular besar yang melilit tubuh sang pertapa. Itu sebagai bagian dari ujian kesungguhan niat si pertapa.
“Bhuju’ Tolambung ini banyak kisah mistisnya Mungkin karena itu tempat ini dikeramatkan,” ujar Abdul Hamid Tak hanya Bhuju’ Tolombung, di area yang sama sekitar 100 m arah barat daya terdapat hamparan batuan padas seperti yang biasa ditemui di pesisir pantai. Lengkap dengan butiran pasir dan batu-batu kecil menyerupai karang Di lokasi ini, terdapat semburan air yang muncul dari dalam batu dan tanah yang airnya juga terasa asin.
Semakin ke hilir. luberan air yang membentuk anak sungai kecil ini, airnya tidak lagi terasa asin. Justru semakin tawar dan sedikit ada rasa manis Beberapa titik semburan juga nampak berwarna keruh yang diperkirakan mengandung belerang “Pernah ada dari pertamina yang ingin mengebor di tempat ini tapi belum terealisasi sampai sekarang, kisah Hamid.
Sejarah selalu hadir dengan begitu banyak versi, yang entah berkaitan atau semakin jauh dari kisah aslinya. Budaya tutur tinular salah satu alasannya Sebagaimana penamaan Bhuju’ Tolombung dan sejarah yang menyertainya Cerita pertama menyebutkan, disebut Bhuju’’ sebab dahulu merupakan tempat bertapa seorang yang sakti mandraguna Seorang sakti yang kini diyakini bermakam di Desa Kokop Kec Konang Kab Bangkalan “Makanya setiap bulan baik, seperti menjelang Bulan Ramadhan, juru kunci Makam Kokop datang kesini mengambil air untuk dicampurkan ke sumur yang ada di makam sana,” cerita Bujati yang mengaku tidak tahu persis nama pemilik makam yang diberi sebutan Bhuju’ Kokop tersebut.
Sedangkan untuk penamaannya, beberapa orang meyakini nama Tolombung merupakan gabungan dari dua suku kata dalam Bahasa Madura. Yakni Betoh, pendeknya Toh (Batu, red) dan Lombung (Lumbung Padi, red), disingkat menjadi Tohlombung atau Tolombung, Sebab bongkahan batu Bhuju’’ Tolombung yang menyerupai lumbung padi. Bahkan dari kejauhan, dua pohon besar yang mengapit batu nampak seperti penyangga lumbung padi.
Cerita lainnya, Batokaban berasal dari kata Betoh dan Kambeng (mengambang, red), artinya batu yang mengambang. Konon, dahulu air yang mengalir dari Bhuju’ Tolombung melimpah hingga membuat batunya seolah mengambang karena hanya terlihat bagian atasnya. Versi lain bahwa nama Batokaban berasal dari kata bãto dan kaben/keben (tempat air, red), artinya batu yang menjadi tempat air. Selain keberadaan Bhuju’’ Tolombung, hal itu juga dikaitkan dengan kebiasaan orang di Batokaban menyimpan air di dalam gentong dari tanah liat atau batu.
“Sekarang memang sudah jarang orang pakai Keben. Kalau dulu semua orang punya, terutama sebagai tempat untuk cuci muka atau wudhu,” jelas Abdul Hamid. (Madura Dalam Legenda)
Disalin dan diangkat dari buku ‘Asal-usul dan Sejarah Orang Madura’, Kajian Arkeologi-Sejarah, Eitor Gunadi Kasnowiharjo, Penerbit Balai Arkeologi Provinsi DIY, 2021, hal 11-15