Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-104049
Episode Delapan
Kekenyalan hidup ternyata membawa pengaruh besar terhadap perkembangan watak Marlena. Ia lebih sensitif dan peka dalam mengejawantahkan kenyataan masa lalunya. Kemudian dijadikan acuan menuntun langkah pada masa berikutnya. Untuk itu selama ia masih mampu berfikir dengan akal sehat, Marlena telah siap menundukkan gelombang kehidupan yang maha dahsyat.
Sebagai anak desa yang dilahirkan dalam kondisi alam penuh keberingasan, ia merasa berdosa, sakit, getir, dan dendam bila membiarkan begitu saja tumpah darahnya diinjak-injak oleh jaman. Karena itu, Marlena berjanjanji, selama ia masih punya kesempatan, akan terus berupaya untuk memajukan dan menyempurnakan tatanan yang ada di pulau garam ini.
Lembayung senja mulai membilas langit barat. Marlena tersadar dari lamunannya, ketika Pak Tohamenegurnya.
“Ada kesulitan Marlena?” kata Pak Toha seraya duduk disamping Marlena. Seekor kelelawar berkelebat dalam rimbunan pohon mangga, sehingga beberapa helai daun gugur melayang-layang dan jatuh ke tanah.
“Ada masalah disekolah?,” ulang Pak Toha.
“Tidak ayah,” jawab Marlena singkat.
Pak Tohamencoba mereka-reka apa gerangan yang menjadi beban anak angkatnya. “Aku mengerti, kamu masih dibayang-bayangi oleh kenangan yang sebenarnya telah jauh meninggalkanmu,” katanya kemudian.
“Kenangan itu kadang datang begitu saja. Namun Marlena tak sampai larut di dalamnya,” jawab Marlena sambil mengawasi ayah angkatnya.
Wajah tua itu tampak sabar dan penuh pengertian, pantas menjadi panutan. Tak heran bila semua warga menaruh hormat padanya. Dulu, dikantor pun Pak Toha selalu menjadi tauladan bagi rekan sejawat. Kini setelah pensiun, tetap disegani.
“Tapi kali ini pikiran Lena tidak mengarah kesana, ayah,” sambung Marlena, setelah terdiam beberapa saat.
“Lalu kamu tadi mikir apa? Kok tampak seperti menerawang jauh begitu?” tanya Pak Toha ingin tahu.
“Dalam negara Indonesaia yang adil dan makmur ini, mengapa masih banyak orang-orang miskin dan tak berpendidikan? Di belahan bumi lain, orang-orang sudah bisa rekreasi kebulan, tapi mengapa disekitar kita masih ada orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki?” ungkap Marlena dengan nada protes.
“Ha ha ha, itu namanya proses. Sebab permasalahan yang masih menjadi ganjalan di sebagian masyarakat kita, sebenarnya terletak ditangan generasimu. Maksud ayah, kesenjangan sosial yang ada ini masih akan terus terjadi,selama proses demokratisasi itu masih berlangsung,” ujar Pak Tohasambil tersenyum. Dalam hatinya mengembang rasa bangga pada anak Bruddin ini. Biarpun dilahirkan dalam kondisi terbelakang, tetapi Marlena mempunyai wawasan yang cukup luas.
“Tapi proses ini berjalan begitu lamban,” sahut Marlena.
“Disini, di Madura, nak. Menuntaskan permasalahan di pulau ini tak semudah membalikan telapak tangan. Memang kita akui, disini kerap timbul permasalahan-permasalahan baru, yang sebenarnya permasalahan itu diangkat oleh masyarakat itu sendiri.”
“Maksud ayah?” Marlena mulai tertarik.
“Begini, dengan menyusupnya arus modernisasi, yang ditimbulkan gejolak jaman didunia luar, ternyata membawa pengaruh terhadp tata kehidupan masyarakat kita. Nah, yang menjadi masalah sekarang, arus tersebut tidak mungkin kita tolak begitu saja. Sebab didalamnya terdapat hal-hal yang patut kita jadikan acuan dalam rangka melengkapi wawasan kita yang semakin dituntut oleh keberadaan jaman,” jelas Pak Toha.
“Apakah itu tidak membahayakan etiket kebudayaan kita, yah?” tanya Marlena.
“Tergantung,” jawab Pak Toha singkat.
“Arus dari luar sangat kuat, karena itu, kita harus membekali diri dengan iman yang kuat, agar kita tidak gampang terbawa arus. Tak semua budaya asing cocok dengan kita. Karena itu setiap budaya yang datang, perlu disaring terlebih dahulu. Disaring pakai apa? Tentu saja dengan wawasan. Pengetahuan dan agama kita. Kamu mengerti maksud ayah?” Pak Toha balik bertanya.
Marlena hanyamengangguk-angguk saja, pertanda setuju dengan ucapan ayah angkatnya. Sementara bedug mahgrip mulai bertalu-talu diiringi gema adzan magrib yang memanggil segenap umat Islam untuk segera melaksanakan kewajibannya.
Ayah dan anak itu kemudian bangkit menuju musholla untuk menunaikan sholat maghrib. Sudah menjadi kebiasaan bagi anggota keluarga ini, dari pembantu, majikan, tukang kebun serta sopir, melakukan sholat berjamaah. Keluarga Toha tidak pernah membedakan kaya dan miskin. Karena mereka sadar, harta hanya titipan, yang sewaktu-waktu dapat diambil oleh yang Maha Kuasa.
Namun demikian bukan berarti keluarga harmonis ini tidak ada kerikil-kerikil yang membentang. Kerikil itu selalu ada, bahkan kerikil itu bagai duri dalam daging. Setiap keributan, tentu ada penyebabnya. Yang menjadi ganjalan munculnya keributan kerap lahir dari sikap Joko yang merupakan adik kandung Bu Rasmi.
Seperti yang terjadi di pagi tadi, Joko datang ke rumah Pak Toha dengan menggenggam amarah yang membara. “Aku ingin ketemu mbak !,” serunya kemudian.
Nu Rasmi, istri Pak Toha segera muncul di ruang tamu depan. “Ada apa Joko!”
“Aku datang kesini hanya mengharap pengertian mbak Rasmi,” demikian awal ungkapan Joko.
“Maksudmu apa dik ,?” sahutnya.
“Begini mbak,” katanya. Matanya mengarah tajam kearah kakak kandungnya. “Setelah aku teliti, ternyata warisan yang kami terima dari orang tua kita tidak sepadan dengan yang diterima mbak Rasmi. Kakak mendapat warisan terbanyak dari yang lain,” lanjutnya.