Kangean, Perlu Revitalisasi Budaya Lokal

D. Zawawi imron

Propinsi Jawa Timur punya maskot satwa “ayam bekisar”. Hasil perkawinan silang dari pejantan ayam hutan dan betina ayam kampung jadilah ayam blasteran berupa ayam bekisar yang suaranya khas memekik-mekik. Bekisar itu dulunya banyak dibudayakan di pulau Kangean yang jauhnya perjalanan hampir satu malam dengan kapal laut ke arah timur dari pulau Madura.

Pulau yang panjangnya 50 km dan dikelilingi tidak kurang 40 pulau-pulau kecil itu, ternyata penduduknya punya nenek moyang suku bangsa yang berbeda-beda. Ada keturunan Melayu, Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Mandar dan lain-lain. Bahasa yang dipakai di pulau itu rata-rata bahasa Madura, tapi dengan intonasi yang mirip alunan bahasa Bugis. Di samping itu ada varian-varian yang tidak terdapat pada bahasa Madura. Misalnya, untuk orang pertama di sebuah kampung dipakai kata eson, yang berasal dari bahasa Jawa ingsun, sedangkan di kampung yang lain dipakai kata ako yang berasal dari kata aku, Melayu. Sedangkan nama-nama masih sangat banyak yang bergelar “daeng”.

Dari keturunan berbagai sukubangsa itu sebagian  telah terjadi pembauran, sehingga Kangean pantas disebut “Indonesia mini”. Meskipun kebudayaan mereka hasil dialog dari berbagai etnis tidak berarti pulau ini tidak pernah menghasilkan kesenian yang otentik, salah satunya adalah “Pangkak”. Pangkak adalah sejenis tarian dan sekaligus upacara bergembira pada musim panen padi. Kalau musim panen padi akan berakhir, para pemuda yang belum kawin dan para perawan dengan pakaian bagus datang ke tengah sawah. Gadis-gadis menuai padi sambil menyanyi dan menari. Sedangkan para jejaka punya tugas mengikat padi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.