Karena adat yang kuat, antar jejaka dan perawan itu rata-rata tidak saling mengenal. “Pangkak” adalah bertemunya anak jejaka dan anak gadis yang dibolehkan oleh adat.
Di tengah sawah, sambil menyanyi dan menari jejaka-jejaka itu mulai mencari perawan yang cocok untuk menjadi pendamping hidupnya. Masing-masing mencoba untuk menolong mengikat padi yang dipegang si anak perawan. Kalau si perawan tidak berkenan, ia tidak mau memberikan padi di tangannya kepada si jejaka. Tapi kalau merasa cocok, dengan tersenyum malu padi itu lalu diberikan kepada si jejaka. Begitulah pesta meriah itu berlangsung dari pagi sampai matahari condong ke arah barat.
Arena pesta potong padi itu benar-benar jadi ajang kegembiraan,. Dalam acara “pangkak” itulah para lajang menemukan jodoh. Orang-orang tua datang ke arena itu dengan menyediakan makanan dan sekaligus sebagai penonton. Sore hari para lajang itu pulang berpasang-pasangan dengan calon jodohnya masing-masing.
Beberapa minggu kemudian mereka lalu dinikahkan sebagai suami istri. Oleh orang Kangean, panen padi yang melimpah disyukuri dengan perjodohan anak-anak mereka.
Sekarang tarian dan upacara pangkak sudah tidak ada lagi. Kata seorang tokoh, sudah lebih 15 tahun tidak ada pangkak, sejak punahnya padi “bulu”, sejak sekolah-sekolah setingkat SMA bermunculan di pulau Kangean.