Identitas dan Warna Lokal Dalam Sastra Madura Modern

 

Oleh Mashuri
Balai Bahasa Jawa Timur

Kajian terhadap sastra Madura modern ini menggunakan pendekatan studi kultural (cydtural studies). Tujuannya untuk menggali identitas, karakter, dan warna lokal Madura dalam karya sastra yang ditulis generasi kiwari. Teks dalam sastra Madura modern menyimpan sebuah transisi diskursif sepanjang sejarah kemunculan karya tersebut dan kultur masyarakatnya. Karya tersebut memiliki beragam cara pandang dan mode deskripsi terhadap lokalitasnya, baik itu yang berupa ruang budaya, manusia, ingatan kolektif, konflik komunal maupun aspek kemanusiaan dengan segala pergulatannya. Dalam karya itu, terdapat pembacaan pada kekhasan identitas dan lokalitas Madura, baik itu yang hablur dalam kultur maupun tersengal di ranah sosial. Identitas itu tidak statis.

*****

Masyarakat Madura di Pulau Madura, menurut Wijata (Subaharianto,2004:4), sudah sangat lama diasosiasikan dengan atribut kemiskinan dan keterbelakangan. Anggapan iłu merujuk pada kondisi alam Madura yang gersang dan tandus sehingga sektor pertanian yang menjadi basis di sebagian masyarakat Indonesia kurang dapat dieksplorasi dengan memadai di seluruh Pulau Madura. Dari hal itulah tradisi merantau dikenal dalam masyarakat Madura. Tujuannya untuk mencari penghidupan yang lebih baik (Subaharianto, 2004:5).

Di Sisi lain, soal atribut iłu sebenarnya berbanding terbalik dengan karakter masyarakat Madura yang menjunjung tinggi nilai keagamaan, harga diri, dan kesopanan. Bahkan, Kusumah (Kusumah, dalam Soegianto, 2003:1) mencanangkan bahwa ciri-ciri orang Madura adalah sopan, hormat dan Islam. Ciri-ciri iłu menjadi identitas etnik yang muncul tanpa disadari oleh anggota masyarakat dan sudah terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja, seiring dengan identitas khas tersebut, bertebaran stigma negatif.

Stigma negatif yang sempat terekam adalah tradisi kekerasan yang disebut carok. Mengenai masalah carok iłu, Wiyata (2006) mengungkapkan bahwa kondisi iłu disebabkan oleh banyak hal, di antaranya masalah sosial yang dibungkus oleh ‘harga diri’ orang Madura. Stigma lain yang ‘negatif’ yang dipandang oleh orang luar Madura juga dipatahkan oleh Rifai (2007) dengan memerikan antara pandangan orang luar terhadap orang Madura dan pandangan orang Madura terhadap kemaduraannya sendiri. Menurut Rifai (2007), stereotip iłu sebenarnya sangat bertentangan dengan asas/kaidah yang berlaku dalam masyarakat Madura, terutama bertumpu pada peribahasa yang berlaku, yang menjunjung nilai-nilai keluhuran dan keagungan.

Jika membaca karya antropologis tentang Madura, terkesan bahwa identitas iłu stagnan. Padahal, dalam konteks tertentu dan ruang tertentu, identitas masyarakat Madura di Pulau Madura sangat potensial berkembang (masalah dinamika atau dinamisasi orang Madura iłu sudah sangat terkenal, terutama berlaku untuk orang Madura di perantauan, Subaharianto, 2004). Apalagi perkembangan mutakhir mengisyaratkan bahwa Madura sedang dijelang proses industrialisasi dan semakin terbukanya pintu dengan dunia luar melalui pembangunan fisik, salah satunya berupa jembatan Suramadu. Kondisi tersebut belum ditambah dengan percepatan perubahan yang dipicu oleh semakin canggihnya alat komunikasi dan teknologi informasi. Sebagaimana masyarakat Indonesia yang lain, terkait dengan potensi adanya pergeseran cara pandang, bahkan cara memahami identitas etnis sendiri juga berlaku bagi masyarakat Madura. Dalam kondisi iłu, membaca atau mengenal identitas menjadi sangat penting. Pembacaan iłu bukan sekadar mengenal kembali jati diri budaya, ego bangsa, dan sejenisnya, tetapi lebih pada upaya pemertahanan diri terhadap arus globalisasi yang sudah demikian marak dan cenderung hiperrealis.

Dalam kondisi demikian iłu, posisi sastra menjadi sangat signifikan. Sastra dan ruang humaniora tidak hanya sebagai shoft power bangsa atau masyarakat subkulturnya, yang tentu berpotensi besar dalam percaturan tarik ulur antara lokal dan global tersebut, tetapi menyimpan jejak rekam, pergulatan identitas Madura yang mengalami tarik ulur. Selain iłu, hal iłu juga menyimpan arketipe pengetahuan yang berguna dalam memerikan perubahan yang terjadi dan dalam mengenal aspek sosio-kultural, psikososial, bias ruang prifat-publik, serta pergeseran pemaknaan dan pencerapan yang sudah, sedang, dan bahkan yang bakal berlangsung.

Asumsi iłu muncul karena sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Sastra menyimpan jejak discourse pengetahuan dan genealogi masyarakat yang melahirkannya. Di dalamnya tersimpan identitas dan nilai yang mencerminkan masyarakatnya, bahkan pandangan dunia. Oleh karena iłu, berbicara tentang identitas dalam masyarakat kontemporer dalam sastra menjadi sebuah keharusan. Hal iłu seperti yang diungkap Wardi bahwa era kini adalah era krisis identitas dan subjektivitas (Sutrisno, 2007) . Dalam sastra Madura modern yang menyimpan jejak pengetahuan, cerapan, sikap, dan lainnya terkait dengan identitas diri, bahkan mungkin adanya krisis dan keterpecahan identitas.

Ada beberapa hal yang perlu dicermati dari perkembangan sastra Madura modern. Pada tahun 1990-an, Suripan Sadi Hutomo pernah menegaskan bahwa sastra Madura modern tidak berkembang, bahkan terancam mati karena tidak memiliki lahan untuk tumbuh. Lahan yang dimaksudkan adalah media dan atmosfer bersastra Madura dengan paradigma modern. Tengara iłu seakan ‘melegitimasi’ karena didukung oleh sebuah penelitian bahwa perkembangan sastra Madura modern memang memprihatinkan. Bahkan, ada yang mempertanyakan keberadaan sastra Madura modern. Terkait dengan hal itu beberapa asumsi sempat mengemuka, di antaranya berhubungan dengan politik sastra nasional yang terpusat dan berparadigma ordinat dan subordinat, yang mengganggap bahwa sastra daerah memang bukan ‘sastra mapan’. Asumsi lainnya adalah bahwa proyek besar masa lalu dengan strategi kebudayaan yang alpa realitas kultur yang ternyata berimbas pada pengerdilan sastra daerah.

Sastra Madura modern pernah diteliti oleh Hariyadi dkk. (1981), yang merupakan proyek tahun 1979, tetapi diterbitkan tahun 1981. Asumsi awal yang dibangun oleh tim peneliti sangat pesimistis karena sejak awal tim peneliti itu melihat sastra Madura modern merupakan permasalahan yang kabur. Bahkan, mereka sempat mempertanyakan dalam sebuah kalimat: apakah bahasa Madura juga mempunyai sastra Madura modern sebagaimana bahasa Indonesia. Dalam penelusuran lebih jauh, Hariyadi menemukan beberapa data/bukti sastra Madura modern. Berdasarkan berbagai sumber, juga dari Belanda, tim itu membagi sastra Madura menjadi tiga periode, yaitu Sastra Madura lama (masa lama— 1920), sastra Madura baru (tahun 1920—1945), dan sastra Madura modern (tahun 1945—1977). Meskipun pertanyaan telah terjawab dan sastra Madura modern ada, tapi perkembangan sastra Madura modern sekarang ini berjalan seadanya.

Meskipun kondisi sastra Madura modern masih karut marut dan sejak dirintis oleh Hariyadi dkk. (1981), belum ada penelaahan yang lebih serius masalah sastra Madura modern. Perkembangan mutakhir sastra Madura modern dapat ditemukan dalam berbagai ruang, di antaranya beberapa media lokal yang kini sudah tidak terbit lagi, salah satunya buletin Konkonan. Koran lokal Radar Madura juga menyisipkan puisi berbahasa Madura dalam beberapa kesempatan. Media lain berbahasa Madura yang menerima tulisan sastra Madura modern juga ada, meskipun kondisinya minim dan tidak semarak sastra Jawa. Selain itu, Jokotole, media berbahasa Madura yang diterbitkan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, mulai tahun 2008, juga menyediakan ruang untuk sastra Madura modern.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.