Kepercayaan yang ada pada masa Madura purba, kemudian mulai terdesak oleh agama Hindu yang barn dikenalnya. Acara-acara ritual yang berbau animisme mulai ditinggalkan. Semisal Kepercayaan purba kadang-kadang memperkenankan kanibalisme untuk mewariskan sukma dan wibawa orang berpengaruh yang barn meninggal. Sementara agama baru yang dibawa dan India sangat menghargai jiwa manusia. Kepercayaan baru itu tidak menentang pemujaan nenek moyang yang sudah membudaya di Nusantara. Agama Hindu dan Budha yang masuk ke tengah kehidupan masyarakat segera mendapat penganut, karena mampu memberikan arti dan tujuan kehidupan yang lebih baik.
Pada tahap mi, penyebarluasan agama bertumpu kepada para Cendekiawan pendatang yang mengajarkan kemampuan baca tulis kepada para rohaniawan di Nusantara. Dan peninggalan yang ada diketahui, bahwa yang diajarkan mereka, mula-mula adalah huruf Pallawa seperti yang dipakai di India. Namun dalam perkembangannya di Madura, Jawa, Sunda, dan Bali huruf tersebut menjadi huruf Hanacaraka, berasal dan kisah Aji Saka. Kedatangan Aji Saka ke pulau Jawa ditandai dengan awal perhitungan tahun yang disebut Tarikh Saka. Sejak masa itulah bangsa di Nusantara memulai masa sejarah. Bahasa Sansekerta yang dibawa oleh para pemuka keagamaan kaum pendatang, serta mempengaruhi beberapa kosa kata bahasa Madura. Seperti arèa, genta, lekkas, parèksa, raddin, ropa dan saktè. Bahkan ada pendapat nama Madura berasal dan bahasa Sanskerta yang artinya molek atau cantik. Nama Madura juga dikenal sebagai nama salah satu Mathurai kota di daerah India selatan (Mathurai), yang iklimnya juga menyerupai Madura.
Peninggalan tempat pemujaan berupa Candi yang utuh memang hampir tidak ada di Madura tetapi bekas-bekasnya masih dapat ditemukan. Dan namanya dapatlah diduga bahwa desa Candi di Kecamatan Dungkek semula adalah tempat pemujaan. Begitu pula nama desa Mandala di Kecamatan Gapura dan Mandala Kecamatan Rubaru, memberikan petunjuk bahwa tempat itu di zaman kuna merupakan tempat pendidikan, atau perkampungan pertapa agama Hindu Budha.
Tulisan berkelanjutan:
- Awal Kedatangan Leluhur di Tanah Madura
- Budaya Pertanian Masyarakat Madura
- Mata Pencaharian Penduduk Masyarakat Madura
- Agama dan Kepercayaan Orang Madura
- Perkembangan Bidang Pemerintahan di Madura
- Pola Pemukiman Penduduk Masyarakat Madura
- Mencari Asal Kata dan Arti Sumenep
Kehidupan masyarakat Madura semakin berkembang, dengan makin meningkatnya kesadaran mereka mengenai ketergantungannya pada tanah, sungai, pohon, ikan dan benda-benda alam lainnya. Mereka sebagai penganut animisme beranggapan, bahwa segala sesuatunya memiliki anima atau jiwa. Kepercayaan ini menumbuhkan kebudayaan yang bersifat spiritual, yang lebih mementingkan rohani dibandingkan materi. Dilain pihak juga tumbuh kepercayaan tentang adanya hubungan antar yang mati dengan yang hidup.
Untuk keperluan ritual kepercayaan tersebut, mereka mendirikan bangunan-bangunan megalithic, seperti batu menhir (batu besar tegak memanjang yang dibiarkan kasar tidak digarap/dihaluskan) seperti yang pernah ditemukan di daerah Kamal Kabupaten Bangkalan. Batu tadi sengaja didirikan untuk dijadikan medium dalam memperingati orang yang dihormati dengan memperlakukannya sebagai wahana tempat menampung arahnya. “Batu kennong” atau batu gong — kumpulan batu yang berbentuk sunder pendek dengan tonjolan diatasnya seperti gong kecil, juga terdapat di puIau Sepudi. Peninggalan itu merupakan salah satu tradisi pemujaan leluhur pada zaman purba Madura. Bila dibandingkan dengan temuan serupa di daerah Besuki maka batu gong di pulau Sepudi tersebut hanya merupakan bagian yang tersisa dan suatu komplek bangunan megalithic yang luas. (lontar Madura)