Perkembangan Bidang Pemerintahan di Madura

Salah satu kemajuan penting dengan masuknya kebudayaan India terjadi dalam bidang pemerintahan. Kaum Brahmana yang datang dari India memperkenalkan bentuk birokrasi pemerintahan yang mengatur birokrasi atasan dan pegawai atau bawahan, Mereka menjelaskan pemantapan sistem kasta yang akan menumbuhkan kemapanan pola tata cara kehidupan dan hubungan kemasyarakatan.

Proses akulturasi kebudayaan India memperkenalkan peranan kaum Brahmana sebagai guru, tabib r(dukun) dan pembina rohani, serta raja sebagai ksatria merupakan puncak kekuasaan. Guru sebagai panutan lebih dekat dan akrab dengan kehidupan memiliki sistem peran yang amat signifikan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, ilmu pengetahuan agama dan kebudayaan.

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya kerajaan kecil-kecil di Madura itu, tidak dapat menyaingi kekuasaan kerajaan-kerajaan dengan daerah yang lebih makmur yang berpusat di Jawa. Pada perkembangannya di waktu selanjutnya, Madura memang hampir tidak pemah dapat bebas secara politik dan ekonomi dan pengaruh pulau Jawa. Cerita tutur tentang Madura seringkali menghubungkan awal masa lalunya dengan tapak Medang Kamulan, ibu kota kerajaan Kalingga atau Mataram kuno. Dalam legenda Madura, Raden Segara dianggap sebagai penghuni pertama pulau Madura ini dikisahkan sebagai cucu Raja Gilingwesi. Kisah ini merupakan indikasi adanya hubungan ketergantungan pemerintahan kuno Madura terhadap kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah pada abad VII-IX. Pada masa itu bertahta keluarga raja-raja Syailendra yang menganut ajaran Budha, dan Sanjaya yang beragama Hindu.

Dan berita-berita Cina dijelaskan, bahwa kerajaan Mataram kuno itu menguasai sekitar 30 kerajaan bawahan yang ditaklukkannya. Pada masa itu proses akulturasi kebudayaan India terus berlangsung, sehingga birokrasi system tata pemerintahan mulai tertata rapi. Walaupun kerajaan-kerajaan kecil di Madura tunduk pada Maharaja yang bertahta di Jawa, para penguasanya masih memiliki otonomi pemerintahan. Di setiap daerah, setiap penguasa setempat mempunyai wibawa sebagai Raja. Mereka dapat menentukan dan memungut upeti, membebaskan suatu desa dan kewajiban membayar pajak atau memberikan anugerah wilayah dan berbagai penghargaan. Pola pemerintahan seperti itu bertahan lama sampai akhir abad XIX. Walaupun kedudukan para penguasa raja bawahan di Madura hanya setingkat Bupati, namun mereka juga mempergunakan gelar Panembahan, Raja atau bahkan gelar Sultan.

Tulisan berkelanjutan:

  1. Awal Kedatangan Leluhur di Tanah Madura
  2. Budaya Pertanian Masyarakat Madura
  3. Mata Pencaharian Penduduk Masyarakat Madura
  4. Agama dan Kepercayaan Orang Madura
  5. Perkembangan Bidang Pemerintahan di Madura
  6. Pola Pemukiman Penduduk Masyarakat Madura
  7. Mencari Asal Kata dan Arti Sumenep

Bentuk pemerintahan demikian itu sangat memberatkan rakyat kecil, terutama para petani harus menanggung beban gaya hidup sistem feodaL Pola pemerintahan mi menimbulkan upeti bertingkat, pada akhirnya hams ditanggung oleh rakyat. Hasil upeti bertumpuk itu menyebabkan raja-raja Syailendra dan Sanjaya berturut-turut nampu mendirikan kompleks percandian Borobudur dan Prambanan yang sangat mengagumkan. Namun dibalik kemegahan itu terbaca pengerahan tenaga secara terus-menerus, merupakan basil jerih payah rakyat. (Lontar Madura_

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.