Upacara Adat Pangantan Benusan di Sumenep

Ilustrasi pengantin Madura

Sarat Ungkapan Kias

Setelah demikian lama terjadi dialog, bahkan cenderung adu ketrampilan dalam menyampaikan kata-kata atau kalimat-kalimat kias yang bernilai puitis itu, tergantung sejauh mana kemampuan masing wakil mengungkapkan kalimat atau kata-katanya. Kalau memang ternyata maksud dan tujuan meragukan atau oleh sebab lain ternyata kurang mendapat respon dari pihak tuan rumah, bisa akan terjadi penolakan.

Demikian pula sebaliknya apabila ternyata keduabelah pihak sama-sama merespon dan sarojhu’ (sepakat), maka lamaran itu dapat diterima dan bisa dilanjutkan kejenjang berikutnya, yaitu perkawinan.

Bila memang sarohju’ si rombongan calon pengantin laki-laki, lalu dizinkan dan dipersilakan untuk masuk. Setelah masuk ketempat yang disediakan yaitu tarop (terop) yang kemudian dimaknakan sebagai : ta: nata (menata barang), adat tengka se ampon sorop. (adat tingkah laku yang sudah surup (senja)

Setelah mereka berkumpul di bawah terop, kedua belah pihak mulai membahas lagi beberapa hal yang berkaitan dengan  kelanjutan pertemuan tersebut. Dalam kondisi seperti kembali diungkap dengan simbol-simbol atau kias, yang dalam posisi tersebut direprentasikan melalui macapat (yaitu seni tradisi lisan yang mengungkap dan menafsirkan beberapa makna kehidupan dalam bentuk lanturan syi’ir (macapatan) dan panegghes (kalinat-kaloiman yang dijabarkan atau ditegaskan).

Kisah sastra lisan dalam macapat tersebut, yaitu membahas sekitar pengatin dan proses kehidupan dan tanggung jawabnya. Hal ini berlangsung semalam suntuk, baik tamu atau pengirim dari rombongan laki-kali maupun  tuan rumah dari keluarga perempuan mengikuti dengan seksama dan suntuk. Itulah yang nantinya menjadi bekal dan wejangan dalam menjalani hidup kedua calon suami istri tersebut.

Tiga hal pokok yang biasanya menjadi pedoman bagi calon suami istri, bagaimana memahami ten-atenna reng Madhura, yaitu :

Pertama, harus abhantal sahadhat apajung Allah asapo’ iman asandhing Rasulullah. (berbantal sahadat, berpayung Allah, berselimut iman bersanding Rasulullah). Sedang untuk menjadi manusia yang seutuhnya setiap manusia harus melakukan  kennenganna kennengi lalakonna lakoni jalanna jalani, (tempati tempatnya, kerjakan pekerjaannya, jalani jalannya sendiri). Artinya setiap manusia mempunya tempat dan jalan masing-masing, satu dengan yang lain tidak boleh menyerobot, tidak boleh mengambil hak-hak orang lain.

Lalu,  mon bagus pabagas, mon tegges pategges, mon kerras pakerres (kalau bagus/baik yang baik sekalian, kalau mau tegas yang tegas dan berani sekalian, kalau keras yang keris sekalian, hingga punya kesaktian dan disegani), juga sapa se atani atana’, sapa se adagang adaging, palebur ka orang se ngobber dupa mi’ pola melo ro’omma, deggi’ kabekkasan daddi oreng se samporna. (siapa yang bertani pasti dapat makan, siapa yang berdagang bakal berdaging, berbaik-baiklah pada orang yang membakar dupa, siapa tahu kebagian harumnya, nanti akan membekas jadi orang yang hidupa sempurna)

Sebagai orang madura haruis mempunyai greget tinggi, tidak berpangku tangan, sebagai nelayan harus abhantal ombha’ asapo’ angen, meski demikian tidak melupakan  abntal sahadat asopa’ iman. Hal inilah yang nantinya akan memnuhi kehidupan berumah tangga.

Sebagai manusia jangan sekali-kali cuma adigang adigung diguna , karana adigang adigung adiguna (ad: besar, gang: perawakan/ atau kekuatan fisik, gung : keturunan orang terhormat , guna : kepintaran, kecendikan), semua itu tidak akan ada artinya tanpa dibekali dengan kekuatan lain,  karena manusia hanyalah dherma (darma)

Selain kedua pengantin diharapkan juga bisa punya kerres (keris), kerres mempunyai  makna filosofi atau bidal : yaitu arti kepada satu ttik atau tujuan. Bila menuju satu titik bisa dicapai, maka manusia bakal maangker oreng ta’ maddadi keres (memberi kesan digdaya dan tidak menjadi terbelakang/rendah)

Yang kedua harus punya keteran (burung perkutut) yaitu  ke punya arti kiyai, ulama . Belajar dan belajarlah pada kiyai atau ulama sampau mempunyai jimat (ngaji sampai tammat, meski sampai liang lahat ). Sedang kata te: punya makna papate (patih). Setiap warga harus patuh dan mengabdi pada pimpinan, karena dalam falsafah Madhura dikenal dengan ungkapan bhupa’, bhabu’, guru, rato, jadi setiap manusia wajib mengadi serta serta berdedikasi diri sebagai warga negara ,bermasyarakat dan berlingkungan yang baik. Kemudian kata ran, yaitu pangeran. Setiap manusia harus mempunyai semangat dan jiwa pangeran, kreatif, inonatif dan mempunya wawasan kedepan, yang nantinya akan menjadi raja atau pemipin bangsa dan negara

Yang ketiga, yaitu harus ngobu jharan (memelihara kuda). Bahwa jharan atau kuda dikiaskan sebagai hewan yang tangguh, tidak bermalas-malasan, suka bekerja berat meski menanggung beban berat. Itulah antara gambaran jharan sebagai motivasi calon pengantin yang nantinya akan menjalani luku-liku hidup harus berjuang keras untuk memenuhi kehidupan jasmani dan ruhaninya.

Itulah antara lain petuah-petuah yang disampaikan para pengirim dari kedua belah bihak. Dialog ini disampiakan secara santai, kekeluargaan namun sarat makna yang dikandungnya.

Menurut Moh. Taufik, salah seorang yang kerap dipercaya sebagai wakil keluarga pengantin itu, menyatakan bahwa sampai saat ini tradisi dan upacara adat Pangantan Bannusan  masih berlangsung, khususnya di sekitar Desa Braji dan Karangbudi. Taufik yang telah menerbitkan buku Sangkolan Bukona Tamba, tampaknya menjadi generasi terakhir yang akan berusaha mempertankan tradisi tersebut. (Syaf Anton Wr/Lontar Madura)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.