Rokat Sang-pasang, Penyembuhan Alternarif Ala Madura

Peletakan sesajen di pertigaan/perempatan jalan

Sebelum Islam masuk, sejumlah wiayah di Indonesia (khusunya Jawa) banyak dianut oleh Agama Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat dari berbagai peninggalan sejarah`baik bentuk monumen maupun literasi yang ada. Tentunya hal itu menjadi bukti sejarah, bahwa agama Hindu Budha dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia kala itu. Seperti yang dikisahkan dalam naskah kuno, jika pada masa pemerintahan kerajaan di Indonesia, keluarga raja dan masyarakat memeluk agama Hindu Budha. Tentu tradisi pengaruh Hindu Budha sampai sekarang masih melekat di tengah masyarakat, termasuk di Pulau Madura

Meski  jejak peninggalan Hindu Budha di Madura sangat minim, dan jarang untuk diteliti lebih lanjut. Namun, terdapat salah satu sumber catatan Kolonial yang menjabarkan temuan terkait peninggalan Hindu-Budha di Hindia Belanda, termasuk didalamnya Pulau Madura.

Dari sekian tradisi peninggalan Hindu Budha yang ada di Madura, yaitu dalam upacara adat, ritual-ritual dan beberapa bentuk rokat yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat Madura, seperti Rokat Tase’, Rokat Pandhaba, Rokat Dhisa, Rokat Aèng dan rokat-rokat lainnya. Salah satunya, yaitu  namanya Rokat Sang-Pasang.

Rokat Sang-pasang (rokat/selamat dengan memasang/meletakkan sesuatu) merupakan bentuk  kegiatan yang dipasang di suatu tempat dalam bentuk sesajen dengan tujuan  dan berharap dapat terhindar dari semua hal-hal negatif . Dengan meminta “berkah” nenek moyang yang mereka yakini masih bisa dimintai pertolongan. Karena itu, roh-roh leluhur itu perlu disapa kerabatnya yang masih hidup melalui sebuah upacara.

Namun dalam perkembangannya Rokat Sang-pasang mulai ditinggalkan oleh masyarakat, karena makin meningkatnya pemahaman terhadap pendidikan dan meninggalkan upacara yang berbau klenik, sehingga sekarang  jarang ditemui warga yang memasang  atau meletakkan sesajen di tempat-tempat tertentu.

Sang-sapasang dilakukan, biasanya bila seseorang  terjangkit suatu penyakit tertentu kemudian penyakit itu ditimbulkan akibat  “èsapa setan/jin” (disapa setan/jin) atau “aghânjâ ana’na setan” (menginjak anak setan) di sebuah tempat dimana mereka  singgah atau melawati jalan-jalan yang dianggap pingit/angker. Tempat-tempat tersebut biasanya seperti kuburan, bhuju’, pertigaan atau perempatan jalan, atau gang-gang tertentu dianggap “songop” (angker) dan tempat lainnya yang tidak patut disinggahi atau dilalui.

Hal ini mengakibat seseorang èro’toro’” (diikuti setan/jin)  atau “tasambhet” (terdampak) di tempat/jalan tersebut, akan menyebabkan yang bersangkutan menjadi sakit (sakit apa saja). Lantaran diyakini sakit akibat èro’toro’ tidak bisa diobati pada dokter, dan harus melalui bantuan dukun atau paranormal.

Dukun biasanya mengobati melalui sarana gelas minuman air, yang dilengkapi dengan kembang-kembali kemudian jampi-jampi (namun dalam praktiknya sang dukun berdoa menurut Islam) dan meminumkannya pada yang sakit. Menariknya, pasien tidak harus langsung menghadap sang dukun, cukup pihak keluarga/perantara yang menyampaikan dengan menunjukkan indentitas pasien.

Untuk pengobatan alternatif dukun ini, umunya dilakukan oleh para ibu ketika anak atau bayinya sedang sakit yang tidak  jelas penyebabnya. Dan mereka meyakini anak tersebut  tasambhet gangguan jin atau setan. Akibatnya dia jadi rewel atau sakit.

Dukun atau paranormal  akan melakukan ritual,  lantas mewangsitkan agar  menaruh sesajen tertentu bila penyakitnya dianggap parah, tapi penyakit itu dianggap ringan, cukup meminum air yang dimantrai/didoai oleh dukun. Sang dukun bilang sakitnya begini, dan akan sembuh dengan cara begini. Seseorang bisa percaya atau tidak. Ini memang irasional. Tetapi kebanyakan memang sembuh. Biasanya, sang dukun meminta keluarganya menaruh sesajen di malam hari, ketika semua sedang terlelap. Tempatnya beragam. Selain di kuburan dan tempat angker, juga di perempatan jalan umum.

Jadi Rokat Sang-sapang  timbul akibat saran atau petunjuk dukun atau sesepuh mereka, yang harus dilakukan sesuai syarat-syarat yang ditetapkan. Serangkaian ritualnya oleh masyarakat maka  dinamai rokat, dan bentuk liturgisnya biasanya macam-macam, bisa sejumlah bunga-bunga, bubur, rokok atau apa saja  kemudian diwadahi pincuk daun dan diletakkan pada tempat  tertentu yang  di anggap menjadi penyebab “ro’toro’” atau “tasambhet”.  Atau seperangkat sesaji lainnya dengan berbagai bentuk isi sesuai dengan saran atau petunjuk dukun.

Islamisasi Tradisi Hindu Budha

Jadi pemahaman atau konotasi istilah Sang-pasangRo’toro’ dan Tasambhet/ lebih kepada sebab-akibat. Sang-Pasang merupakan akibat sakit seseorang, sedangkan Ro’toro’  atau Tasambhet adalah penyebabnya. Secara harfiah, Ro’toro’ mengisyaratkan seseorang telah diikuti setan atau jin hingga menjadi sakit, adapun Sang-pasang dipahami sebagai penangkalnya, agar sakitnya tersembuhkan.

Tradisi demikian, sejatinya adalah tradisi Hindu. Menaruh sesajen untuk tujuan apapun, tidak ditemukan padanannya dalam sejarah Nabi maupun dalam nas al-Qur’an. Tradisi kurban dalam Islam, yang diisyaratkan secara historis melalui surah al-Maidah [5]: 27, bukan menjadikan hewan kurban, kambing misalnya, sebagai tujuan penghambaan. Surah al-H{ajj [22]: 37 menegaskan, ketakwaan dalam melakukan kurbanlah yang sampai kepada Allah. Kurban tidak bermakna tujuan, melainkan sekadar wasilah mencapai derajat ketakwaan.

Baik Hidhu maupun Budha, keduanya memiliki tradisi yang sudah menyatu dengan Nusantara, bahkan menjelma menjadi identitas, yang dikenal sebagai ‘adat’. Ragam sesajen adalah salah satu di antaranya. Sementara, keberagamaan senantiasa dinamis. Rokat Sang-Pasang menjadi bukti nyata dari tesis Darori Amin (2000: 53) bahwa tanpa kebudayaan, agama berkembang secara individual, tetapi tak memiliki tempat di ranah kolektif. Sebagai praktik animisme, Rokat Sang-Pasang mirip adat memasuki hutan menyuguhkan sesajen.

Islam di Indonesia bukanlah membangun peradaban, tetapi merebut peradaban. Maka maklum ketika warna-cita rasa Islam juga beriklim animisme dan hinduisme (Ummi Sumbulah, 2014: 52). Tak terkecuali dengan Madura, yang Islam datang pada saat Hindu-Budha sudah menjadi agama resmi. Bukan melalui pertumpahan darah, penyebaran Islam di Pulau Garam berjalan melalui, di antaranya, saling tarik-menarik keterpengaruhan. Nilai Islam kemudian disematkan pada budaya, tanpa merombak eksistensi budaya itu sendiri.

Dalam konteks Rokat Sang-Pasang, secara lahiriah unsur animisme masih kentara, tetapi nilai-kepercayaan terhadap adat tersebut sudah diislamisasi. Artinya, secara fisik kelihatan sebagai tradisi Hindu, tetapi nilai Islam tersemat di dalamnya. Hal itu sangat mungkin, sebab sebenarnya setiap praktik keagamaan selalu terikat realitas. Pada saat yang sama, kompleksitas realitas tidak mampu ditaklukkan dengan sikap konfrontatif. Mengajarkan Islam akhirnya ditempuh melalui penanaman nilainya secara inheren.

Bahwa Rokat Sang-Pasang ini bertendensi sinkretisme agama, dalam konteks tertentu, mungkin dapat dibenarkan. Tetapi, masyarakat Madura, dan secara spesifik di daerah saya Pamekasan, tidak memahami secara historis sesajen yang mereka lakukan. Atas hal ini, Wahyana Giri (2010: 13) mensinyalir bahwa para pendahulu mengenalkan tradisi/adat sebatas kulitnya saja. Toh pada hakikatnya, Rokat Sang-Pasang memiliki tujuan “berdoa kepada Allah swt. agar penyakitnya disembuhkan dengan perantara sedekah—sesajen.”

Seperti umumnya sesajen, Rokat Sang-Pasang merupakan bukti konkret islamisasi tradisi Hindu di Madura. Di sisi lain, ia juga merupakan prasasti besarnya pengaruh animisme sebelum Islam datang menjadi agama mayoritas. Keberhasilan penyebaran Islam itu sendiri, harus kita akui, di antaranya, disebabkan penetrasi damai antara tradisi/adat dengan agama. Aspek lahirnya tetap budaya asal, tetapi nilainya sudah tak lagi mengandung kemusyrikan. Tentu saja ini menjadi kekayaan tradisi kita di satu sisi, dan keagamaan kita di sisi lainnya.

Baik unsur tradisi maupun nilai keislaman yang terkandung dalam Rokat Sang-Pasang oleh masyarakat Madura tak dipahami secara dikotomis. Yang mereka pahami dari ritual tersebut adalah doa meminta kesembuhan, tanpa mengkotakkan pengertian ‘adat’ dan ‘agama’. Keduanya satu padu dalam praktik, menyatu menjadi bagian dari Islam. Seiring modernitas, Rokat Sang-Pasang hanya dijumpai di masyarakat pedalaman Madura, tidak dengan masyarakat urban. Modernitas memang meruntuhkan keyakinan yang bernuansa klenik. Masyarakat urban menyembuhkan sakit mereka, satu-satunya, adalah melalui dokter. (Lontar Madura)

Literatur: https://alif.id/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.