Tradisi Pir-piran, Meriahkan Lebaran Ketupat

[junkie-alert style=”green”]pir-piran Tellasan topa’ atau lebaran ketupat merupakan peristiwa penting bagi warga Madura, yang dimeriahkan pada hari ketujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Masing-masing wilayah di Pulau Madura dalam memperingati lebaran ketupat ini satu dengan yang lain memang tampak beda. Bahkan karena dianggap penting pada saat tellasan topa’ ini, para warga Madura yag akan kembali ke tanah rantau setelah mudik, mereka menunggu setelah lebaran ketupzt[/junkie-alert]

Seperti contoh, warga Pulau Sepudi, Sumenep, saat lebaran ketupat, pada pagi hari warga sekitar berkumpul di mesjid dan melakukan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama setempat. Setelah mereka makan ketupat bersama dan ada pula yang makan di rumah masing-masing. Selanjutnya para warga berziarah di dua asta, yaitu Asta Poday dan Asta Blingi, komplek pemakaman tokoh kesejarahan Sepudi.

Beda pula di Kecamatan Dasuk Sumenep, seperti para pendahulunya warga setempat melakukan hantaran ketupat dan lauknya kepada warga, namun penampan ketupat terbuat dari rajutan bilah bambu yang kemudian disebut dengan ancak. Ancak ini berfungsi sebagai penampan, dan hantaran dilakukan secara bergantian – memberi dan menerima – . Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk saling menghargai satu dengan yang lain.

Beda pula yang dilakukan Warga Desa Tanjung, Kecamatan Camplong, Sampang dan Desa Bandaran, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan mempunyai tradisi unik dalam merayakan Lebaran ketupat. Tradisi itu dikenal dengan istilah pir-piran. Warga dari dua desa saling bersilaturahmi dengan naik delman atau dokar.

Pegelaran tradisi pir-piran telah berlangsung sejak puluhan tahun silam. Pir-piran biasanya dilaksanakan warga dari berbagai usia keluar rumah untuk merayakan tradisi turun-temurun tersebut. Pukul 10.00, warga mulai memadati jalan, dengan mengendari alat transportasi tradisional yang ditarik oleh seekor kuda itu.

Hal ini dilakukan secra bergantian, warga Desa Tanjung, Sampang bertandang ke Desa Bandaran, Pamekasan. Begitu pun sebaliknya, warga Desa Bandaran bersilaturahmi mendatangi kerabat di Desa Tanjung. Kegiatan ini berlangsung sekitar dua hari, yakni sejak Lebaran ketupat hingga keesokan harinya.

Seperti ciri masyarat pedesaan umumnya, pakaian yang dikenakan warga tampak meriah dan terkesan glamor dengan warna-warna kontas. Seperti pakaian lebaran umumnya, pakaian mereka tampak baru dengan gemerincing perhiasan emas yang melingkar di leher perempuan maupun kedua pergelangan mereka. Dalam tradisi pir-piran, khususnya kaum perempuan dalam berbusana cenderung memamerkan kepemilikan persiapan dan terkesan kegiatan fashion show yang diperagakan di jalan-jalan raya.

Dapat dipastikan, kebanggaan dan kebanggaan warga tampak ditunjukkan selama perjalanan naik delman. Selain dokar, ada juga yang menaiki becak, sehingga tampak sekali jalan antar kedua desa tersebut sep-erti terjadi festival atau pawai hias warga. Puluhan dokar dan becak hilir mudik melintasi jalan raya provinsi itu, sehingga terasa begitu meriahkan pesta lebaran ketupat di wilayah mereka.

Berdasarkan cerita tokoh masyarakat setempat, telah puluhan tahun kendaraan yang digunakan warga adalah pir. Kata pir sendiri sebenarnya berasal dari kata pir roda pedati yaitu besi lengkung penyanggah roga. Disebut pir-piran, karena “kendaraan” yang ditumpangi menggunakan roda yang ber-pir.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.