Perempuan Madura: “Mengada” Ditengah Himpitan Budaya Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat (1)

Kesadaran subjektivitas bisa disebut kesadaran memanu­ siawi. Kesadaran ini seperti yang terlihat dalam kesadaran karti­ nian. Kesadaran kartinian telah mewariskan sebuah bentuk kon­ sientisasi­-diri (penyadaran diri). (Riyanto, 2011: 121). Kesadaran perempuan melalui sosok kartini menunjukkan wujud “mengada “ dengan sikap keragu raguannya akan peristiwa yang dialaminya, dengan bertanya dan mempertanyakan, dengan berani menyoal keterpurukan eksistensinya dan tidak membiarkan dirinya teng­ gelam ke dalam kolam kepalsuan.

Kesadaran perempuan melalui sosok kartini merupakan penziarahan terus menerus yang tertuang dalam kehidupan sehari hari yang merupakan momen yang berlangsung penuh dengan makna, walaupun wujud keberanian kartini itu hanya ada dalam skema “monolog” dan menampilkan ketidakberdayaan. Namun Being manusia tidak dimaknai sekedar keberdaannya. Being atau mengada identik dengan memanusiawi dalam kesehariannya. Kesadaran kartinian adalah kesadaran parti­ sipatif dengan segala kehadiran dirinya, wajahnya dan kecan­ tikannya. (Riyanto, 2011:122)

Pemaparan “Mengada, Memanusiawi sebagai bentuk Kesa­ daran Kartinian” diatas menyiratkan gambaran bahwa untuk memahami­ realitas apakah ada perbedaan, ketimpangan, ataupun penindasan yang terjadi tengah masyarakat kita diperlukan peng­ eksplorasian tentang “ keberadaan manusia” sebagai individu dari masyarakat yang terwujud dalam prilaku kesehariannya. Demikian halnya dengan perempuan madura, untuk bisa memahami ada apa dengan perempuan madura, apakah ada perbedaan gender, ketimpangan gender ataupun penindasan gender ditengah budaya matrilokal dan kekuasaan patriarkat yang melingkupinya diperlukan pengkajian mendalam tentang “mengada memanusiawi” diri perempuan madura. Dalam hal ini diperlukan bantuan Standpoint Feminist Theory untuk mendekatinya.

“Perempuan Madura “Mengada” Diantara Budaya Matri­ lokal dan kekuasaan Patriarkat

Untuk menjelaskan tentang “the standpoint feminist”, Smith mengambil analogi dari konsep Hegel di dalam The Phenomenology of Mind, tentang hubungan antara kesadaran majikan dan tenaga kerja buruhnya. Seperti dijelaskan oleh Smith (1987:79), Hegel menganalisa bahwa di dalam hubungan antara majikan dan buruh, seorang majikan yang menginginkan/membutuhkan sesuatu tidak perlu membuat barang itu sendiri. Obyek yang dikehendaki telah disediakan oleh pembantu atau buruh yang digajinya.

Dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh majikannya, buruh selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan majikannya. Jadi di dalam hubungan antara buruh dan majikan, buruh tersebut bukan merupakan subyek yang memiliki otonomi. Di dalam kesadarannya, buruh hanya mengetahui keberadaan majikan, pelayanan yang ia berika, serta kaitan antara majikan dan obyek yang dikehendaki majikannya. Sebaliknya, di dalam kesadaran majikan terdapat kesadaran tentang dirinya sebagai subyek, kemudian obyek yang diinginkannya, dan buruh yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi obyek yang dibutuhkannya tersebut.

Bilamana konsep Hegel tentang buruh dan majikan dipakai untuk menginterpretasi pandangan Marx tentang perbedaan antara basis ideologi kelas penguasa (the ruling class) dan bisis kesadaran politis kelas buruh, makan akan diketemukan kemiripan antara kesadaran politis buruh dengan “standpoint feminist . Lebih jelasnya, Smith (1987: 79) menguraikan sebagai berikut:

Bentuk-bentuk kesadaran sosial kita telah diciptakan oleh laki-laki yang menduduki posisi di dalam organisasi extralocal kekuasaan. Diskursus, pola pikir, teori, dan sosiologi telah meng­ anggap bahwa kondisi menguasai itu tidak ada. Jadi praktek riil yang membuat terjadinya tindakan menguasai itu tidak nampak. Perempuan berada di luar hubungan extralocal kekuasaan itu. Mereka, pada umumnya, berada dan berfungsi di dalam proses kerja yang menopang kekuasaan dan memiliki peran penting bagi kelangsungan kekuasaan itu.

Dari sudut pandang yang berkuasa (sudut pandang patriarki), kegiatan riil sehari-hari, dan organisasi kerja keseharian yang menopang keberadaan kelas penguasa (patriarki) dan kekuasaannya tidak terlihat. Jadi dari sudut pandang patriarki, aktivitas sehari-hari perempuan yang menopang keberadaan seluruh sistem patriarki dianggap tidak perlu, tidak ada artinya, bahkan tidak ada. Padahal, posisi yang menyangkut hal-hal rutin seperti pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak merupakan posisi yang diduduki perempuan. Posisi ini menopang dan memungkinkan laki-laki menguasai dunia konseptual yang abstrak. Oleh karena itu, berdasarkan logika patriarki atau ilmu sosial tradisional, perempuan yang memasuki dunia konseptual seperti misalnya menjadi peneliti atau intelektual ilmu sosial harus melepaskan diri dari konteks yang berkaitan dengan semua hal yang dilakukannya sehari-hari.

Yang diusulkan oleh Smith (1987:84) adalah agar peneliti perempuan memiliki standpoint yang spesifik perempuan. Artinya, ia tidak boleh melepaskan diri daro locus kehidupannya sehari-hari. Sebagai peneliti feminis, ia harus menjadi subyek yang memiliki kesadaran ganda (bercabang). Di satu sisi ia memiliki kesadaran tentang dunia yang dialaminya (di dalam tubuhnya), dan di sisi lain ia juga memiliki kesadaran tentang dnia abstraksi yang berada di luar eksistensi dirinya. Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan yang cukup kompleks ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh Stanley (1990: 34) sebagai berikut:

Peneliti feminis harus selalu melihat perempuan sebagai pihak yang secara aktip ikut membentuk sekaligus menginterpretasi proses dan hubungan sosial yang ada di dalam realitas keseharian mereka.

Dengan kata lain, untuk memiliki standpoint yang sama dengan obyek yang diteliti, seorang peneliti feminis harus berada pada posisi yang sama kritisnya dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya sedang diamat. Standpoint perempuan adalah suatu metode yang ketika dipakai untuk mencari tahu tentang sesuatu hal akan memberikan ruang kepada subyek, yang selama ini ditiadakan, beserta pengalaman-pengalaman riilnya yang dianggap tidak pernah ada. Dengan metode ini subyek dan pengalaman-pengalaman itu diungkapkan dengan menghadirkan pelaku perempuan yang berbicara sendiri tentang pengalaman riil keseharian mereka.

Menjadi makin menarik untuk dikaji lebih dalam, ketika realiatas sosal tentang perempuan madura dalam beberapa pene­ litian tentang status dan peran perempuan madura menunjukkan hasil yang beragam. Perbedaan sudut pandang dan metodologi dalam mengkaji realitas sosial pada masyarakat dan budaya madura itu yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berbagai penelitian menunjukkan adanya perbedaan pendapat dan kontroversi tentang status dan peran perempuan madura.

Di satu sisi menujukkan kondisi status dan peran peremuan adura yang terkooptasi, subordinasi dan kuatnya kekuasaan patriarki yang melingkupi hudupnya. Sedang di sisi lain menunjukkan perempuan madura memiliki kekuasaan yang besar dan status yang tinggi, baik dalam masyarakat luas maupun keluarga, melalui partisipatif aktif mereka dalam kegitan produktif dan didukung oleh budaya matrilokal. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yang menarik untuk diteliti berkaitan dengan perempuan madura “megada” ditengah himpitan budaya matrilokal dan kekuasaan patriarkat. Adanya perdebatan dan kontroversi yang terus berkembang itu menandakan bahwa masih adanya aspek-asek menarik yang perlu di kaji lebih lanjut

Beberapa penelitian yang berkaitan dengan keberadaan perempuan madura tersebut terlihat dalam bebrapa kajian berikut:

Penelitian tentang perempuan Madura pernah diteliti oleh Imam Zamroni (2011). Zamroni dalam penelitiannya tentang sunat perempuan madura (Belenggu Adat, Normativitas Agama, dan Hak Azazi Manusia) dipublikasikan dalam Jurnal karsa pada tahun 2011.

Penelitian dimaksudkan untuk menggambarkan tentang the Famale Geneital Mutulation (FGM) di Madura yang difokuskan pada tiga persoalan, yaitu tradisi lokal, norma keagamaan, dan hak asasi manusia. FGM telah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya di Madura sebagai tradisi lokal dan dorongan keagamaan. ia menjadi kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap perempuan. Lebih dari itu, setelah perempuan Madura masuk agama Islam, kyai sebagai pemimpin keagamaan lokal memberikan kontribusi yang kuat bagi pelaksanaan FGM di Madura, yakni dengan memberikan pembenaran dari sisi keagamaan-keislaman.

Tulisan bersa,bung:

Perempuan Madura:“Mengada” Ditengah Himpitan Budaya Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat (1)

Perempuan Madura:“Mengada” Ditengah Himpitan Budaya Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat (2)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.