Perempuan Madura: “Mengada” Ditengah Himpitan Budaya Matrilokal dan Kekuasaan Patriarkat (1)

 

Farida Nurul Rakhmawati

Berbicara tentang Madura, tidak bisa terlepas dari perbincangan tentang perempuan madura. Hal ini menarik untuk dikaji ketika masyarakat Madura yang dikenal menganut pola residensi matri­ lokal, tetapi sistem kekerabatan yang dianutnya adalah sistem bilateral dengan pola kekuasaan patriarkat (Henfi,2012). Di Madura, pengaruh luar, terutama Islam, tidak menyebabkan perubahan pada pola residensi, justru perubahan terjadi pada pola kekerabatan dan relasi kekuasaan. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yang menarik untuk diteliti berkaitan dengan “mengada”perempuan madura diantara budaya matrilokal dan kekuasaan patriarkat.

Kedudukan perempuan di madura jelas sekali posisinya. Perempuan memiliki ruang khusus seperti misalnya rumah adalah tempat perempuan. Peruntukan rumah adalah untuk ditinggali oleh kelompok perempuan. Rumah dihuni oleh perempuan dan anak-anak kecil, laki laki dewasa memiliki ruang yang berada di luar dan sifatnya sangat umum seperti misalnya langgar. Rumah adalah milik perempuan, keluarga memiliki kewajiban untuk membuatkan rumah bagi anak perempuan.

Dalam kekerabatan memang beberapa ahli menyebutkan bahwa Madura mengikuti pola matrilinieal dan patrilineal (Man­ surnoor, 1998). Namun kalau melihat beberapa fakta seperti pembagian ruang, fungsi ruang, pemilikan rumah, kebiasaan tinggal dalam keluarga, masyarakat Madura dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang menganut paham matrinelial. Penempatan posisi rumah berurut sesuai dengan urutan susunan keluarga, berdasarkan garis perempuan atas kelahiran atau waktu pernikahan. Rumah hanya dipakai untuk menerima tamu perempuan. Sementara untuk ruang laki laki berada di langgar.

Kepemilikan rumah jelas sekali adalah milik keluarga perem­ puan. Karena pembangunan rumah oleh perempuan, jadi apabila terjadi perceraian maka pihak laki lakilah yang harus keluar. Prinsip ini sangat jelas terlihat pada kebiasaan atau aturan yang berlaku, yaitu saat seorang laki laki menikah maka laki lakilah yang akan tinggal bersama di dalam lingkungan keluarga perempuan. Laki laki adalah pihak luar. Sistem yang demikian menurut Kuntjaraningrat (1980) disebut sebagai adat uxorilokal. Uxorilokal adalah sistem kekeluargaan dalam satu tempat dihuni oleh satu keluarga senior dan keluarga batih dari anak anak perempuannya.

Dari pertimbangan tersebut jelas sekali bahwa masyarakat Madura dapat dikelompokan kepada masyarakat yang sebenarnya mengikuti pola garis keturunan ibu, atau mengikuti paham matri­ lineal. Namun selanjutnya sistim ini berubah dengan hadirnya pengaruh Islam yang secara tidak langsung sedikit banyak ber­ singunggan dengan paham patrilineal.

Beberapa penelitian menunjukkan meski perempuan madura memiliki kekuatan ekonomi dengan kepemilikan pemukiman tanean lanjeng, namun masih kuatnya budaya patriarki yang meng­ hegemoni masyarakat madura pada umumnya berimplikasi pada rendahnya akses posisi dan peran perempuan dalam keluarga khususnya dalam pengambilan keputusan. Realitas sosial ini merupakan konstruksi sosial budaya masyarakat

Rahmawati (2012) mengungkap data tentang harapan orang tua di Madura terhadap anak-anaknya berdasarkan jenis kelamin. Harapan terhadap perempuan, meski ia disekolahkan, tetap bersifat domistifikasi peran, sementara harapan terhadap laki-laki lebih didorong ke peran-peran public atau peran di luar rumah. Harapan di atas hampir menjadi memori kolektif masyarakat Madura yang direproduksi secara terus-menerus ketika “membayangkan” anak perempuannya. Dengan demikian, domistifikasi peran perempuan sebenarnya sudah ada sejak dalam pikiran atau dalam “angan-angan social” masyarakat Madura.

Ucapan “jha’ gitenggi asakola, dagghi’ badha e dapor keya” yang dialamatkan bagi perempuan bukan sekedar ucapan yang tidak memiliki efek kuasa apa-apa. Ia sebenarnya pantulan dari kuatnya budaya patriarkhi masyarakat Madura yang menekan perempuan untuk tetap di ruang domistik. Budaya kawin muda dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan, termasuk dalam pendidikan, berangkali akan lebih tajam jika dilacak dari sini. Kadang ada benarnya juga jika dikatakan, kebudayaan Madura sebenarnya tidak ramah bagi perempuan.

Masih berkaitan dengan perempuan madura, Rahmawati (2011) mengungkapkan kearifan lokal Perempuan Madura yang melekat dalam siklus hidup Perempuan Madura mulai dari fase remaja, menjadi istri, dan merawat rumah tangga. yang ditanamkan nenek moyang sejak dini pada perempuan Madura, terkungkung dalam hegemoni budaya partriarki. Rahmawati (2011) mengungkapkan pembatasan aktivitas aktualisasi diri dalam bekerja untuk tidak boleh melebihi suami membuat etos kerja tinggi perempuan Madura hanya sekedar terwujud dalam aktivitas membantu suami bekerja berimplikasi pada kurangnya akses dalam pegambilan keputusan khususnya dalam hal perekonomian keluarga. Padahal potensi ini sangat kuat dimiliki perempuan Madura.

Dalam penelitian ini, Rahmawati (2011) berhasil mengungkap bahwa Hegomi budaya patriarki yang melekat pada kearifan lokal Perempuan Madura termanivestasi dalam 3 konsep adhandhen, arembhi’ dan amasak yang harus dilakoni oleh seorang Perempuan Madura. Secara garis besar kearifan lokal Perempuan Madura yang terlihat dalam siklus kehidupannya dalah Perempuan Madura harus bekerja keras, tidak boleh malas, mengabdikan hidupnya untuk keluarga dengan cara merawat diri, merawat keluarga.

Ada apa dengan perempuan madura? Pemaparan diatas nampaknya dapat menjelaskan apa dan bagaimana perempuan madura dalam kultur budayanya. Menilik apa dan bagaimana perempuan Madura dalam kultur budayanya menjadi menarik bila ditinjau dari filsafat mengada dari perspektif feminis untuk mengungkap “mengada”perempuan madura diantara budaya matrilokal dan kekuasaan patriarkat. Hal ini bisa diamati dan dikritisi dalam pengalaman subyek (perempuan madura) tentang prilaku sosial dan komunikasi perempuan madura serta kedudukan dan relasinya dengan laki laki madura dalam kehidupan keseharian mereka.

“Mengada, Memanusiawi sebagai bentuk Kesadaran Kar­ tinian”

Apa artinya mengada? Manusia adalah manusia ketika mengada. “Aku berpikir maka aku mengada”, kalimat Descartes ini menjelaskan keberadaan manusia adalah akal budinya. Manusia adalah manusia ketika dia hidup,berpikir. Ketika dia sudah mati, sudah tidak memiliki akal budi, ia bukan manusia lagi (Riyanto, 2013:16)

Setiap manusia adalah manusia dengan akal budinya, maka realitas “subjek” bukan karakter manusia, melainkan mengada dari manusia. Jadi Subjektivitas identik dengan being manusia. Menurut Descartes manusia yang hidup selalu harus dikenali sebagai manusia dengan akal budinya. Dan ketika akal budi itu berpikir, ia sedang memanusiawi.

Ketika manusia tidak meragu ragukan, ketika tidak pernah bertanya dan mempertanyakan, ketika dirinya tidak pernah sangsi akan apa pun, ketika membiarkan dirinya tenggelam ke dalam kolam kepalsuan, ketika itu dia tidak berpikir. Dan tidak berpikir, menurut Descartes sama dengan tidak memanusiawi, tidak mengada.(Riyanto, 2013:17)

Heidegger merefleksikan mengada dari perspektif fenomeno­ logis. Perspektif ini memberi porsi hebat kepada pengalaman keseharian manusia. Hidup sehari –hari bukan momen momen yang berlangsung tanpa makna. (Riyanto, 2013:43). Dalam Heidegger mengada­ merupakan penziarahan terus menerus manusia yang ha­ nya kematian mampu menghentikannya. Tidak ada momen dalam keseharian manusia lenyap dari pendakian penziarahan. Manusia tidak pernah sama setiap hari, ia berubah, berkembang, menjadi, memanusiawi. Being manusia tidak dimaknai sekedar keberdaan-nya. Being atau mengada identik dengan memanusiawi dalam kes-ehariannya (Riyanto,2013:43)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.