Di dalam orkes dahulu, yang mungkin tidak berisi kerca (simbal-simbal kecil dari logam) di atas, mungkin saja bagian itu dimainkan oleh tongtong secara khas, tanpa alat pengiring lain. Karena pekeng tidak selalu tersedia, peranannya digantikan oleh sempritan bersuara keras yang memainkan [ostinato] terdiri dari tiga titinada (Cth. 4).
Formula itu mirip dengan contoh yang diberikan oleh Kunst dengan nama gending Munggang atau gending Lokanonta (1973: 259) dan gending Kodok ngorèk sebagai formula pembukaan (1973: 263). Komposisi-komposisi gamelan itu (ghendhing) dimainkan dengan gamelan kuno milik keraton Yogyakarta, Solo, atau kaum bangsawan Jawa Tengah yang dianggap keramat dan asal-usul dari orkes yang lebih besar dan lebih baru. Mengenai motif bertitinada tiga di atas, Kunst (1973: 260) menuliskan: “Kita agaknya di sini berhadapan dengan ‘motif’ Indonesia kuno karena saya telah menemukan melodi Munggang yang sama ini di dalam suku Lio di Flores Timur.” Bagaimanakah kini motif semacam itu dapat ditemukan di dalam orkes tongtong keliling yang kecil itu?.
Penambahan alat perkusi rendah dan keras pada tongtong yang pada awalnya berdiri sendiri itu pasti telah membuat orkes ini lebih mempesonakan, hingga bergaya mars perang. Kini yang menonjol adalah bunyi kerca dengan latar belakang suara rendah dan dalam dari ghendhang dan tempayan; sedangkan tongtong terdengar sebagai bunyi pinggiran, bak sulaman ritmis ringan paduan ritme-ritme dari alat perkusi bersuara rendah. Bunyi perkusi ini kadang-kadang mirip deru tambur militer atau genderang pipih barat, sehingga dapat dipahami gairah yang ditimbulkannya.
Ketika beberapa rombongan berpapasan dan masing-masing bersikeras untuk meneruskan pola perma- inannya, mereka betul-betul bertarung dalam bunyi dan berusaha untuk mem- pertahankan keterpaduan ritmis dan temponya masing-masing di hadapan serangan bunyi serupa dari pesaingnya yang ketika itu dianggap sebagai lawan dan bahkan musuhnya. Patut dicatat di sini bahwa istilah moso (musuh) digunakan untuk menyebut lawan itu, yang dapat menjadi lawan bertarung sesungguhnya bila perkelahian timbul pada kesempatan acara musik itu.
Rombongan yang sudah terpadu dan tegas iramanya cenderung bermain dengan sekuat tenaga dan pemainnya akan berteriak-teriak, bersiul-siul, menjerit-jerit atau bahkan meledakkan petasan yang semuanya menambah kesan dan pesona barisan tempur yang maju perang tak tertahankan, tak terkalahkan, didukung oleh dentuman rendah dan keras yang berderu menggulung melenyapkan segala hambatan. Ketika rombongan-rombongan memadukan permainannya hingga menjadi satu, gairah memuncak, dan yang paling muda dapat berteriak gembira.
Di saat-saat seperti itu, improvisasi yang pada umumnya tidak lebih dari satu atau dua menit lamanya (khususnya karena mengangkat instrumen yang kadang-kadang berat sekali sepanjang jalan bukanlah hal yang mudah) dapat berlangsung selama belasan menit. Mengikuti sejenis ilham musik, para pemain hanyut di dalam suara kolektif dan tidak lagi perlu bersusah payah membangun, mengisi, atau mengikuti iramanya. Saat-saat yang paling sempurna dari segi musik adalah dihasilkannya suatu campuran ritme bersinkope yang seimbang, selaras dengan irama langkah rombongan yang berjalan bergegas. Di bawah ini diberikan dua contoh rombongan pemain yang berlalu-lalang di Batuputih pada malam hari tanggal 14 Mei 1986:
- Gedang-Gedang, yang terdiri dari tiga belas penabuh: tujuh ghendhang (tiga di antaranya dibuat dari kulit kambing atau sapi dan empat dengan ban dalam), tiga tongtong perreng dan tiga tempayan;
- Rombongan Juruan Daya, yang terdiri dari dua puluh pemain: tujuh ghendhang, dua tongtong perreng, tujuh tempayan, dua kerca, dua kennong (gong berbentuk periuk, yang hanya berbunyi satu titinada).
Orkes yang telah saya teliti beranggotakan tujuh sampai empat puluh pemain. Dapat dicatat proporsi rendah tongtong perreng: meskipun alat itu merupakan asal-usul orkesnya, ia sedikit demi sedikit digantikan oleh perkusi yang lebih “ampuh”, yaitu lebih keras, seperti ghendhang dan tempayan yang sebenarnya lebih cocok digunakan untuk “menantang” daripada untuk mengiringi arak- arakan.
Evolusi Penggunaan Instrumen
Tongtong tak syak lagi adalah suatu instrumen yang sangat kuno. Kunst (1973: 106) berpendapat bahwa sebagian besar alat musik bambu berasal dari jaman pra-Hindu. Kemudian jauh (1973: 110-111), dia memberikan contoh instrumen yang disebutkan di dalam karya sastra zaman Hindu:
Pada instrumen yang dikenal melalui sejarah periode Jawa Tengah, penggalian atau candi-candi dari Jawa Timur, harus ditambahkan sejumlah instrumen yang dikenal dari sumber sastra, yang tak diragukan lebih tua beberapa abad dan dapat dipastikan berasal dari zaman pra-Hindu. Misalnya […] kentongan bambu bercelah yang dinamai kulkul (Sudamala), titir (Smaradahana) [1135] dan kukulan di (Bharata Yuddha) [1157
Berdasarkan data lama yang dilengkapi dengan data lapangan yang baru, saya memberanikan diri untuk menawarkan interpretasi evolusi historisnya sebagai berikut. Tongtong awal adalah alat kendang penanda bahaya bagi sesuatu masyarakat tertentu. Alat tunggal, digantung di satu tempat di desa dan tidak dipindah-pindahkan, tongtong itu mungkin agaknya jauh lebih besar daripada tongtong yang kita kenal sekarang, dan terbuat dari bahan yang lebih berat, seperti kayu atau logam.
Di Jawa dan kadang-kadang di Madura, pos keamanan kecil yang tersebar di perdesaan masih menggunakan tongtong gantung sebagai alat penanda bahaya yang pukulannya mengikuti kode yang berbeda-beda menurut bahaya yang diwartakan. Di daerah Batuputih, tongtong itu masih ada sebagai “tongtong keluarga” tertentu dan digunakan pada kesempatan tertentu seperti gerhana bulan. Tongtong itu hanya berfungsi sebagai alat penanda bahaya dan tidak pernah digabungkan dengan tongtong lain untuk menyusun ritme musik.
Dia adalah alat pembuat bising yang digunakan untuk membangunkan makhluk hidup, baik manusia maupun binatang piaraan, pada waktu gerhana, ketika bulan disebut gherring (sakit). Pada waktu itu, setiap keluarga keluar ke pekarangan dan membuat suara ramai; ada yang memukul- mukul kerangka kayu rumah atau pepohonan di sekelilingnya, sementara yang lain membunyikan “tongtong keluarga”. Tongtong di dalam hal itu tetap mempertahankan fungsinya sebagai kendang penanda bahaya karena saat itu dianggap berbahaya untuk makhluk hidup karena mungkin berarti kesengsaraan nanti. Kunst (1973: 192) mencatat bahwa asal-usul istilah tongtong, yang tidak digunakan lagi di Jawa tetapi tetap ada di Madura, paling sedikit harus dicari sekurang-kurangnya pada zaman Hindu:
Tambur bercelah atau blok penanda bahaya lebih kuno serta lebih banyak jenisnya karena lebih murah-daripada instrumen yang terbuat dari logam. Jika dari kayu, instrumen itu disebut kentongan, dan jika dari bambu, disebut tètèkan. Istilah yang lazim digunakan di dalam bahasa Belanda, yaitu tong tong, kini agaknya jarang digunakan oleh orang Jawa sendiri, meskipun lazim di pakai pada zaman Hindu-Jawa untuk kentongan [dari perunggu?].
Lalu penggunaan pattrol (istilah ini dipinjam dari bahasa Belanda; namun apakah sudah ada sebelum zaman Belanda?) telah melahirkan cabang lain, yaitu orkes tongtong. Para petugas ronda perdesaan, yang sering disebut di dalam berbagai kisah zaman kolonial+2, menyesuaikan alat penanda bahaya itu dengan fungsi yang baru. Sebagai alat pengiring arak-arakan, instrumen itu dibuat dengan bahan yang lebih ringan, yaitu bambu, dan dengan ukuran yang lebih memudahkan pengangkutan.
Melalui penggabungan dengan berbagai ins- trumen, lahirlah repertoar ritme yang jauh lebih rumit dan beraneka ragam, Yang akhirnya menjadi suatu campuran ritme yang dapat kita dengarkan sekarang pada orkes tongtong. Banyak orang Madura masih pakai istilah musik pattrol atau pattrol kalèleng (patroli keliling), ataupun ronda untuk orkes keliling yang aktif pada malam-malam sewaktu bulan Ramadhan. Setelah pattrol tidak ada lagi, orkes itu telah mendapat fungsi baru, yaitu untuk membangunkan orang yang berpuasa.
Akhirnya kini, setelah diambil alih oleh para pemuda dan dijadikan lambang bunyi geng yang saling bersaing, orkes ini cenderung menjadi hiburan, pelepas lelah, dan dimainkan pada jam-jam yang kurang sesuai dengan kewajiban bulan Ramadhan, yaitu pada waktu orang yang berpuasa tidur, dan tidak lagi berfungsi untuk membangunkan mereka menjelang saor.
Akhirnya, di luar bulan Ramadhan, orkes tongtong juga adakalanya digunakan untuk perayaan resmi tertentu (misalnya pada hari ulang tahun Golkar) atau oleh gerakan seperti Pramuka. Digolongkan sebagai contoh “kesenian daerah” atau “kesenian tradisional”, orkes itu dapat mengiringi kegiatan yang padat dengan pidato, atau berfungsi sebagai musik untuk anak- anak, sesuai dengan dinamisme ritmenya yang relatif mudah dibentuk.
Di sini harus disebutkan sejenis tongtong perreng dengan suara keras yang khas, yang digunakan di dalam teater loddrok. Terbuat dari akar bambu yang dilubangi dan bercelah, tongtong itu berbentuk seperti buah labu yang bengkok dan berbentuk umbi. Tongtong itu juga berfungsi sebagai alat pemberitahuan, baik untuk para pemain maupun para penonton: sebagai penanda turunnya atau terangkatnya tirai, menimbulkan efek khusus, masuknya pemain berbahaya atau penting ke pentas, dan untuk meningkatkan ketegangan suasana.
Alat itu kadang-kadang digunakan juga untuk menonjolkan irama pada sebuah lagu atau sebuah komposisi instrumental. Fungsinya agak mirip dengan fungsi kepprak yang digunakan dalam teater topeng. Tongtong yang digunakan oleh rombongan loddrok dari Saronggi secara gamblang menyiratkan lambang seks: celahnya melambangkan lubang kelamin perempuan dan batang kayu pemukul diukir melambangkan batang kelamin laki-laki. Tongtong yang digunakan oleh rombongan dari Batuputih berupa burung kakatua, serupa burung yang dilihat oleh salah seorang anggotanya di Pulau Masalembu. Saya tidak pernah melihat tongtong berwujud figuratif lainnya.
Pasangan Brandts Buys-van Zijp mencatat (1928: 96) perihal lenyapnya tongtong yang berwujud binatang, seperti yang mereka perlihatkan pada halaman 91 di mana terdapat sketsa dua tongtong, yang satu ujungnya berbentuk kepala manusia dan yang lain badannya serupa ikan, mengikuti bentuk akar bambunya.
*****
Tulisan ini diangkat dari buku “Lèbur, Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura”, Penulis: Hélène Bouvier, Yaysan Obor Indonesia (2002)