Marlena, Menuju Dunia Baru

Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk  buku,

Episode Dua Puluh Lima

Madura telah jauh ditelan ombak. Kapal Motor Laut Kerinci yang ditumpangi sepasang pengantin baru itu bergerak tenang menyusuri celah-celah gelombang, yang mendeburkan rasa haru, bangga, bahagia dan sisa kenangan yang menujum di antara laut dan mimpi-mimpi mereka.

“Kita naik kapal laut saja,” usul Marlena ketika menjelang berangkat menuju tanah seberang setelah pelaksanaan hari pernikahannya.

“Terlalu lama Lè’ Lena, kita naik pesawat saja,” saran Taufik yang kini telah menjadi suami Marlena. Panggilan Lè’ (alè’ : adik) pada istri biasa diucapkan pada suami Madura.

“Tidak. Ini merupakan kesempatan terakhir kali bagiku untuk menikmati segarnya angin laut,” tegas Marlena.

Keinginan itu pun akhirnya dipenuhi, meskipun perjalanan melalui laut akan memakan waktu lama dan melelahkan.

Dari atas geladak kapal itu, Marlena dengan sepuas-puasnya menikmati angin laut yang semasa kecil sampai remaja telah menjadi bagian dari hidupnya. Dan setelah itu, kenikmatan angin laut secara perlahan ditinggalkan.

“Jangan selalu di luar, nanti masuk angin,” kata Taufik melihat istrinya itu bertahan lama di tempat terbuka, di buritan kapal.

“Ia, Ka’. Sebentar lagi aku masuk,” alasan Marlena yang sebenarnya lebih nikmat memandang laut lepas. Panggilan “ka’” (kakak) pada suami menjadi kebiasaan bagi perempuan Madura.

Memandang laut lepas bagi Marlena, bagaikan memandang masa silam yang penuh dengan pergulatan. Seperti ombak, ia pernah menggulung nasib dan dilumat oleh kurun waktu dari suatu tempat jauh dari tatapan matanya. Laut, ombak dan pantai yang telah melahirkan sebongkah harapan dari seorang wanita Madura, kini telah kembali menikmati kelahirannya dari kedalaman laut hatinya. Menikmati laut berarti menikmati masa silam. Masa silam yang menayangkan wajah-wajah berpelepotan darah perjuangan panjang dari seorang anak nelayan miskin dan yatim piatu. Perjalanan panjang seberkas sinar mutiara, yang terpendam di dalam pasir, pesisir Pantai Lebak. Perjalanan matahari, perjalanan bulan dan perjalanan waktu yang semakin memburu, terus diikuti sesuai dengan rotasinya.

Tiba-tiba tanpa terasa genang air mata Marlena menetes satu demi satu. Air mata penyesalan, kebanggaan bagi seorang wanita yang diasuh oleh musim dan waktu.

“Ingat Len, sejauh mana pun kau berada, kau masih tetap orang Madura,” kesan kakak angkatnya Fatimah menjelang keberangkatannya itu.

“Yah, Madura tidak akan lepas dari jiwaku. Karena Madura adalah jiwaku,” semangat Marlena dalam batin seraya memperhatikan buih-buih arus yang menampar dinding kapal.

Matahari semakin surut ke gerbang barat. Sehingga bias kuning kemerahan nampak tegas membilas bintik-bintik buih yang terpercik dari gencar ombak. Dan kini biru laut telah berubah warna biru legam, seakan di dalamnya tersimpan seribu malam.

“Ayo, masuk dulu. Angin telah makin beku, nanti kau kedinginan karenanya,” kata Taufik seraya menggamit tangan istrinya menuju ke dalam. Marlena menurut kehendak suaminya, meskipun ia belum selesai menikmati keremangan senja di atas laut lepas.

Selama perjalanan laut ini, terasa tak ingin dilaluinya. Entah berapa waktu lama perjalanan ini, namun Marlena tak ingin menghitungnya. Waktu di laut baginya, sama artinya menenun waktu sepanjang hidupnya. Karena dari lautlah, bagi Marlena kehidupan itu makin nyata dan terbuka.

Ketika fajar pagi mulai memuncak, deru mesin kapal makin lirih. Terdengar hirup pikuk orang-orang di luar kapal berkerumun memcari arah pandang ke satu arah, kapal yang ia tumpangi.

“Telah tiba, dikehidupan baru,” batin Marlena.

Ketika kaki Marlena menginjak pelabuhan, lalu tersadar bahwa dirinya telah terbawa arus waktu dan untuk selanjutnya waktu-waktu baru akan dilaluinya dengan penuh harapan. Sesaat Marlena memperhatikan hilir mudik perahu-perahu yang melintas di sekitar pelabuhan itu, hatinya kembali bergetar seakan dirinya berada di Pelabuhan Kamal yang setiap saat diinjaknya ketika pulang dari tempat perjuangannya waktu lalu. Isyarat ini timbul, lantaran butir-butir kenangan itu terasa melekat seperti laut yang selalu lekat dengan pantainya.

“Kita langsung ke tempat tujuan,” ujar Taufik tergesa.

“Biarkanlah aku menikmati pelabuhan ini dulu,” pinta Marlena.

Akhirnya Taufik mengalah. Ia biarkan istrinya menikmati suasana pelabuhan itu dengan penuh semangat dan perhatian.

“Suasana di sini berbeda dengan suasana di Pelabuhan Madura,” komentar Taufik.

“Ia, namun hakekatnya sama.”

Marlena terdiam.

“Kau terbawa arus perasaanmu.”

“Ya, karena suasana seperti ini telah menggerakkan hatiku mengenal arti perjuangan,” desahnya lirih.

Beberapa orang buruh di pelabuhan sibuk mengangkut barang bawaan penumpang kapal. Seperti pasar kecil begitu ramainya penyambutan warga menyongsong sanak keluarga dan kerabatnya  yang turun dari kapal. Sementara dalam  pandangan yang beda, sejumlah buruh angkut ikan mengangkut tangkapan ikan dari perahu-perahu yang tertambat di bibir pantai. Kesibukan itu merebak kembali pada kurun waktu ketika ayah kandungnya Bruddin bersiasat mempertahankan hidup untuk dirinya dengan bergulat melawan waktu sebagai buruh angkut ikan sewaktu di kampung Lebak dulu.

“Orang pantai semua sama,” kesan Marlena.

“Karena di situ mereka bertaruh untuk hidup,” sahut Taufik

“Yaaah, bertaruh untuk hidup dan bertaruh untuk mati.”

Lalu benak Marlena ingat kembali pertaruhan hidup yang dilakukan oleh nenek moyangnya, orang tuanya, tetangganya ketika bertaruh melawan ombak samudra.

“Mereka adalah pejuang-pejuang laut,” ungkap Marlena seraya menyandarkan tubuhnya di bahu Taufik. Taufik terus mengikut arus keinginannya.

Matahari makin berpendar di atas pelabuhan. Siang mulai menyusup.  Terik matahari mulai garang seakan-akan melumat-hanguskan seisi pelabuhan itu. Namun Marlena coba bertahan, walau akibatnya kulit kuning tubuhnya terasa disengat panas dan legam.

“Perjalanan kita masih lama. Kita harus sampai sebelum malam tiba,” ajak Taufik. Dan Marlena mengikuti kehendak suaminya itu.

“Berapa lama kita di perjalanan.”

“Tak sejauh Kamal-Sumenep.”

Hijau pepohonan melintas-lintas, bagaikan semburat warna sejuk menipis celah-celah kaca mobil yang ditumpangi suami istri itu. Kadang di hadapannya tampak sungai-sungai yang mengalirkan air harapan dari celah-celah hutan di samping kanan-kirinya jalan yang mereka lalui. Dan di sungai itu pula masih ditampakkan perahu-perahu kecil yang dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas kehidupan keseharian warga sekitarnya. Suasana yang sangat kontras bila Marlena menikmati suasana dataran Pulau Madura. Namun demikian, Marlena mengait-ngaitkan kesamaan-kesamaan di antara suasana itu, sehingga merasa terhibur karenanya. Akhirnya ia tertidur kelelahan tersandar di bahu Taufik.

Ketika pertama kali Marlena menginjakkan kakinya di tanah baru itu. Marlena hampir tak percaya, bila saat ini ia telah menjadi salah seorang penduduk baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Pada awalnya ia merasa asing, namun setelah ia tahu bahwa menjelang memasuki rumah yang bakal didiami, di situ telah siap para penyambut kedua pengantin itu dalam suasana ceria.

“Selamat datang di tanah rantau Bu Lurah,” sapa seorang gadis remaja yang tampak antusias menyambut kehadiran Marlena.

“Terima kasih, terima kasih, dik,” sahut Marlena dengan perasaan tulus dan bangga.

“Bu Lurah,” batin Marlena sesaat kemudian. Sebutan yang sangat sederhana, namun memiliki arti agung dan terhormat bagi warga desa ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.