Orkes Okol, Musik Pengiring Lomba Merpati

Komposisi

Orkes itu, yang khas daerah pedalaman dan daerah bagian timur Kabupaten Sumenep, terutama di Batuputih dan Batang-Batang, biasanya mengiringi acara perlombaan merpati, acara pertarungan (kèket atau okol), acara adu rotan ritual (ojhung) yang merayakan hari ulang tahun penemuan suatu mata air atau untuk memohon hujan ataupun untuk acara non-ritual.

Okol adalah orkes kecil dengan jumlah pemain yang berbeda-beda, tetapi saya sendiri hanya menyaksikan permainan dari orkes yang terbuat dari sebuah xylofon bersama dua atau tiga kentongan. Namun dua instrumen lain (yaitu sepasang simbal kecil dari logam dan sebuah suling bambu), serta nyanyian juga terdapat pada rombongan Sapo’ Alam (“Penutup Alam”, yaitu kiasan langit), dari Batang- Batang. Orkes itu yang terlengkap di antara yang pernah saya lihat, disebut juga dhungdhung oleh anggotanya. Didirikan pada tahun 1946, orkes itu terdiri dari:

  • Tiga kentongan bermotif dekorasi merah, hitam, dan putih di pinggir celah dan di kedua ujungnya. Instrumen itu diletakkan terlentang di tanah, dengan bagian bawahnya dipasangi gumpalan karet ban supaya stabil. Salah satu kentongan itu dari kayu tarèbung (Borassus flabellifer L.) yang berbentuk kurang lebih lonjong dan berukuran sedang (panjangnya 90 cm, lingkarannya 135 cm) dan disebut egghung oleh para pemain. Di satu lambung huruf KLP (konsonan dari nama desanya Kolpo’) tertulis dengan paku-paku.

Di lambung lain tertulis nama “Sesapo“, yang mengacu pada nama rombongan (Sapo’ Alam). Pemainnya duduk di belakang ujung instrumennya yang runcing dan memukulnya dengan sebuah palu (bhu-tabbhu) dari kayu dhadhap (Erythrina variegata L.) yang ditempeli sol sandal dari karet untuk meredam pukulannya. Kedua kentongan yang lain terbuat dari kayu kelapa (nyèyor: Cocos nucifera L.). Yang satu satu berukuran 120 cm panjangnya, 2 meter lingkarannya dan yang lain berukuran lebih kecil (73 cm panjangnya, 116 cm lingkarannya) daripada egghung yang disebutkan di atas.

Instrumen itu dinamai ghendhang. Palunya juga terbuat dari kayu dadap (dhadhap): palu yang menyertai ghendhang paling kecil tidak disalut karet sehingga pukulan lebih terang untuk ghendhang yang suaranya lebih tinggi. Kedua ghendhang, yang dipasang secara berderet itu, ditabuh oleh seorang penabuh saja yang duduk di belakang ujung runcingnya dan memegang sebuah palu di setiap tangan;

  • Sebuah xylofon yang disebut ghambhang. Keempat bilahnya (dari 18 sampai 32 cm) terbuat dari kayu baru (Hibiscus tiliaceus L.), berderet secara horisontal di atas kotak dari kayu sukun (sokon: Artocarpus communis Forst.). Dua penabuh berhadapan, memukulnya bersama-sama: yang satu memegang satu pemukul, yang lain dua pemukul. Yang terdiri dari dua lingkaran kecil dari kayu baru (5,5 cm garis tengahnya) yang dipasang di ujung sebuah gagang panjang (29,5 cm) didisalut ban. Instrumen itu diletakkan langsung di atas tanah dan para penabuhnya duduk di atas tanah juga.

Di salah satu pinggiran penyangganya beberapa batang logam yang kecil memungkinkan bilah berlubang dimasukkan pada suatu ujung, sedangkan di sisi yang lain batang logam muncul di antara setiap bilah, memeganginya dan sekaligus memisahkan bilah yang satu dari lainnya. Kotaknya berwarna merah dan putih, sedangkan batang pemukul berwarna merah;

  • Sepasang simbal kecil dari besi (pessè) yang disebut kerca. Garis tengah Instrumen itu berukuran 15 cm dan dihubungkan satu sama lain dengan suatu benang;
  • Sebuah suling yang lurus dari bambu (perreng) yang disebut soleng: lubangnya 6, garis tengahnya 1,8 cm dan panjangnya 45 cm.

Perangkat instrumen lain yang juga dibuat di Kolpo’, dan yang mengiringi acara ojhung ritual, hanya terdiri dari sebuah ghambhang berbilah dua belas, terbuat dari kaju baru ditambah dengan dua kentongan yang terbuat dari kayu kelapa dan disebut dhuk-dhuk. Perangkat yang mengiringi suatu acara ojhung non-ritual yang telah berlangsung di pinggir laut di Dungkek, juga terdiri dari sebuah xylofon (milik rombongan Sapo’ Alam dari Kolpo’) bersama tiga kentongan, yang satu dari kayu siwalan dan yang kedua lainnya dari kayu kelapa.  Dengan demikian, komponen dasar orkes okol tampak terbatas pada dua atau tiga kentongan dan sebuah ghambhang. Instrumen itu tersebar di beberapa desa.

Hubungan Antara Instrumen dan Repertoar

Ketika saya bertemu dengan rombongan Sapo’ Alam, para pemainnya menggunakan repertoar yang sangat luas, yang keanekaannya tidak ditemukan pada orkes kecil yang saya pernah dengarkan pada acara ojhung. Apa korpus itu? Interpretasi musikal, peran tiap-tiap instrumen serta organologi mungkin memberikan penjelasan tentang riwayat orkes-orkes itu.

Sebagian besar dari repertoar yang dimainkan oleh Sapo’ Alam terdiri dari judul yang juga ditemukan pada repertoar gamelan: Rarari, Angling, Puspowarno, Walangkéke’, Pan-Sampan, Lanjhalan, Tallang, Ram-èram, Miskalan, Astrokoro, Aya’ Lèma, Cokke’, dsb. Ghendhing itu selalu bersifat melodis, bertempo lamban atau sedang dan dengan struktur ritme yang tidak begitu menonjol. Sebetulnya, pada umumnya para pemain menambahkan suling dan nyanyian. Padahal mereka tidak berbuat demikian pada bagian lain dari repertoar yang dianggap tidak sesuai cocok. Untuk acara burung terbang, selalu dimainkan komposisi Girowan; namanya diambil dari sejenis gending gamelan yang memuatnya juga.

Komposisi musik lain seperti Ba-omba’, Minta Jharan, Bendrung dimainkan dengan kekuatan dan semangat yang jauh lebih besar daripada ghendhing di atas, dan kadang-kadang disertai permainan yang mahir dari ghambhang. Struktur komposisi Ba-omba’ (“ombak”) di dalam interpretasi rombongan Sapo’ Alam dijelaskan di dalam contoh 5. Demikian pula, komposisi yang khusus dimainkan untuk pertarungan ojhung (Ojhung, Penca’) dicirikan oleh satu atau dua rumus melodis yang diulang-ulang, disertai juga pengulangan titinada, tempo yang cepat, beberapa titinada-poros (sering terdiri dari tiga titinada saja, dengan penggunaan yang sama seperti pekeng dari orkes tongtong). Kentongan juga main peranan besar sekali dalam komposisi itu.

Rumus dasar yang dimainkan oleh ghambhang di dalam komposisi Penca’ digambarkan dalam contoh 6. Kentongan dimainkan silih berganti dengan menekankan kalimat musikal melalui bunyi tertahan (seperti gong dalam perangkat gamelan), atau dengan bagian ritmis yang rumit (seperti ghendhang dalam gamelan), ataupun dengan pengulangan bertubi-tubi dan semakin cepat yang lepas dari tempo. Munculnya pengulangan-pengulangan itu membawa intensitas dan pantulan ritmis yang tinggi pada komposisinya mempunyai kekuatan. Lagi pula, cakupan titinada oleh ghambhang jarang digunakan sepenuhnya di dalam komposisi yang seringkali hanya terdiri dari tiga titinada.

Mungkin saja xylofon asli tidak berbilah sebanyak sylofon sekarang; mungkin saja berbagai komposisi itu masih menunjukkan ciri-ciri arkais dalam repertoarnya, yang tidak sesuai dengan penggunaan ghambhang yang memiliki cakupan titinada yang lebih luas. Bagian repertoar rombongan Sapo’ Alam itulah yang sama-sama dibagi di antara berbagai orkes kecil pengiring pertarungan ojhung. Salah satu komposisi yang telah dimainkan pada acara ojhung ritual (20 Januari 1987), di Kolpo’ diperlihatkankan dalam contoh 7.

Apa artinya pembedaan repertoar ini? Tampaknya terdapat dua korpus inspirasi yang berbeda. Yang pertama secara jelas adalah adaptasi dari repertoar gamelan metalofon sebagaimana dikenal di Jawa dan Madura. Dengan melihat kekikukannya, keraguan melodisnya, kerancuan ritmenya, pengungkapan musikalnya memperlihatkan semacam ketidakcocokan instrumen untuk suatu repertoar yang sebenarnya diciptakan bagi orkes metalofon yang besar.

Sebetulnya, alat-alat dari kayu amat sulit disesuaikan dengan repertoar yang dibuat untuk instrumen logam karena logam bergaung dan bergetar lebih lama, yang memungkinkan tempo-tempo yang lebih lamban. Mungkin simbal kecil dan bahkan juga suling dan nyanyian telah ditambahkan akhir-akhir ini oleh rombongan itu yang juga berpentas di luar acara tradisional, misalnya televisi atau untuk Depdikbud. Jika demikian halnya, para pemain okol, yang sudah terbawa proses pengakuan resmi, mencoba memperkaya repertoar dan orkes mereka dengan meminjam unsur-unsur dari gamelan, yang dianggap lebih tinggi gengsinya.

Namun, di bagian kedua korpus di atas, para pemain larut tanpa ragu-ragu di dalam musik instrumennya; kelihatannya, mereka mengungkapkan suatu repertoar yang jelas mereka kenal dan paling sesuai untuk instrumen mereka. Tempo-temponya adalah lebih cepat, ghambhang menerapkan permainan dengan titinada yang waktu bunyinya paling pendek atau mengulang titinada. Cara ini mengimbangi getaran kayu yang lemah dan memberi kesan bunyi yang lebih panjang. Selain itu, harus diingat bahwa kentongan disebut egghung dan ghendhang, mengikuti ketinggian titinadanya dan peran musikalnya, atau juga dhuk-dhuk. Hal ini perlu dikaitkan dengan satu hal lain yang dapat membantu untuk menjelaskan sejarah bagian repertoar itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.