oleh Runik Sri Astuti dan Agnes Swetta Pandia
Jangan mengaku pernah ke Pulau Madura jika belum menjejakkan kaki di Keraton Sumenep. Memadukan arsitektur Jawa, Belanda, dan China, keraton ini satu-satunya pusat kerajaan tradisional di Jawa Timur yang utuh dan kokoh. Obyek ini menawarkan wisata alternatif, di samping eksotika alam dan kehidupan masyarakat ”Pulau Garam” tersebut.
Mengunjungi Keraton Sumenep bukan perkara sulit. Mau kendaraan pribadi ataupun angkutan umum sama-sama bisa mengantarkan masyarakat dari dalam dan luar Pulau Madura ke obyek wisata yang masih terawat dengan apik ini. Hadirnya Jembatan Suramadu, yang membentang di atas Selat Madura, kian memperpendek waktu perjalanan sepanjang 271 kilometer, dari Surabaya ke Sumenep. Waktu tempuh cuma 5-6 jam, lebih singkat 2 jam dibanding sebelum Suramadu dioperasikan.
Keraton yang dibangun Panembahan Sumolo atau Pangeran Nata Kusuma tahun 1762 ini berlokasi di Jalan dr Soetomo, Sumenep. Bangunan itu berada dalam satu kompleks dengan Kantor Bupati Sumenep, Masjid Agung Sumenep, dan alun-alun. Tak jauh dari lokasi keraton juga ada Asta Tinggi, makam raja-raja dengan model bangunan memesona karena diperkaya corak ukiran.
Areal parkir di halaman keraton cukup luas dan teduh. Tidak hanya kendaraan pribadi, bus pun bisa ditampung. Fasilitas ini memberikan keleluasaan bagi pengunjung untuk datang bersama dalam rombongan besar dan rombongan kecil.
Harga tiket masuk ke lokasi wisata hanya Rp 1.000 per orang. Tarif ini mungkin paling murah untuk sebuah obyek wisata. Apalagi, begitu memasuki areal keraton hingga meninggalkan kawasan itu, pengunjung akan didampingi pemandu wisata yang ramah dan kocak. Dengan logat Madura yang sangat kental, pengunjung dijamin tidak akan bosan mendengarkan ceritanya tentang keraton lengkap dengan nilai filosofinya.
Seperti keraton di Jawa, Keraton Sumenep memiliki pintu gerbang utama yang diberi nama Labang Mesem. Pengunjung wajib melewati pintu ini karena kompleks keraton dikelilingi pagar tembok yang hampir tanpa celah. Uniknya, pintu gerbang ini memiliki atap bersusun dengan lantai atas memiliki fungsi ganda sebagai gardu pandang.
Konon ceritanya, dulu sang raja sering naik ke pintu gerbang untuk melihat putri-putri keraton yang parasnya cantik jelita, mandi di Taman Sare, yakni pemandian utama di istana. Letak pemandian berupa kolam yang berisi ribuan ekor ikan ini berada di sebelah kiri dari pintu gerbang Labang Mesem.
Punya khasiat
Pemandian Taman Sare salah satu daya tarik Keraton Sumenep. Air itu bersumber dari air tanah yang menyembur memiliki tiga tangga dengan kekuatan atau khasiat berbeda. Pengunjung hanya diizinkan membasuh muka di tepi kolam yang tentu bisa merasakan khasiatnya jika yakin dan percaya.
Tangga pertama dipercaya bisa membuat orang yang mencuci muka dengan air kolam ini akan awet muda, mendapatkan jodoh dan keturunan. Tangga kedua berkhasiat meningkatkan karier dan kepangkatan.
Adapun tangga ketiga diyakini dapat meningkatkan iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika Anda penasaran, silakan mencoba. Soal hasilnya, serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa.
Apa pun keinginannya, syaratnya adalah harus berusaha dan bekerja keras. Tanpa itu, mustahil bisa meraih sukses. Begitu kata pemandu wisata di Keraton Sumenep yang menemani kami, Mohammad Erfandi, memberi penjelasan dengan logat Madura yang kental.
Menurut pria bertubuh tambun itu, selain pemandian Taman Sare, pohon lanang (laki) yang tumbuh menjulang di sebelah pintu gerbang utama juga dipercaya memiliki tuah. Oleh warga setempat, pohon itu dinamakan bungor karena memiliki bunga berwarna ungu. Pohon dan bunganya dipercaya bisa membantu mereka yang ingin punya keturunan laki-laki.
Pada bagian bawah dari batang pohon yang usianya konon mencapai ratusan tahun ini terdapat semacam ranting yang bentuknya mirip dengan alat kelamin pria. Ranting inilah yang harus dipegang oleh perempuan yang ingin mendapatkan keturunan laki-laki dalam keluarganya. ”Syaratnya, perempuan yang hendak menyentuh ranting itu sudah bersuami,” ujar Erfandi.
Sekitar 100 meter dari pintu gerbang, terdapat pohon beringin raksasa berusia 250 tahun. Daunnya lebat, merindangi sebagian halaman keraton. Letak pohon ini antara pendopo keraton dan lonceng. Lonceng ini pada zaman dulu menjadi alat komunikasi untuk mengumpulkan pasukan dan para punggawa kerajaan. Bunyi lonceng kala itu sesuai perintah dari raja ataupun putrinya.
Di dalam keraton, ada kamar tidur raja bersebelahan dengan kamar tidur putri-putri keraton. Seluruh perabot di dalam kamar masih tertata rapi, seperti tempat tidur raja berdesain khas Madura, kursi panjang dan sebuah cermin. Namun, pengunjung hanya diizinkan mengintip dari balik terali jendela.
Niat khusus
Hanya mereka yang memiliki niat khusus, seperti bersemedi atau shalat dengan tujuan tertentu, diizinkan masuk, dengan syarat tidak boleh menyentuh barang di dalam kamar, termasuk tempat tidur raja. Itu demi menjaga kesakralan kamar raja dan mencegah terjadinya kerusakan pada koleksi benda-benda pusaka akibat terlalu sering disentuh.
Keraton yang pada hari libur dikunjungi sekitar 500 orang per hari ini dulu berlantai marmer. Marmer itu sendiri satu per satu telah hilang tanpa satu pihak pun bertanggung jawab. Banyak perabotan asli juga tidak jelas rimbanya. Sebagian diangkut keluarga raja, sebagian lagi jatuh ke tangan kolektor.
Pemerintah Kabupaten Sumenep, menurut Erfandi, sudah berupaya mengumpulkan kembali benda-benda bersejarah itu. Saat ini koleksi benda yang tersimpan di dalam keraton telah mencapai 1.001 jenis, seperti koleksi peralatan upacara tradisional, alat upacara daur hidup, beragam perhiasan kuno, dan alat meramu jamu tradisional.
Koleksi lain adalah alat kesenian tradisional, keramik China pada abad ke-18 Masehi, aneka senjata termasuk keris pusaka. Tidak ketinggalan sejumlah koleksi arca sisa dari kerajaan hindu di Sumenep.
Pada salah satu lemari kaca terdapat sebuah kitab Al Quran yang ditulis tangan oleh Sultan Abdurrahman, Raja Sumenep ke-30. Sultan menulis kitab suci agama Islam itu hanya semalam. Menurut cerita rakyat, sultan ingin kelak anak cucunya belajar agama Islam dari kitab suci itu.
Pegal rasanya kaki ini setelah berkeliling keraton yang luasnya mencapai 8,5 hektar itu. Namun karena hati gembira, kelelahan sirna dengan semua penjelasan dari sang pemandu selama berada di Keraton Sumenep. Sambil beristirahat sejenak, pengunjung bisa menikmati makanan khas Sumenep berupa soto kikil, tak jauh dari kompleks keraton.
Setelah itu, pengunjung bisa meneruskan perjalanan ke Masjid Agung Sumenep atau beristirahat di hotel. Masjid agung dibangun tahun 1763 oleh Panembahan Sumolo. Masjid itu, satu dari 10 masjid tertua di bumi Nusantara yang memiliki arsitektur nan indah dan khas karena memadukan budaya Islam dan China.
Rudy (40), pengunjung asal Surabaya, takjub akan pesona Keraton Sumenep, kendati dia masih penasaran dengan isi ruangan di dalam keraton, karena cuma bisa diintip dari jendela. Sayangnya, lorong atau selasar menuju rumah dinas bupati dan pendopo keraton dibiarkan sepi. Ah, kalau saja itu dimanfaatkan untuk menampilkan kesenian khas Sumenep, alangkah lengkapnya suguhan bagi pengunjung.
Sumber :http://travel.kompas.com