Marlena, Perkawinan Kedua

Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk  buku,

 Episode Dua Puluh Tiga

“Itulah ayah dik. Ayah khawatir justru dengan harapannya itu takut kau tersinggung dan terpukul karenanya,” ungkap Fatimah menjelaskan.

“Oh.”

“Dan sekarang tergantung pilihanmu.”

Pilihan itulah yang teramat sulit ditentukan oleh Marlena. Ia seakan digiring ke suatu tempat, di mana ia kini terjebak  oleh dua jalan, yang masing-masing memiliki tempat tujuan yang berbeda. Bila ia bertahan dengan prinsipnya, berarti ia akan digolongkan sebagai manusia yang tidak mengerti arti perjuangan seseorang yang memeliharanya. Sebaliknya, bila ia mengikuti harapan ayahnya, berarti pula ia terjebak oleh suatu kebohongan laki-laki sebagaimana yang pernah ia rasakan semasa kanak-kanaknya dulu.

Itulah dilemma yang selalu menghantui Marlena. Di hadapannya yang tampak hanya bias-bias kehancuran, yang mungkin akan membias pula ke seluruh tebing hatinya. Pemikiran itu ternyata sangat mempengaruhi kondisi Marlena. Akibatnya Marlena jatuh sakit.

Kedua kakaknya maklum, bila adiknya itu kini dihadapkan dengan permasalahan yang rumit. Untuk itu, Fatimah selalu menjaga agar Marlena tidak sampai larut oleh kenyataan hidupnya itu.

“Pikiranmu jangan kau paksakan Len. Sebenarnya tidak ada pemaksaan kehendak almarhun ayah. Kalau kau merasa takut dan khawatir, semua itu bisa kau tolaknya,” jelas kakaknya penuh pengertian.

Marlena tidak mampu berkomentar lebih jauh. Hanya matanya menerawang jauh melintasi berbagai waktu dan peristiwa. Peristiwa demi peristiwa dalam hidupnya, satu persatu ia kaji dalam-dalam. Bahkan ia mencoba mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa yang dianggapnya paling berkesan selama itu. Namun semuanya, sama-sama menjebak dalam kondisi terjepit. Ia  berusaha memberikan alternatif terbaik bagi dirinya maupun bagi yang lain. Ternyata alternatif itu sama-sama memberikan arti yang sama.

Dalam suasana terjepit itu, dan sesaat semuanya pulas dalam lelah. Marlena bangkit lalu memasrahkan diri dalam kekuasaan-Nya melalui sholat istiharah. Ia curahkan semua permasalahan yang dihadapi, karena itulah satu-satunya jalan yang terbaik untuk menentukan pilihannya. Hingga ia merasa puas dan khusuk, saat itu pula pikiran dan kenyataan hidupnya telah hilang dalam tidur pulas karena lelah di atas sajadahnya.

Sinar matahari pagi itu ternyata mempengaruhi semangat Marlena untuk menjejakkan nasibnya dalam kehidupan selanjutnya. Hal ini karena Marlena ingin membuktikan bahwa dirinya sanggup menikmati keindahan suasana meskipun masih dalam suasana duka. Ia berusaha melepaskan tautan hatinya yang selama ini terbelenggu oleh kondisi dan permasalahan hidup ngambang. Melihat perubahan sikap Marlena, Fatimah justru timbul rasa curiga. Kecurigaan itu semakin jelas bila Marlena sama sekali tidak menampakkan rasa duka, sebagaimana yang ia lihat sebelumnya. Fatimah pun ingin segera tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri adiknya itu.

“Kau telah mengambil keputusan dik?” tanya Fatimah dengan hati nyalang. Semoga kau mendapat jalan terbaik bagimu.”

“Lalu bagaimana keputusanmu?”

“Ayah benar.”

Mendengar pengakuan itu, Fatimah tidak yakin bila adiknya berani mengambil keputusan di luar dugaannya. Sebab Fatimah tahu sendiri bila pengakuan Marlena itu hanya pengakuan yang dipaksakan.

“Kau?”

“Benar kak, semua ini aku putuskan berkat petunjuk-Nya. Itulah jalan terbaik.”

“Oh adikku,” seru Fatimah penuh haru seraya memeluk tubuh adiknya itu yang masih napak lemah karena kemuraman hatinya.

“Mudah-mudahan keputusan ini adalah jalan terbaik dan benar.”

“Insya Allah.”

Setelah kejadian itu, Marlena mencoba mengenal Ilham lebih jauh. Ia berusaha sekuat hati menciptakan suasana ceria di hadapan Ilham, meskipun kadang-kadang masih dibelenggu oleh suasana masa lalunya. Tahap demi tahap belenggu itu ia lepaskan, apalagi setelah melihat, bahwa Ilham memiliki jiwa terbuka dan mengerti keadaan Marlena yang sebenarnya. Akhirnya Marlena tertarik untuk menyikapi kenyataan itu ke arah suasana yang lebih berarti.

Meskipun kita nanti kawin, sebaiknya kau tetap meneruskan kuliah hingga selesai,” ungkap Ilham mendorong prestasi calon istrinya.

“Terima kasih, Mas,”

“Yang penting, kita ini saling terbuka dan mengerti akan keadaan kita. Meski aku tahu kita harus mengorbankan segalanya demi kelangsungan hidup kita dan orang tua kita.

“Oh, kenapa hikmah ini baru aku terima?” batin Marlena setelah mendengar pengakuan calon suaminya. “Seandainya ayah bilang sejak waktu lalu, tentu ….. ah.”

“Kenapa Len,” ujar Ilham melihat perubahan Marlena.

“Tidak apa-apa. Cuma kenapa pertemuan kita ini baru sekarang.”

“Maksudmu?”

“Yah, seandainya demikian ayah akan merasakan juga kebahagiaan kita.”

“Sudahlah, jangan terlalu larut oleh keadaan itu. Semua itu tentu ada hikmahnya bagi kita.”

Begitulah perjalanan cinta dua anak manusia itu, yang kadang sulit diduga dalam pikiran yang sehat. Hal-hal yang sulit diengerti kadang muncul seketika, dan tidak disadari di balik kenyataan itu.

Setelah dimusyawarahkan, diputuskan bahwa keduanya harus segera dikawinkan. Mengingat tugas kewajiban mereka sama-sama memikul beban dan tanggung jawab atas dirinya. Setelah perkawinan itu, mereka tetap dalam posisi masing-masing. Ilham meneruskan tugasnya di Malang, sedang Marlena tetap meneruskan kuliahnya. Keduanya sama-sama menyadari apa pun resiko yang dihadapi adalah kenyataan yang tak mungkin ditentangnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.