Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Dua Puluh Empat
“Aku setuju sekali. Ini semuanya tentu demi perkembangan perusahaan,” komentar Marlena menutup diri.
“Hal ini merupakan kesempatan dan jalan terbaik.”
“Tapi, apa kau yakin.”
“Kenapa tidak. Sebagaimana informasi yang kami data, bahkan hanya Jepanglah negara yang paling tepat untuk menjadi sasaran.”
“Syukurlah, mudah-mudahan, menjadi langkah awal menuju keberhasilan eksport ke luar negeri,” harap Marlena.
Rencana ini akhirnya jadi juga. Demi perusahaan, Ilham berangkat ke Jepang dengan pesawat terbang. Sebelum suaminya meninggalkan tanah air, sebetulnya hati Marlena timbul rasa takut dan khawatir. Entah apa sebabnya, Marlena sendiri tidak tahu. Ia hanya mampu membunuh perasaan itu dengan berdoa agar suaminya selamat hingga kembali ke tanah air.
Hari-hari sepi setelah kepergian suaminya, waktunya banyak dimanfaatkan pada hal-hal yang menguntungkan. Karya tulisannyapun nampak lebih produktif. Kadang-kadang ia menerima tawaran sebagai penyaji seminar. Tak lupa, ia juga menyempatkan diri mengunjungi kedua kakaknya di Madura, sehingga Marlena merasa terhibur, apa lagi ada si kecil, anak Fajar atau Fatimah. Di tengah kegembiraan itu kadang timbul rasa sepi, karena dirinya belum juga ada tanda-tanda bila akan menimang seorang bayi. Semuanya itu, ia pasrahkan kepada Sang Pencipta. Meskipun suatu saat timbul rasa takut, bila nanti dirinya tidak mampu memberikan anak kepada suaminya. Kekhawatiran itu segera hilang, bila sebenarnya sesuai dengan hasil pemeriksaan dokter kandungan, bahwa Rahim Marlena tidak mengalami kelainan. Maka timbullah semangat barunya.
Bumi ini terasa terguncang keras, ketika Marlena mendengar berita bahwa pesawat terbang yang ditumpangi Ilham mendapat kecelakaan. Berita itu telah membuat Marlena tidak mampu berfikir panjang menghadapi kenyataan yang dihadapi ini. Semula Marlena tidak yakin, namun setelah mendapat informasi lebih jelas, akhirnya bencana itu harus dialami.
Kenyataan ini bagaikan palu godam menghantam seluruh tubuh istri korban kecelakaan itu. Karena benang-benang cinta yang ia rajut selama ini, akhirnya semrawut dan terputus-putus oleh kenyataan yang menyakitkan. Hal ini sangat berpengaruh besar terhadap jiwa Marlena. Jiwa yang baru bangkit dari trauma panjang, akhirnya harus dialami kembali, yang kali ini sulit digambarkan dalam satu ungkapan kata-kata.
“Kita tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali pasrah dan menyerahkan permasalahan ini kepada Yang Kuasa,” hibur Fatimah ketika berduka cita di rumah istri pengusaha itu.
“Kenapa ketidakadilan ini selalu menderaku?” ujar Marlena sedih.
“Ini ujian bagi kita dik. Sejauh mana kesabaran kita menghadapi kenyataan dunia.”
“Aku tidak tahu. Aku tidak mengerti, apa sebenarnya yang terjadi selama ini.”
“Itulah kenyataan hidup, yang timbul dan tenggelam tanpa tahu sebelumnya.”
Hidup dan mati adalah takdir Tuhan yang tidak dapat kita tolak,” sambung Darwis. “Manusia hanya dapat berusaha, tapi Tuhan yang menentukan nasib kita.” Untuk itu bersabarlah, tawakkal dan menyerahkan diri ke hadirat-Nya,” harap Fatimah.
“Aku rasa, aku telah berjalan yang benar. Tapi kenapa kebenaran harus dibalas kehancuran.”
“Kebenaran manusia hanyalah kebenaran yang semu. Tapi kebenaran yang hakiki terletak di jiwa kita.”
“Ini merupakan contoh kecil bagi manusia bahwa sebenarnya kemampuan manusia itu terbatas. Meski demikian kita masih diwajibkan meyakini bahwa dalam keterbatasan itu bukan berarti manusia harus pasrah begitu saja,” ungkap Darwis tenang. “Untuk itu, kita sebagai manusia seyogyanya mampu dan dapat membaca diri dalam menghadapi segala macam cobaan.”
Pemikiran kakak iparnya itu ternyata mampu mengurangi pikiran kalut Marlena. Namun setelah membaca kembali pengalaman-pengalaman hidup yang telah ia jalani, seakan-akan dirinya terombang-ambing oleh suatu keadaan yang sulit dipahami oleh akal manusia. Sebab bila Tuhan menghendaki, maka jadilah. Itulah rahasia alam yang kadang sulit dipahami manusia.
“Lalu apa langkahmu selanjutnya,” tanya Fajar dalam suasana lain.
“Aku ingin kembali saja ke Madura,” jawab Marlena tegas.
“Lalu bagaimana permasalahan di sini, terutama perusahaan?”
“Saham Mas Ilham tetap berjalan. Namun yang lain, aku berencana untuk diserahkan pada panti sosial.”
“Aku kira itu alternatif yang baik.”
“Tapi…. Apa mungkin aku kembali ke Madura?”
“Maksudmu kau khawatir keberadaanmu di sana?” kira Fajar.
“Kau ini adikku, di mana kau suka, pasti semuanya akan menerimamu dengan senang. Tapi menurutku, lebih baik kau hidup bersama kami saja.”
Akhirnya Marlena kembali ke tanah asalnya, Madura, yang telah banyak memberikan pengalaman dengan segala keletihan dan kekurangannya, ternyata memiliki arti tersendiri dan sulit dilupakan begitu saja. Karena Maduralah Marlena mengenal betapa rakyat di sini, selalu menghargai arti hidup dan perjuangan. Ia masih ingat bayangan masa kecilnya. Bayangan romantika hidup rakyat kecil dalam perjuangannya melawan nasib dan kenyataan jaman, hingga kini masih menyatu dalam darah dagingnya.
Di tanah ini pula ia dilahirkan. Hingga anyir darah yang menetes dari rahim ibunya dulu terasa segar membuai semangat hidup yang tak pernah habis. Seperti air, ia selalu mengalir meski harus terserap oleh kerasnya batu-batu jaman, yang kian mengeraskan semangat hidupnya yang lebih berarti.
Telah satu tahun Marlena menikmati kesendirian itu. Berarti telah satu tahun pula Marlena harus mengkaji sisa hidupnya. Sisa hidup yang kadang menelanjangi dirinya pada masa kanak-kanak, hingga kini menjadi seonggok manusia sebatangkara. Saat-saat seperti inilah, satu demi satu kenangan lama berjejal merebut hamparan jiwa Marlena yang hampir letih oleh siasat jaman.
“Sampai di sinikah akhir perjuanganku?” batin Marlena dalam keluh. “Bila demikian, apa arti hidupku selanjutnya?” pertanyaan itu selalu bergaung dan menggema ke seluruh jantung dan hatinya. Pertanyaan-pertanyaan pesimis yang meluruhkan gerak hidupnya yang semakin terjepit oleh keadaan yang berbeda.
“Tidak, tidak. Aku harus hidup. Aku harus berbuat sesuatu yang lebih berarti. Aku punya karir dan nasib. Aku punya minat. Aku punya harga diri,” bantah batinnya yang lain.