Marlena; Menyongsong Masa Depan

Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk  buku,

 Episode Tiga Belas

Berangkat dari tanda tanya itulah, Marlena bertekad untuk lebih menghargai dan mengerti makna cinta yang sebenarnya. Cinta tidak harus mengikuti jejak ambisi semata. Yang kadang hanya tampak dari letupan nafsu serta gelinjang rasa ingin menguasai dan dikuasai. Itulah ciri percintaan kaum remaja pada umumnya.

Ketika Fatimah berlalu di hadapannya, Marlena tidak segera bangkit. Ia ingin menikmati kemenangan yang baru saja diraih dari dalam hatinya. Angan-angan merebut kemenangan yang lain mulai tergambar jelas di pelupuk matanya. Ia biarkan perasaan hatinya dibawa terbang mengikuti jejak senja yang mulai bergerak menuju petang. Senja kali ini merupakan senja yang penuh arti bagi diri Marlena. Sebagaimana yang ia pernah alami ketika pada suatu senja saat ia menyongsong penobatan dirinya sebagai anak wanita pertama dari kampung Lebak. Senja itu jantungnya berdebar ketika menyongsong malam dalam suatu arena terbuka di hadapan para penguasa dan pengunjung yang tumpah seantero halaman kantor kecamatan yang memang luas itu. Ia ingat betul, bahkan hingga sampai saat ini masih melekat ketika ia dengan lantang menyuarakan isi hatinya melalui puisi Chairil Anwar: “//Luka dan bisa kubawa berlari/Berlari/hingga hilang pedih perih//.”

 Marlena terharu. Di matanya tampak butiran bening. Puas.

 Berita rencana Marlena dan Pak Jamil ke Surabaya, akhirnya sampai juga di telinga Taufik. Sedang Taufik sendiri tidak dapat berbuat banyak, kecuali hanya menatap kenyataan pahit yang diteguknya. Dugaan Taufik tentang peristiwa di kantin beberapa waktu lalu, akhirnya terbukti juga. Untuk itu, di hati Taufik yang tersisa hanya tinggal kenangan-kenangan dan penyesalan tiada tara.

Marlena sebagai figur wanita yang diagungkan, ternyata tak lebih dari wajah-wajah yang bersembunyi di balik topeng bergurat halus dan licin. Setelah ibunya yang telah menjadikan dirinya ke dalam jurang kenistaan, kini giliran Marlena, wanita kedua yang diharapkan menjadi pelipur lara menyongsong semangat Taufik yang tertunda, justru melemparkan dirinya ke alam mimpi buruk. Hingga luka-luka hatinya yang belum mengering kini malah menambah luka-luka baru.

“Kau ini laki-laki banci Fik,” sergah Narti. “Kalau memang kau menjadi laki-laki kesatria, kenapa Marlena kau biarkan direbut Pak Jamil,” suara Narti bergetar, seakan suara letusan bom membahana di jantung Taufik.

“Nar, berhati-hatilah kau bicara,” sergah Taufik keras.

“Terlambat. Nasi telah menjadi bubur. Dan kini kitalah menjadi korbannya.”

“Kita?” Taufik heran. “Maksudmu, apa hubungannya dengan kamu?”

Tiba-tiba suaranya tersekat oleh perasaannya sendiri. Ganjalan hatinya ingin dimuntahkan habis-habisan di hadapan Taufik. Namun ia merasa malu dan takut, bila semuanya harus diawali dengan rasa ambisi tanpa bukti. Bukti ini memang tercipta, namun Narti berusaha menutupi bukti-bukti itu, yang mungkin terlalu riskan disampaikan pada Taufik.

Perasaan Narti akhirnya tidak mampu membendung gejolak hatinya. Hingga akhirnya bendungan perasaan itu bobol dalam tangis ketidak mengertian.

“Lho kenapa menangis?” Taufik heran.

Ada rasa muak dan benci menyudut di hatinya. Tapi apa arti bagi Narti, bila membeberkan kekesalannya terhadap laki-laki yang merasakan luka yang sama?

“Nar, katakan apa sebenarnya yang terjadi?”

Narti menggeleng.

“Baik, kalau memang kau merahasiakan, akan …..”

“Jangan Fik. Jangan kau bertindak bodoh. Kau harus dapat koreksi diri, apa sebenarnya yang terjadi atas dirimu dan Marlena.”

Taufik tersadar. Ia mengakui terlalu gegabah menyatakan sesuatu yang paling berarti bagi dirinya.

“Yah, aku tidak punya hak menghalangi mereka,” kata Taufik penuh pengertian.

“Aku pun demikian,” sambung Narti.

“Jadi kau mempunyai hubungan dengan Pak Jamil?” terka Taufik.

“Secara tidak langsung,” lontar Narti.

“Maksudmu?”

“Aku punya hati pada Pak Jamil,”. Narti buka kartu.

Sejak itu hubungan Taufik dengan Narti mulai akrab. Seakan bertemunya dua anak manusia yang sama-sama terhimpit luka. Luka-luka keduanya akhirnya terobati, meski kadang hanya sekedar menutupi di hadapan Marlena.

Melihat suasana aneh seperti itu, di benak Marlena mulai timbul curiga. Narti, sebagai teman dekatnya ternyata telah mengelabui dirinya. Ia seakan disingkirkan dalam suasana asing. Meski demikian, Marlena masih berusaha untuk lebih mengerti posisi dirinya. Tapi di balik itu, kemengertian kadang memunculkan ketidakpuasan akan sikap sahabatnya itu. Kalau memang mau jujur, kenapa Narti mencundangi dirinya dalam kerahasiaan? Atau mungkin, nasib Marlena telah digariskan untuk mengemban luka dan kecewa? Teka-teki itu segera terjawab, ketika Marlena membuka lebar-lebar di hadapan Narti.

“Berkatalah dengan jujur Nar, apa sebenarnya maumu?,” Marlena menumpahkan uneg-unegnya dalam emosi terkendali.

Mendengar kalimat itu, Narti menjawab dengan tawa.

“Katakan, Nar, kita bersahabat. Kenapa kau tega menyudutkan aku dalam posisi terjepit?”

“Jawabannya ada pada dirimu,” jawaban Narti acuh tak acuh.

“Maksudmu, lantaran kesediaanku menuruti kehendak Pak Jamil?”

“Kalau itu merupakan jawaban?”

“Aku mengerti sekarang. Kau berusaha memancing kesempatanmu dalam suasana yang keruh,” kata Marlena bernafsu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.