Kematian Joko Tole dihormati sebagai martir bagi masyarakat Sumenep di masa selanjutnya. Makam Joko Tole disebut sebagai Bhuju’ Joko Tole 13 dan banyak diziarahi oleh kaum perempuan, baik tua maupun muda dengan harapan agar mendapatkan berkah dari arwahnya. Permintaan (doa) yang menonjol bagi perempuan muda yang belum berkeluarga adalah memohon agar segera mendapatkan jodoh (Subaharianto, 2004: 81). Dianggap sebagai pembela atas kehormatan wanita Madura, Joko Tole memberi arti yang mendalam bagi moral orang Madura yang menyaksikan kecakapannya selama memimpin.
Berbeda dengan sang ayah, Arya Wigananda anaknya sebagai penerus takhta tidak meninggalkan banyak informasi tentang masa pemerintahannya. Tampaknya ini disebabkan intervensi yang dominan dari Patih Arya Banyak Modang yang mendampingi pemerintahan Wigananda. Banyak Modang adalah salah satu putra Banyak Wedi dari perkawinannya dengan Putri Sekar anak penguasa Gresik. Dua saudara lainnya dari Arya Banyak Modang adalah Arya Susuli dan seorang saudarinya yang tidak dikenal namanya. Imam Farisi (1993: 81-82) menuliskan bagaimana keturunan
Hubungan itu ikut terbawa ke ranah militer. Saat terjadi pertempuran yang menewaskan Joko Tole dan melawan Bali, Banyak Wedi beserta bala tentara Gresik membantu Sumenep mengusir para penyerangnya. Tidak heran sepeninggal Arya Wigananda, takhta Sumenep dipegang oleh anak Arya Banyak Modang yang bernama Pangeran Sumenep dengan gelar Saccadiningrat III. Pusat pemerintahan Saccadiningrat III dipindahkan ke Parsanga.
Keterangan yang diberikan oleh situs resmi pemerintah kabupaten Sumenep menceritakan bahwa ada seorang penguasa wanita dari Japan (Demak) bernama Ratu Mas Kumambang menaruh hati pada Pangeran Saccadiningrat III, tetapi cintanya itu ditolak oleh sang penguasa Sumenep. Karena sakit hati, Ratu Mas Kumambang menugaskan Raden Tumenggung Kanduruan, seorang keponakannya yang masih keturunan Joko Tole untuk menyerang Sumenep. Dari garis ayahnya, Raden Kanduruan masih keponakan Saccadiningrat III. Berhubung ini adalah perintah dari penguasa yang menjadi pimpinannya, yakni sejak masa remaja Raden Kanduruan dihabiskan untuk mengabdi di Japan maka berangkatlah ia untuk berperang.
Singkat cerita, perang saudara kemudian berkecamuk yang menewaskan Pangeran Saccadiningrat III dan Arya Tan Kondur (kakak sekaligus Patih Saccadiningrat III). Raden Kanduruan kembali ke Japan dengan menyerahkan potongan kepala Saccadiningrat III kepada Ratu Mas
Kumambang (www.disbudpora.sumenep.go.id diakses 22 Maret 2017 pukul 17:42 WIB). Peperangan antara Kanduruan melawan Kerajaan Sumenep terjadi selama tujuh bulan lebih di Pore (Puri Keraton). Setelah gugur, Pangeran Saccadiningrat III digelari sebagai Pangeran Seda Ing Puri (Pangeran yang Gugur di Puri) (Farisi, 1993: 83).
Tampaknya, Mas Kumambang dan wilayah Japan yang dibawahi Demak adalah sebuah wilayah Islam. Namun, Graaf dan Pigeaud (1985: 217-218) sembari menyebut bahwa Saccadiningrat III adalah “raja yang malang” juga belum dapat memastikan apakah Raden Kanduruan adalah seorang pemeluk Islam. Ratu Mas Kumambang kemudian menyerahkan kekuasaan Sumenep kepada Raden Kanduruan dengan gelar Raden Tumenggung Notokusumonegoro yang memerintah sejak 1559. Ia mendirikan pusat kerajaan di Karang Sabu (kini Desa Karangduak), terdiri atas dua buah keraton, yaitu sebelah barat dipegang oleh Pangeran Wetan, yang sebelah timur dipimpin oleh Pangeran Lor.
Keduanya adalah putra Raden Tumenggung Notokusumo Negoro (DPR GR Sumenep, 1969: 11). Terhitung sejak masa pemerintahan Raden Kanduruan, pengaruh Demak telah menggantikan kuasa Majapahit. Untuk itu Pangeran Saccadiningrat III disebut sebagai penguasa Pra-Islam terakhir di Sumenep.
__________________________________________
Disalin dan diangkat dari buku “Sejarah Tanah-Orang Madura”, Masa Awal Kedatangan Islam Hingga Invasi Mataram; penulis: Arafah Pramasto Sastrosubroto, S.Pd & Sapta Anugrah Ginting, S.Pd, penerbit Leotikaprio 2018, hal. 77-79