Marlena; Menyongsong Masa Depan

Dan pada akhirnya, wujud Taufik lenyap dari pandangan Marlena. Yang tersisa hanyalah butir-butir kenangan yang kini mulai menganga lebar. Sementara Narti sahabatnya itu, dengan sepenuhnya hati membilas kenangan-kenangan bersama Pak Jamil. Sehingga kini tampak terang, betapa suci dan bersihnya tautan hati guru dan muridnya.

“Akhirnya aku yang kalah,” ujar Marlena pada Narti ketika keduanya sedang asyik bercanda.

“Yah, tapi kalah untuk menang kan?” timpal Narti.

“Lalu bagaimana perkembangan kalian?” tanya Marlena kemudian.

 “Tinggal beberapa langkah saja.”

“Maksudmu sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.”

“Betul. Katanya, Pak Jamil akan meminangku bulan depan,” kata Narti bangga.

“Wah, kejutan itu namanya,” tanggap Marlena memuji.

“Tapi aku minta, pelaksanaan perkawinannya menunggu setelah tamat sekolah nanti.”

“Kalau begitu, kau sekarang telah menjadi calon ibu,” seloroh Marlena yang dibarengi tawa terkekeh-kekeh, yang disambut pula oleh Narti.

“Nah, mulai sekarang kau tentu punya planning dong.”

“Planning apaan?” ujar Narti. “Rumah masa depan seperti yang di televisi?”

“Bisa juga. Tapi yang jelas, agar kau nanti setelah jadi ibu rumah tangga agar selalu tampak sedap dan segar, jangan lupa ikut KB,” kelakar Marlena.

“Sejak kapan kau ditugas sebagai PLKB Len?” timpal Narti.

“Yah, sejak berkumpul bersama keluarga Pak Toha,” kata Marlena meyakinkan.

“Benar juga ya. Aku lihat keluarga itu tampak rukun dan sejahtera.”

“Karena mereka sadar akan hidup masa depannya.”

“Kalau begitu, aku ikut KB sajalah. Maksudku Keluraga Besar,” jelas Narti terbahak-bahak dalam suasana suka cita.

“Nah, benar apa kataku,” simpul Marlena seolah-olah menampakkan figur ibu PKK yang sedang memberi pengertian kepada salah satu warganya.

Begitulah perjalanan hidup kedua remaja itu. Satu dengan yang lain saling mengisi, sehingga tidak terjadi lagi jurang-jurang kesalah pahaman. Sementara, proses kreatifitas Marlena terhadap perkembangan sastra mulai merebak, hingga beberapa tulisannya bermunculan di beberapa mass media. Dengan demikian, sejak ia menggeluti bidang sastra, ia lebih memahami makna-makna kehidupan yang tersembunyi di balik tubuh alam sekitarnya.

Sedang hubungannya dengan Pak Jamil, setelah dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan mereka, Marlena tidak merasa dibebani kendala-kendala sebagaimana yang pernah terjadi beberapa bulan lalu. Narti kini telah memahami sepenuhnya bahwa calon suaminya itu perlu melebarkan wawasannya untuk menjangkau prestasi dan karir yang lebih mapan. Maka tak heran, bila kadang antara Marlena dan Pak Jamil terjalin hubungan akrab, baik sebagai guru dan murid, teman seprofesi maupun sebagai orang yang mengerti posisi dirinya.

“Saya heran, kenapa Pak Jamil bisa melakukan dua bidang pengetahuan yang sebenarnya berlawanan,” ungkap Marlena suatu ketika mengamati kemampuan Pak Jamil dalam bidang matematika untuk profesi guru, dan bidang sastra dalam pergulatan  sehari-harinya.

“Ini sebenarnya punya cerita tersendiri,” ujar Pak Jamil.

“Bakat seni sebenarnya telah kutemukan waktu sekolah dulu, ya seperti kamu itulah. Tapi ketika memasuki diploma di IKIP Malang (sekarang UNM), hatiku tergerak untuk mengetahui bidang lain. Nah saat itulah aku bertekad meningkatkan pengetahuan matematika yang sebenarnya di sekolah waktu itu juga tidak terlalu jelek,” cerita Pak Jamil.

“Wah, kalau begitu tantangan dong pada Pak Jamil?” (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.